Kesiapan Menghadapi Krisis dan Konsep Cadangan / Simpanan Berlapis


Melihat penanganan pandemi di Indonesia sejauh ini, kita menemukan ada dilema yang dalam. Di satu sisi, wabah adalah persoalan kesehatan, sehingga upaya pencegahan penularan yang maksimal, seperti dengan karantina penuh, seharusnya diutamakan. Karantina penuh itu sendiri telah menjadi amanat dari UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, di mana selama karantina penuh itu, mobilitas manusia benar-benar dibatasi guna menurunkan penularan hingga mendekati nol, sedangkan kebutuhan pokok masyarakat ditanggung Pemerintah, baik pusat maupun daerah. Diharapkan dengan karantina penuh itu, puncak pandemi jadi lebih cepat terlewati, sehingga setelah kurva turun sampai tingkat tertentu, aktivitas dapat berjalan lebih normal lagi.
Namun, Pemerintah malah tidak melaksanakan karantina penuh dan lebih memilih PSBB yang lebih longgar terhadap mobilitas. Dampaknya dapat kita lihat, dengan mobilitas manusia yang masih tinggi, bahkan penduduk masih sempat mengambil langkah mudik, penyebaran virus secara lebih luas tak bisa dihindari; banyak klaster bermunculan; peningkatan kasus terjadi secara perlahan akibat lemahnya kebijakan pengetesan kesehatan warga; puncak pandemi pun belum terlihat; dan, ditambah dengan terburu-burunya penerapan “normal baru”, gelombang kedua rawan muncul di saat gelombang pertama belum teratasi. Lucunya lagi, pada masa-masa emas respons terhadap pandemi ini, yang semestinya dipersiapkan sejak bulan pertama kemunculannya di Wuhan, Pemerintah malah menganggap enteng masalah dan membuka lebar jalur masuk dari luar negeri dengan promosi pariwisata, termasuk membayar influencer media sosial untuk mengampanyekannya.
Alasannya sederhana saja. Di sinilah kita melihat persoalan penanganan kesehatan ini dihadapkan pada dilema dengan permasalahan ekonomi. Mau diakui atau tidak, ekonomi Indonesia memang lesu sejak sebelum Corona muncul, bahkan sejak awal Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat dulu. Ekonomi Indonesia yang sebelum 2014 dulu sempat menembus angka pertumbuhan 6%, pada era sebelum wabah Corona ini, begitu kesulitan menjaga angka pertumbuhan 5%, bahkan beberapa kali hanya tumbuh 4% saja. Demikian pula angka defisit perdagangan yang terus membesar, hingga bermasalahnya banyak sektor investasi yang berujung kemunduran sejumlah pelaku asing dari pasar Indonesia yang menandakan adanya masalah serius dan sistemis. (lebih lanjut baca berbagai portal berita ekonomi seperti Kontan dan CNBC Indonesia)
Dengan demikian, karantina penuh atau PSBB yang berlarut-larut akan semakin memperparah macetnya roda perekonomian. Maka tampak bagi kita, Pemerintah lebih mengutamakan aspek ekonomi daripada kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat. Hal ini memang tidaklah sepenuhnya salah. Sebagai pihak yang berkuasa, tentulah Pemerintah ingin terus mendapatkan legitimasi dari rakyat. Perekonomian yang melemah akan membuat daya beli masyarakat turun dan rentan menimbulkan pemberontakan pada Pemerintah. Karena itulah Pemerintah tampak terus berupaya menggenjot hutang dan masuknya investasi dengan memangkas berbagai regulasi, bahkan terkadang cenderung tidak memedulikan kelurusan pelaksanaan hukum. Apalagi jika kegiatan ekonomi lama mandek akibat karantina penuh, Pemerintah tidak memiliki lagi alokasi dana untuk menanggung kebutuhan warga, karena proyek ibukota dan infrastruktur yang masif anggaran, dan masyarakat yang semakin lapar pun lama-kelamaan akan mengamuk juga.
