Kesiapan Menghadapi Krisis dan Konsep Cadangan / Simpanan Berlapis
Melihat penanganan pandemi di Indonesia sejauh ini, kita menemukan
ada dilema yang dalam. Di satu sisi, wabah adalah persoalan kesehatan, sehingga
upaya pencegahan penularan yang maksimal, seperti dengan karantina penuh,
seharusnya diutamakan. Karantina penuh itu sendiri telah menjadi amanat dari UU
No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, di mana selama karantina
penuh itu, mobilitas manusia benar-benar dibatasi guna menurunkan penularan
hingga mendekati nol, sedangkan kebutuhan pokok masyarakat ditanggung
Pemerintah, baik pusat maupun daerah. Diharapkan dengan karantina penuh itu,
puncak pandemi jadi lebih cepat terlewati, sehingga setelah kurva turun sampai
tingkat tertentu, aktivitas dapat berjalan lebih normal lagi.
Namun, Pemerintah malah tidak melaksanakan karantina penuh dan
lebih memilih PSBB yang lebih longgar terhadap mobilitas. Dampaknya dapat kita
lihat, dengan mobilitas manusia yang masih tinggi, bahkan penduduk masih sempat
mengambil langkah mudik, penyebaran virus secara lebih luas tak bisa dihindari;
banyak klaster bermunculan; peningkatan kasus terjadi secara perlahan akibat
lemahnya kebijakan pengetesan kesehatan warga; puncak pandemi pun belum
terlihat; dan, ditambah dengan terburu-burunya penerapan “normal baru”,
gelombang kedua rawan muncul di saat gelombang pertama belum teratasi. Lucunya
lagi, pada masa-masa emas respons terhadap pandemi ini, yang semestinya dipersiapkan
sejak bulan pertama kemunculannya di Wuhan, Pemerintah malah menganggap enteng
masalah dan membuka lebar jalur masuk dari luar negeri dengan promosi
pariwisata, termasuk membayar influencer media sosial untuk
mengampanyekannya.
Alasannya sederhana saja. Di sinilah kita melihat persoalan
penanganan kesehatan ini dihadapkan pada dilema dengan permasalahan ekonomi. Mau
diakui atau tidak, ekonomi Indonesia memang lesu sejak sebelum Corona muncul,
bahkan sejak awal Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat dulu. Ekonomi Indonesia
yang sebelum 2014 dulu sempat menembus angka pertumbuhan 6%, pada era sebelum
wabah Corona ini, begitu kesulitan menjaga angka pertumbuhan 5%, bahkan
beberapa kali hanya tumbuh 4% saja. Demikian pula angka defisit perdagangan
yang terus membesar, hingga bermasalahnya banyak sektor investasi yang berujung
kemunduran sejumlah pelaku asing dari pasar Indonesia yang menandakan adanya
masalah serius dan sistemis. (lebih lanjut baca berbagai portal berita ekonomi
seperti Kontan dan CNBC Indonesia)
Dengan demikian, karantina penuh atau PSBB yang berlarut-larut akan
semakin memperparah macetnya roda perekonomian. Maka tampak bagi kita,
Pemerintah lebih mengutamakan aspek ekonomi daripada kesehatan dan keselamatan
jiwa masyarakat. Hal ini memang tidaklah sepenuhnya salah. Sebagai pihak yang
berkuasa, tentulah Pemerintah ingin terus mendapatkan legitimasi dari rakyat. Perekonomian
yang melemah akan membuat daya beli masyarakat turun dan rentan menimbulkan
pemberontakan pada Pemerintah. Karena itulah Pemerintah tampak terus berupaya
menggenjot hutang dan masuknya investasi dengan memangkas berbagai regulasi,
bahkan terkadang cenderung tidak memedulikan kelurusan pelaksanaan hukum. Apalagi
jika kegiatan ekonomi lama mandek akibat karantina penuh, Pemerintah tidak
memiliki lagi alokasi dana untuk menanggung kebutuhan warga, karena proyek
ibukota dan infrastruktur yang masif anggaran, dan masyarakat yang semakin
lapar pun lama-kelamaan akan mengamuk juga.