Maka, Pemerintah memilih tidak menerapkan karantina penuh. Bahkan dengan kebijakan PSBB sekalipun, saat puncak pandemi belum terlewati, normal baru sudah cepat-cepat digemakan. Hal ini tak pelak lagi mengingat rakyat butuh makan dan uang. Apalagi mayoritas masyarakat adalah kaum berpenghasilan menengah ke bawah yang banyak di antaranya mengais rezeki secara harian, seperti pedagang toko kecil, warung makan, sopir ojek, dll. Dengan begitu, tampak nyata kerentanan struktur sosial dan demografi masyarakat kita terhadap ketidakpastian ekonomi jangka panjang, terutama sektor UMKM dan karyawan kebanyakan. Salah satu penyumbang terbesar kerentanan ini, yang berkaitan dengan arus penghasilan mayoritas pelaku UMKM yang bertumpu pada penjualan harian, ialah kekurangan simpanan atau cadangan finansial yang ada. Jika penjualan berhenti atau berkurang akibat pandemi, arus kas mereka akan makin macet. Apalagi, tidak semua pelaku usaha mampu atau sadar untuk melakukan penyimpanan yang cukup besar sebelum krisis atau pandemi terjadi. Hal ini mengingat beban pelaku UMKM memang cukup besar dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh dan tidak semua memiliki pengetahuan simpanan atau investasi.
Karena itulah, di saat pandemi seperti ini, mereka yang berpenghasilan harian atau mereka yang rentan PHK merupakan pihak-pihak yang paling menderita. Dan jika ditinjau, mereka yang demikian merupakan mayoritas dalam struktur masyarakat kita. Bentukan ekonomi ini memanglah mirip piramida, semakin ke atas semakin sedikit, semakin ke bawah cenderung semakin banyak. Karena itulah, Pemerintah enggan untuk menerapkan karantina penuh dan saat PSBB sekalipun, ingin cepat-cepat normal baru. Hal ini mengingat sentimen mayoritas terhadap Pemerintah berasal dari kalangan menengah ke bawah yang lebih banyak jumlahnya. Jika mereka sulit makan, legitimasi Pemerintah akan semakin habis dan huru-hara dapat terjadi. Namun di sini, kita tidak hendak membahas masalah penanganan pandemi atau ekonomi ini. Kita hendaklah berfokus pada persoalan penyimpanan atau cadangan tersebut.
Krisis, baik yang terjadi karena pandemi maupun faktor lainnya, ialah hal yang sewaktu-waktu bisa terjadi; dan memang dalam perjalanan sejarah, krisis pelbagai bidang berulang-kali terjadi dalam hidup manusia, seakan memenuhi hukum siklus tertentu. Pandemi seperti yang tengah kita hadapi ini, perlahan tapi pasti juga tengah membayangkan angin krisis, terutama dalam bidang ekonomi dan pangan. Lalu, bagaimana semestinya kita bertindak agar dapat bertahan di tengah berbagai krisis yang mungkin muncul lagi di kemudian hari?
Pertama, tentulah kita perlu memahami natur dari setiap krisis yang mungkin terjadi itu, terutama bagi krisis yang telah nyata terjadi menurut siklus tertentu. Hal ini penting dilakukan guna dapat menyiapkan berbagai hal yang diperlukan dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang khas disebabkan oleh suatu jenis krisis. Krisis-krisis yang berjalan menurut siklus itu dapat kita perkirakan kejadiannya menggunakan pelbagai teori gelombang yang mencoba menguantifikasi berbagai variabel terkait dan memlotnya dalam kerangka waktu. Ada banyak model gelombang yang dapat dipakai dalam analisis krisis, baik model gelombang ekonomi, sejarah, dan lain-lain. Beberapa di antara model-model gelombang tersebut, telahlah kita bahas dalam tulisan-tulisan kita sebelumnya.
Kemudian, jika kita telah mengetahui natur dari suatu krisis, kita perlu menyiapkan berbagai cadangan atau simpanan yang dibutuhkan untuk menghadapi krisis tersebut. Cadangan atau simpanan tersebut merupakan suatu mekanisme peredam yang dapat menghindarkan kita dari kerusakan yang berlebihan yang diakibatkan oleh suatu krisis. Misalnya dalam konteks pandemi seperti saat ini, maka krisis yang rawan terjadi selain krisis kesehatan adalah krisis ekonomi dan pangan. Oleh karena itu, dalam masa-masa normal, kita hendaklah mempersiapkan suatu cadangan atau simpanan untuk menghadapi krisis ekonomi dan pangan tersebut. Hal itu dapat kita lakukan dengan berbagai cara, misalnya menyisihkan sebagian pendapatan setiap bulan untuk keperluan dana cadangan dan kondisi tak terduga, di samping berbagai investasi dan simpanan yang biasa kita lakukan. Demikian dalam masalah pangan, kita perlu juga untuk menyediakan stok pangan untuk jangka waktu tertentu menurut kapasitas penyimpanan yang kita miliki.
Hal itu lantaran kita sebagai manusia memanglah mesti menggantungkan segala urusan pada Allah SWT, sembari di saat yang sama, mengupayakan pelbagai perencanaan insani dalam kerangka pandang yang berpikiran ke depan. “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Rabb (Tuhan) kalian dan hendaklah setiap jiwa melihat pada apa yang telah dilakukannya untuk hari esok.” [1] Orientasi visi hari esok ini memiliki bentangan dan jenjang spektrum yang luas, yakni dalam rentang dunia dan akhirat. Segala perbuatan kita maksudkan untuk kehidupan akhirat, tapi di saat yang sama, bentangan perencanaannya kita lakukan dalam skala dunia, mengingat dunia itu merupakan ladang dan jalan bagi kita untuk menuju akhirat itu. “Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok.”
Demikian pulalah dalam hal simpanan atau cadangan. Visi ke depan itu mestilah dipadukan dengan persiapan yang sesuai, terutama jika persiapan itu mencakup hajat hidup orang banyak. (Yusuf) berkata: “Agar kalian bercocok-tanam selama tujuh tahun sebagaimana biasa. Maka apa yang kalian tuai, hendaklah kalian biarkan pada bulirnya, kecuali sedikit dari apa yang kalian makan. Kemudian akan datang sesudah itu, tujuh tahun yang amat sulit, yang memakan habis apa yang telah kalian persiapkan untuknya (masa paceklik itu), kecuali sedikit dari apa yang kalian simpan. Kemudian akan datang sesudah itu, tahun yang di dalamnya manusia diberi hujan dan di dalamnya mereka memeras buah.”[2]
Persiapan simpanan pangan itu dilakukan dalam rangka menghadapi visi sang raja tentang krisis yang akan datang, yang dilambangkan dalam mimpinya sebagai “tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus; dan tujuh bulir (gandum) yang hijau sementara (tujuh bulir) yang lainnya kurus”.[3] Hal ini membayangkan kepada kita pentingnya suatu narasi jangka panjang dalam kehidupan, terutama narasi yang dapat mempersiapkan kita untuk menghadapi berbagai ujian dan cobaan yang datang menjelang. Apalagi jika kita menjadi pemimpin, kemampuan futurologi visioner itu mutlak diperlukan.
Tentulah bacaan masa depan itu tidak melulu datang dari takwil mimpi atau suatu ilham tertentu, tapi mestilah kita dapat membaca kondisi masa ini lalu memosisikannya dalam suatu gambaran besar gelombang dan siklus sejarah untuk memprakirakan berbagai kejadian di masa mendatang. Karena itulah ilmu sejarah dan ilmu tentang hal masa kini perlu dipadukan sebagai panduan masa depan. “Itulah hari-hari (kemenangan dan kekalahan, kemajuan dan kemunduran, kejayaan dan kehancuran, kebangkitan dan keruntuhan) Kami pergilirkan di antara manusia ... Jika kalian terluka, telah terluka pula kaum-kaum sebelum kalian ... Telah berlalu sebelum kalian sunan-sunan (jalan, sunah, kaidah, metode bergulirnya sejarah) ... Maka, berjalanlah kamu di muka bumi (ambillah pandangan dalam perspektif ruang), lalu lihatlah akibat dari orang-orang terdahulu (lakukanlah rasionalisasi-observasi-empiris dalam perspektif waktu).”[4] Sebagaimana pula telah kita bahas dalam tulisan-tulisan lalu.