Maka, Pemerintah memilih tidak menerapkan karantina penuh. Bahkan
dengan kebijakan PSBB sekalipun, saat puncak pandemi belum terlewati, normal
baru sudah cepat-cepat digemakan. Hal ini tak pelak lagi mengingat rakyat butuh
makan dan uang. Apalagi mayoritas masyarakat adalah kaum berpenghasilan
menengah ke bawah yang banyak di antaranya mengais rezeki secara harian,
seperti pedagang toko kecil, warung makan, sopir ojek, dll. Dengan begitu,
tampak nyata kerentanan struktur sosial dan demografi masyarakat kita terhadap
ketidakpastian ekonomi jangka panjang, terutama sektor UMKM dan karyawan
kebanyakan. Salah satu penyumbang terbesar kerentanan ini, yang berkaitan
dengan arus penghasilan mayoritas pelaku UMKM yang bertumpu pada penjualan
harian, ialah kekurangan simpanan atau cadangan finansial yang ada. Jika
penjualan berhenti atau berkurang akibat pandemi, arus kas mereka akan makin
macet. Apalagi, tidak semua pelaku usaha mampu atau sadar untuk melakukan penyimpanan
yang cukup besar sebelum krisis atau pandemi terjadi. Hal ini mengingat beban
pelaku UMKM memang cukup besar dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh
dan tidak semua memiliki pengetahuan simpanan atau investasi.
Karena itulah, di saat pandemi seperti ini, mereka yang
berpenghasilan harian atau mereka yang rentan PHK merupakan pihak-pihak yang
paling menderita. Dan jika ditinjau, mereka yang demikian merupakan mayoritas
dalam struktur masyarakat kita. Bentukan ekonomi ini memanglah mirip piramida,
semakin ke atas semakin sedikit, semakin ke bawah cenderung semakin banyak.
Karena itulah, Pemerintah enggan untuk menerapkan karantina penuh dan saat PSBB
sekalipun, ingin cepat-cepat normal baru. Hal ini mengingat sentimen mayoritas
terhadap Pemerintah berasal dari kalangan menengah ke bawah yang lebih banyak
jumlahnya. Jika mereka sulit makan, legitimasi Pemerintah akan semakin habis
dan huru-hara dapat terjadi. Namun di sini, kita tidak hendak membahas masalah
penanganan pandemi atau ekonomi ini. Kita hendaklah berfokus pada persoalan
penyimpanan atau cadangan tersebut.
Krisis, baik yang terjadi karena pandemi maupun faktor lainnya,
ialah hal yang sewaktu-waktu bisa terjadi; dan memang dalam perjalanan sejarah,
krisis pelbagai bidang berulang-kali terjadi dalam hidup manusia, seakan
memenuhi hukum siklus tertentu. Pandemi seperti yang tengah kita hadapi ini, perlahan
tapi pasti juga tengah membayangkan angin krisis, terutama dalam bidang ekonomi
dan pangan. Lalu, bagaimana semestinya kita bertindak agar dapat bertahan di
tengah berbagai krisis yang mungkin muncul lagi di kemudian hari?
Pertama, tentulah kita perlu memahami natur dari setiap krisis yang
mungkin terjadi itu, terutama bagi krisis yang telah nyata terjadi menurut
siklus tertentu. Hal ini penting dilakukan guna dapat menyiapkan berbagai hal
yang diperlukan dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang khas disebabkan oleh
suatu jenis krisis. Krisis-krisis yang berjalan menurut siklus itu dapat kita perkirakan
kejadiannya menggunakan pelbagai teori gelombang yang mencoba menguantifikasi
berbagai variabel terkait dan memlotnya dalam kerangka waktu. Ada banyak model
gelombang yang dapat dipakai dalam analisis krisis, baik model gelombang
ekonomi, sejarah, dan lain-lain. Beberapa di antara model-model gelombang
tersebut, telahlah kita bahas dalam tulisan-tulisan
kita sebelumnya.