Hal yang menarik lainnya ialah, bahwa simpanan atau cadangan itu mestilah dibuat sedemikian rupa hingga ia memiliki struktur yang berlapis. Hal ini mengingat kemampuan bacaan masa depan kita sebagai manusia biasa begitu terbatas, sehingga perkiraan masa krisis yang kita hasilkan dapat melesat, sehingga kita mesti menerapkan suatu asas simpanan berlapis guna memastikan ada ruang relaksasi atau stretching tertentu bilamana krisis masa mendatang itu terjadi lebih lama dan lebih dahsyat dari segala perhitungan kita. Hal ini miriplah dengan kesinambungan konsep-konsep fail safe, redundancy, margin of safety, dan safety factor dalam dunia teknik rekayasa. Dengan kata lain, kekuatan yang mesti kita siapkan ialah sebesar beban terbesar yang kita perhitungan di depan ditambah dengan suatu rentang nilai beban yang menjadi zona relaksasi atau residu tersebut. Bagian inilah yang kita sebut sebagai daerah cadangan atau simpanan berlapis.
Dalam bahasan di atas, daerah cadangan berlapis itu dapat kita temukan pada kata-kata Nabi Yusuf dalam menakwilkan mimpi raja itu, yaitu bahwa dalam menghadapi 7 tahun masa paceklik itu, harus dipersiapkan cadangan makanan yang setara dengan kebutuhan 7 tahun pula, yang ditambah dengan sedikit cadangan lagi yang menjadi margin of safety itu. Hal itu kita dapati dari pernyataan tentang “tujuh tahun yang amat sulit, yang memakan habis apa yang telah kalian persiapkan untuknya (masa paceklik itu)”, yang merupakan cadangan untuk menghadapi beban terbesar, yaitu menyisihkan makanan 7 tahun masa normal yang setara kebutuhan 7 tahun masa paceklik. Itu adalah pokok minimalnya, tapi tidak boleh hanya itu, ia mestilah ditambah dengan sekian persen bentang residu sebagai konsep simpanan berlapis itu, yaitu “kecuali sedikit dari apa yang kalian simpan”.
Itu artinya dalam mempersiapkan suatu krisis, kita tidak boleh hanya menyediakan cadangan yang tepat habis dalam rentang krisis yang kita perhitungkan itu, tapi mestilah kita tambahi dengan suatu daerah residu, suatu margin of safety, suatu lapisan cadangan lainya yang dapat berguna jika krisis itu lebih panjang atau lebih parah dari yang kita perhitungkan. Daerah margin atau residu cadangan berlapis ini memang biasanya tidak terlalu banyak dibandingkan dengan total jumlah cadangan yang ada, karena galat suatu perhitungan umumnya memang diusahakan kecil. Namun, bentangan daerah cadangan berlapis ini mesti pula disesuaikan dengan natur dari suatu aspek krisis. Jika diibaratkan dunia teknik, margin of safety itu dalam bidang penerbangan, mekanika, atau perkapalan tentulah berbeda dengan margin of safety pada dunia teknik bangunan atau sipil. Itu karena natur operasionalnya yang berbeda. Dunia mekanika itu umumnya juga mempertimbangkan faktor kelincahan dan keringanan bobot sehingga “total cadangannya” lebih kecil, antara 1,3 hingga 1,5 kali beban terbesar yang mungkin dihadapi. Artinya, “margin residu cadangannya” hanya 0,3 hingga 0,5 (1 setara 100% beban). Sedangkan pada teknik bangunan atau sipil, di mana bobot struktur umumnya tak jadi masalah, marginnya bisa jauh lebih besar karena total cadangannya diizinkan hingga 5 kali beban yang mungkin ditanggung.
Demikianlah kata “sedikit dari apa yang kalian simpan” dalam kata-kata Nabi Yusuf itu, ialah digambarkan dalam suatu kondisi di mana bentangan galat perhitungan skala krisis yang akan datang memang tidak terlalu besar, karena memang sudah dipastikan bahwa setelah krisis (masa paceklik 7 tahun) itu, berikutnya akan datang masa hujan dan panen yang cukup tanpa diselingi oleh adanya krisis lain. Artinya, kondisi beban maksimalnya memang telah demikian presisi diperkirakan hanya sekitar 7 tahun saja, dan kalaupun bertambah, tidak akan bertambah dalam hitungan tahun, tapi dalam beberapa pekan atau bulan saja. Dengan begitu, margin residunya dapat cukup kecil, mungkin 0,2 atau 0,4 dan tidak akan mencapai 100% total cadangan utama yang 7 tahun itu. Itu artinya, besar margin residu atau cadangan berlapis yang disiapkan bergantung pada kepastian beban operasional yang dapat diperhitungkan. Semakin banyak faktor pembebanan atau variabel yang mengandung ketidakpastian, semakin besar pula margin relaksasi yang harus disediakan.
Demikianlah kisah Nabi Yusuf itu mengajarkan pada kita tentang konsep cadangan atau simpanan yang berlapis dalam rangka mempersiapkan suatu krisis. Bahwa dalam persiapan cadangan itu, kita harus melebihkan suatu rentang relaksasi tertentu untuk menjadi margin cadangan residu di samping cadangan utama. Margin residu ini memiliki konsep yang mirip dengan margin of safety, fail safe, dan redundancy dalam dunia teknik. Nilai margin residu cadangan ini bergantung pada tingkat kepastian beban yang diperhitungkan dan natur atau tingkat kekritisan suatu aspek krisis serta operasional yang ada. Semakin besar ketidakpastian pembebanan, makin besar pula margin yang harus diberikan. Semakin kritis suatu aspek, makin besar pula margin yang harus disediakan. Namun, pertimbangan operasional saat normal juga perlu diperhitungkan agar tidak terlalu banyak alokasi yang terserap menjadi cadangan sehingga pertumbuhan operasional fase normal tidak terganggu.
Jika diluaskan pada spektrum selain pangan, konsep margin cadangan residu ini juga dapat berarti suatu diversifikasi cadangan atau simpanan. Hal ini dapat kita jumpai pada kisah Nabi Musa, saat beliau tengah dalam perjalanan berguru mengikuti “seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.[5] Disebutkan pada suatu takat perjalanan mengikuti hamba Allah itu, “keduanya mendapati dalam negeri itu dinding bangunan yang hampir roboh, maka (hamba Allah yang diikuti Nabi Musa itu) menegakkan dinding itu.”[6] “Adapun dinding bangunan itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang orang tua mereka adalah orang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.”[7]
Teranglah di sini bahwa konsep cadangan atau simpanan berlapis itu diterjemahkan dalam makna diversifikasi, yaitu pembedaan atau pemecahan bentuk kepada pelbagai jenis simpanan agar lebih aman dari berbagai ketidakpastian proses. Diversifikasi ini diwujudkan dalam simpanan yang berupa bangunan dan tanah serta harta benda yang disimpan di bawah bangunan itu. Bangunan dan tanah merupakan suatu bentuk simpanan tersendiri, sementara harta benda simpanan (dalam masa lampau umumnya berupa emas, perak, atau barang berharga lainnya karena belum ada uang kertas) yang ditimbun di bawah bangunan itu juga merupakan bentuk atau jenis simpanan tersendiri. Itu artinya, simpanan atau cadangan berlapis juga dapat diwujudkan dalam upaya diversifikasi sehingga jika terjadi kejatuhan di satu bagian, bagian lain masih diharapkan selamat. Hal ini juga sudah umum dilakukan dalam dunia investasi.