Kemudian, jika kita telah mengetahui natur dari suatu krisis, kita
perlu menyiapkan berbagai cadangan atau simpanan yang dibutuhkan untuk
menghadapi krisis tersebut. Cadangan atau simpanan tersebut merupakan suatu
mekanisme peredam yang dapat menghindarkan kita dari kerusakan yang berlebihan
yang diakibatkan oleh suatu krisis. Misalnya dalam konteks pandemi seperti saat
ini, maka krisis yang rawan terjadi selain krisis kesehatan adalah krisis
ekonomi dan pangan. Oleh karena itu, dalam masa-masa normal, kita hendaklah mempersiapkan
suatu cadangan atau simpanan untuk menghadapi krisis ekonomi dan pangan tersebut.
Hal itu dapat kita lakukan dengan berbagai cara, misalnya menyisihkan sebagian
pendapatan setiap bulan untuk keperluan dana cadangan dan kondisi tak terduga,
di samping berbagai investasi dan simpanan yang biasa kita lakukan. Demikian
dalam masalah pangan, kita perlu juga untuk menyediakan stok pangan untuk jangka
waktu tertentu menurut kapasitas penyimpanan yang kita miliki.
Hal itu lantaran kita sebagai manusia memanglah mesti
menggantungkan segala urusan pada Allah SWT, sembari di saat yang sama,
mengupayakan pelbagai perencanaan insani dalam kerangka pandang yang berpikiran
ke depan. “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Rabb (Tuhan)
kalian dan hendaklah setiap jiwa melihat pada apa yang telah dilakukannya untuk
hari esok.” [1]
Orientasi visi hari esok ini memiliki bentangan dan jenjang spektrum yang luas,
yakni dalam rentang dunia dan akhirat. Segala perbuatan kita maksudkan untuk
kehidupan akhirat, tapi di saat yang sama, bentangan perencanaannya kita
lakukan dalam skala dunia, mengingat dunia itu merupakan ladang dan jalan bagi
kita untuk menuju akhirat itu. “Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan kamu akan
hidup selamanya, berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok.”
Demikian pulalah dalam hal simpanan atau cadangan. Visi ke depan
itu mestilah dipadukan dengan persiapan yang sesuai, terutama jika persiapan
itu mencakup hajat hidup orang banyak. (Yusuf) berkata: “Agar kalian
bercocok-tanam selama tujuh tahun sebagaimana biasa. Maka apa yang kalian tuai,
hendaklah kalian biarkan pada bulirnya, kecuali sedikit dari apa yang kalian
makan. Kemudian akan datang sesudah itu, tujuh tahun yang amat sulit, yang
memakan habis apa yang telah kalian persiapkan untuknya (masa paceklik itu),
kecuali sedikit dari apa yang kalian simpan. Kemudian akan datang sesudah itu,
tahun yang di dalamnya manusia diberi hujan dan di dalamnya mereka memeras
buah.”[2]
Persiapan simpanan pangan itu dilakukan dalam rangka menghadapi visi
sang raja tentang krisis yang akan datang, yang dilambangkan dalam mimpinya sebagai
“tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus;
dan tujuh bulir (gandum) yang hijau sementara (tujuh bulir) yang lainnya kurus”.[3] Hal
ini membayangkan kepada kita pentingnya suatu narasi jangka panjang dalam
kehidupan, terutama narasi yang dapat mempersiapkan kita untuk menghadapi
berbagai ujian dan cobaan yang datang menjelang. Apalagi jika kita menjadi
pemimpin, kemampuan futurologi visioner itu mutlak diperlukan.
Tentulah bacaan masa depan itu tidak melulu datang dari takwil
mimpi atau suatu ilham tertentu, tapi mestilah kita dapat membaca kondisi masa
ini lalu memosisikannya dalam suatu gambaran besar gelombang dan siklus sejarah
untuk memprakirakan berbagai kejadian di masa mendatang. Karena itulah ilmu
sejarah dan ilmu tentang hal masa kini perlu dipadukan sebagai panduan masa
depan. “Itulah hari-hari (kemenangan dan kekalahan, kemajuan dan kemunduran,
kejayaan dan kehancuran, kebangkitan dan keruntuhan) Kami pergilirkan di antara
manusia ... Jika kalian terluka, telah terluka pula kaum-kaum sebelum kalian
... Telah berlalu sebelum kalian sunan-sunan (jalan, sunah, kaidah, metode
bergulirnya sejarah) ... Maka, berjalanlah kamu di muka bumi (ambillah
pandangan dalam perspektif ruang), lalu lihatlah akibat dari orang-orang
terdahulu (lakukanlah rasionalisasi-observasi-empiris dalam perspektif waktu).”[4]
Sebagaimana pula telah kita bahas dalam tulisan-tulisan
lalu.
Hal yang menarik lainnya ialah, bahwa simpanan atau cadangan itu
mestilah dibuat sedemikian rupa hingga ia memiliki struktur yang berlapis. Hal ini
mengingat kemampuan bacaan masa depan kita sebagai manusia biasa begitu
terbatas, sehingga perkiraan masa krisis yang kita hasilkan dapat melesat,
sehingga kita mesti menerapkan suatu asas simpanan berlapis guna memastikan ada
ruang relaksasi atau stretching tertentu bilamana krisis masa mendatang
itu terjadi lebih lama dan lebih dahsyat dari segala perhitungan kita. Hal ini
miriplah dengan kesinambungan konsep-konsep fail safe, redundancy,
margin of safety, dan safety factor dalam dunia teknik rekayasa. Dengan
kata lain, kekuatan yang mesti kita siapkan ialah sebesar beban terbesar yang
kita perhitungan di depan ditambah dengan suatu rentang nilai beban yang
menjadi zona relaksasi atau residu tersebut. Bagian inilah yang kita sebut
sebagai daerah cadangan atau simpanan berlapis.
Dalam bahasan di atas, daerah cadangan berlapis itu dapat kita
temukan pada kata-kata Nabi Yusuf dalam menakwilkan mimpi raja itu, yaitu bahwa
dalam menghadapi 7 tahun masa paceklik itu, harus dipersiapkan cadangan makanan
yang setara dengan kebutuhan 7 tahun pula, yang ditambah dengan sedikit
cadangan lagi yang menjadi margin of safety itu. Hal itu kita dapati
dari pernyataan tentang “tujuh tahun yang amat sulit, yang memakan habis apa
yang telah kalian persiapkan untuknya (masa paceklik itu)”, yang merupakan
cadangan untuk menghadapi beban terbesar, yaitu menyisihkan makanan 7 tahun
masa normal yang setara kebutuhan 7 tahun masa paceklik. Itu adalah pokok
minimalnya, tapi tidak boleh hanya itu, ia mestilah ditambah dengan sekian persen
bentang residu sebagai konsep simpanan berlapis itu, yaitu “kecuali sedikit
dari apa yang kalian simpan”.
Itu artinya dalam mempersiapkan suatu krisis, kita tidak boleh hanya
menyediakan cadangan yang tepat habis dalam rentang krisis yang kita
perhitungkan itu, tapi mestilah kita tambahi dengan suatu daerah residu, suatu
margin of safety, suatu lapisan cadangan lainya yang dapat berguna jika
krisis itu lebih panjang atau lebih parah dari yang kita perhitungkan. Daerah
margin atau residu cadangan berlapis ini memang biasanya tidak terlalu banyak dibandingkan
dengan total jumlah cadangan yang ada, karena galat suatu perhitungan umumnya
memang diusahakan kecil. Namun, bentangan daerah cadangan berlapis ini mesti
pula disesuaikan dengan natur dari suatu aspek krisis. Jika diibaratkan dunia
teknik, margin of safety itu dalam bidang penerbangan, mekanika, atau perkapalan
tentulah berbeda dengan margin of safety pada dunia teknik bangunan atau
sipil. Itu karena natur operasionalnya yang berbeda. Dunia mekanika itu umumnya
juga mempertimbangkan faktor kelincahan dan keringanan bobot sehingga “total
cadangannya” lebih kecil, antara 1,3 hingga 1,5 kali beban terbesar yang
mungkin dihadapi. Artinya, “margin residu cadangannya” hanya 0,3 hingga 0,5 (1
setara 100% beban). Sedangkan pada teknik bangunan atau sipil, di mana bobot
struktur umumnya tak jadi masalah, marginnya bisa jauh lebih besar karena total
cadangannya diizinkan hingga 5 kali beban yang mungkin ditanggung.
Demikianlah kata “sedikit dari apa yang kalian simpan” dalam
kata-kata Nabi Yusuf itu, ialah digambarkan dalam suatu kondisi di mana bentangan
galat perhitungan skala krisis yang akan datang memang tidak terlalu besar,
karena memang sudah dipastikan bahwa setelah krisis (masa paceklik 7 tahun) itu,
berikutnya akan datang masa hujan dan panen yang cukup tanpa diselingi oleh
adanya krisis lain. Artinya, kondisi beban maksimalnya memang telah demikian
presisi diperkirakan hanya sekitar 7 tahun saja, dan kalaupun bertambah, tidak
akan bertambah dalam hitungan tahun, tapi dalam beberapa pekan atau bulan saja.
Dengan begitu, margin residunya dapat cukup kecil, mungkin 0,2 atau 0,4 dan
tidak akan mencapai 100% total cadangan utama yang 7 tahun itu. Itu artinya,
besar margin residu atau cadangan berlapis yang disiapkan bergantung pada
kepastian beban operasional yang dapat diperhitungkan. Semakin banyak faktor pembebanan
atau variabel yang mengandung ketidakpastian, semakin besar pula margin
relaksasi yang harus disediakan.
Demikianlah kisah Nabi Yusuf itu mengajarkan pada kita tentang
konsep cadangan atau simpanan yang berlapis dalam rangka mempersiapkan suatu
krisis. Bahwa dalam persiapan cadangan itu, kita harus melebihkan suatu rentang
relaksasi tertentu untuk menjadi margin cadangan residu di samping cadangan
utama. Margin residu ini memiliki konsep yang mirip dengan margin of safety,
fail safe, dan redundancy dalam dunia teknik. Nilai margin residu
cadangan ini bergantung pada tingkat kepastian beban yang diperhitungkan dan
natur atau tingkat kekritisan suatu aspek krisis serta operasional yang ada.
Semakin besar ketidakpastian pembebanan, makin besar pula margin yang harus
diberikan. Semakin kritis suatu aspek, makin besar pula margin yang harus
disediakan. Namun, pertimbangan operasional saat normal juga perlu
diperhitungkan agar tidak terlalu banyak alokasi yang terserap menjadi cadangan
sehingga pertumbuhan operasional fase normal tidak terganggu.
Jika diluaskan pada spektrum selain pangan, konsep margin cadangan
residu ini juga dapat berarti suatu diversifikasi cadangan atau simpanan. Hal
ini dapat kita jumpai pada kisah Nabi Musa, saat beliau tengah dalam perjalanan
berguru mengikuti “seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan
kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu
dari sisi Kami”.[5]
Disebutkan pada suatu takat perjalanan mengikuti hamba Allah itu, “keduanya
mendapati dalam negeri itu dinding bangunan yang hampir roboh, maka (hamba
Allah yang diikuti Nabi Musa itu) menegakkan dinding itu.”[6] “Adapun
dinding bangunan itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang orang tua mereka
adalah orang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai
kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari
Tuhanmu.”[7]
Teranglah di sini bahwa konsep cadangan atau simpanan berlapis itu
diterjemahkan dalam makna diversifikasi, yaitu pembedaan atau pemecahan bentuk kepada
pelbagai jenis simpanan agar lebih aman dari berbagai ketidakpastian proses.
Diversifikasi ini diwujudkan dalam simpanan yang berupa bangunan dan tanah
serta harta benda yang disimpan di bawah bangunan itu. Bangunan dan tanah
merupakan suatu bentuk simpanan tersendiri, sementara harta benda simpanan
(dalam masa lampau umumnya berupa emas, perak, atau barang berharga lainnya
karena belum ada uang kertas) yang ditimbun di bawah bangunan itu juga
merupakan bentuk atau jenis simpanan tersendiri. Itu artinya, simpanan atau
cadangan berlapis juga dapat diwujudkan dalam upaya diversifikasi sehingga jika
terjadi kejatuhan di satu bagian, bagian lain masih diharapkan selamat. Hal ini
juga sudah umum dilakukan dalam dunia investasi.
Demikianlah Quran mengajarkan pada kita, dan bahwa kita patut
menggarisbawahi bahwa tidaklah masalah bagi “seorang saleh” untuk memiliki
simpanan harta, makanan, atau lainnya untuk masa depan dan untuk
anak-keturunan, seperti yang ada pada kisah Nabi Musa itu. Namun, simpanan itu
tidaklah boleh dilakukan dalam rangka menumpuk-numpuk harta semata, tetapi
dilakukan sebagai upaya untuk menopang keberlanjutan misi dakwah di antaranya
dengan memastikan generasi depan terbentuk dengan baik. Hal itu karena kita
tidak boleh meninggalkan generasi mendatang dalam keadaan lemah, lemah din,
akidah, ilmu yang paling pokok, lalu lemah fisik, harta, pangan, dan berbagai
kebutuhan material lain sebagai aspek lain yang juga penting ditindaklanjuti. Karena
memang dalam banyak kasus pemurtadan itu, salah satunya didorong pula oleh
kelemahan ekonomi. Dan bahwa ekonomi yang kuat dapat pula memberikan pengaruh
yang kuat sehingga dapat menopang dakwa. Itulah bagaimana gerakan Zionis itu
dapat memiliki lobi yang kuat di Eropa maupun Amerika karena mereka kuat dalam
banyak bidang, termasuk finansial, legal, dan media massa.
Namun, mengejar kekuatan itu, termasuk kekuatan finansial yang diwujudkan
dalam simpanan itu, bukanlah tujuan yang utama, ia hanyalah suatu sarana belaka.
Tujuan utamanya tetaplah dakwah kepada Allah. Soalan rezeki adalah
kewenangan-Nya. Tugas manusia hanyalah mengelolanya dan mempersiapkan suatu
visi yang berorientasi jangka panjang, baik dunia maupun akhirat. Maka,
tidaklah masalah mengalokasikan simpanan khususnya untuk pendidikan dan
pembentukan generasi anak-turun kita, asalkan sewajarnya dan tidak melenceng
dari nilai-nilai din. Dan bahwa, dalam bahasa Anis Matta, zuhud itu ialah
kondisi tidak dikuasai atau diperdaya oleh harta setelah memilikinya, artinya
ia merupakan kondisi pasca-kemakmuran.
Siapa yang dapat berharta tapi tidak diperbudak oleh hartanya dan
tetap berorientasi kepada Allah itulah orang yang zuhud. Menurut Anis Matta
itu, zuhud bukan kondisi sebelum kepemilikan harta, melainkan keadaan jiwa sesudah
memiliki harta itu. Artinya, ia bukan kondisi pasrah begitu saja yang berujung
pada keadaan tidak berdaya umat menghadapi penguasaan ekonomi atas mereka,
seperti jamak di negeri ini bahwa mayoritas kekayaan alam yang ada hanya
dikuasai segelintir orang belaka, yang kebanyakan di antaranya non-muslim, dan
maaf jika memakai bahasa lama, banyak di antaranya non-pribumi. Keadaan ini
menimbulkan ketimpangan besar yang rawan menjadi masalah sosial dan konflik
horizontal.
Sebagian di antaranya adalah salah kita karena kurang kesadaran
atau tidak mampu melakukan penyisihan kepemilikan saat ini atau simpanan untuk
keperluan hari esok, terutama keperluan akan-cucu, dakwah, dan keperluan
kolektif umat. Karena itu, berbagai komponen ekonomi keumatan perlu kita
galakkan, seperti wakaf produktif, zakat, sedekah, dan lain-lain. Pun juga
dalam melakukan penyimpanan dan investasi, kita mesti memiliki keberpihakan
pada investasi di sektor UMKM dan ekonomi syariah, yang mayoritasnya menghidupkan
ekonomi rakyat kecil yang muslim di negeri ini. Tidak hendak berpanjang lagi
mengingat bahasan itu perlu kajian tersendiri. Singkat kata, sebagai pribadi
dan sebagai umat, kita perlu belajar tentang konsep simpanan berlapis ini.
Semoga bermanfaat. Wallāhu aʿlam biṣ ṣawāb.
[1] QS 59: 18
[2] QS 12: 47-49
[3] QS 12: 43 dan 46
[4] QS 3: 137-140
[5] QS 18: 65
[6] QS 18: 77
[7] QS 18: 82
Comments
Post a Comment