Demikianlah Quran mengajarkan pada kita, dan bahwa kita patut menggarisbawahi bahwa tidaklah masalah bagi “seorang saleh” untuk memiliki simpanan harta, makanan, atau lainnya untuk masa depan dan untuk anak-keturunan, seperti yang ada pada kisah Nabi Musa itu. Namun, simpanan itu tidaklah boleh dilakukan dalam rangka menumpuk-numpuk harta semata, tetapi dilakukan sebagai upaya untuk menopang keberlanjutan misi dakwah di antaranya dengan memastikan generasi depan terbentuk dengan baik. Hal itu karena kita tidak boleh meninggalkan generasi mendatang dalam keadaan lemah, lemah din, akidah, ilmu yang paling pokok, lalu lemah fisik, harta, pangan, dan berbagai kebutuhan material lain sebagai aspek lain yang juga penting ditindaklanjuti. Karena memang dalam banyak kasus pemurtadan itu, salah satunya didorong pula oleh kelemahan ekonomi. Dan bahwa ekonomi yang kuat dapat pula memberikan pengaruh yang kuat sehingga dapat menopang dakwa. Itulah bagaimana gerakan Zionis itu dapat memiliki lobi yang kuat di Eropa maupun Amerika karena mereka kuat dalam banyak bidang, termasuk finansial, legal, dan media massa.
Namun, mengejar kekuatan itu, termasuk kekuatan finansial yang diwujudkan dalam simpanan itu, bukanlah tujuan yang utama, ia hanyalah suatu sarana belaka. Tujuan utamanya tetaplah dakwah kepada Allah. Soalan rezeki adalah kewenangan-Nya. Tugas manusia hanyalah mengelolanya dan mempersiapkan suatu visi yang berorientasi jangka panjang, baik dunia maupun akhirat. Maka, tidaklah masalah mengalokasikan simpanan khususnya untuk pendidikan dan pembentukan generasi anak-turun kita, asalkan sewajarnya dan tidak melenceng dari nilai-nilai din. Dan bahwa, dalam bahasa Anis Matta, zuhud itu ialah kondisi tidak dikuasai atau diperdaya oleh harta setelah memilikinya, artinya ia merupakan kondisi pasca-kemakmuran.
Siapa yang dapat berharta tapi tidak diperbudak oleh hartanya dan tetap berorientasi kepada Allah itulah orang yang zuhud. Menurut Anis Matta itu, zuhud bukan kondisi sebelum kepemilikan harta, melainkan keadaan jiwa sesudah memiliki harta itu. Artinya, ia bukan kondisi pasrah begitu saja yang berujung pada keadaan tidak berdaya umat menghadapi penguasaan ekonomi atas mereka, seperti jamak di negeri ini bahwa mayoritas kekayaan alam yang ada hanya dikuasai segelintir orang belaka, yang kebanyakan di antaranya non-muslim, dan maaf jika memakai bahasa lama, banyak di antaranya non-pribumi. Keadaan ini menimbulkan ketimpangan besar yang rawan menjadi masalah sosial dan konflik horizontal.
Sebagian di antaranya adalah salah kita karena kurang kesadaran atau tidak mampu melakukan penyisihan kepemilikan saat ini atau simpanan untuk keperluan hari esok, terutama keperluan akan-cucu, dakwah, dan keperluan kolektif umat. Karena itu, berbagai komponen ekonomi keumatan perlu kita galakkan, seperti wakaf produktif, zakat, sedekah, dan lain-lain. Pun juga dalam melakukan penyimpanan dan investasi, kita mesti memiliki keberpihakan pada investasi di sektor UMKM dan ekonomi syariah, yang mayoritasnya menghidupkan ekonomi rakyat kecil yang muslim di negeri ini. Tidak hendak berpanjang lagi mengingat bahasan itu perlu kajian tersendiri. Singkat kata, sebagai pribadi dan sebagai umat, kita perlu belajar tentang konsep simpanan berlapis ini. Semoga bermanfaat. Wallāhu aʿlam biṣ ṣawāb.


[1] QS 59: 18
[2] QS 12: 47-49
[3] QS 12: 43 dan 46
[4] QS 3: 137-140
[5] QS 18: 65
[6] QS 18: 77
[7] QS 18: 82

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan