Pantura: Panca Tuntutan Rakyat
Jika saya diizinkan untuk merumuskan tuntutan-tuntutan rakyat terhadap penguasa sejak zaman Reklamasi Teluk Jakarta itu, saya akan merangkumnya menjadi lima pokok, yaitu saya sebut sebagai Panca Tuntutan Rakyat (Pantura): (1) Batalkan RUU Omnibus Law Cilaka; (2) Batalkan UU KPK yang baru; (3) Batalkan UU Minerba yang baru; (4) Batalkan RUU HIP/BPIP; (5) Perbaiki kehidupan demokrasi.
Gelombang demonstrasi yang terjadi akhir-akhir ini secara salah dituduh oleh penguasa telah ditunggangi oleh kelompok tertentu, terutama KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia). Hal itu telah berujung pada penangkapan sejumlah tokoh, termasuk para deklarator KAMI seperti Syahganda Nainggolan. Padahal, jika kita mau memikirkannya dengan lebih jernih, kita akan mendapati bahwa aksi-aksi itu sebenarnya demikian organik. Mengapa demikian? Setidaknya jawabannya terletak pada isu dan pemrotes yang heterogen dan berganti-ganti secara konsisten. Tidak mungkin suatu kelompok tertentu mampu menunggangi banyak komponen masyarakat sekaligus, pasti ada resistensi terkait perbedaan nilai,kecenderungan gerakan, kepentingan sosial-politik, afiliasi tokoh, dan sebagainya.
Terbukti bahwa gelombang protes terhadap kekuasaan dan mereka yang berafiliasi pada kekuasaan itu sebenarnya telah dimulai jauh-jauh hari, yaitu sejak perlawanan terhadap Reklamasi 17 Pulau di Teluk Jakarta yang porosnya adalah nelayan, aktivis lingkungan, dan masyarakat miskin Jakarta secara umum; dengan isu berkutat pada masalah keadilan dan lingkungan. Gelombang protes selanjutnya adalah aksi-aksi 212 berikut segala serinya, dengan porosnya adalah kelompok-kelompok keagamaan, dengan isu berkisar pada masalah agama dan keadilan. Gelombang besar protes berikutnya terjadi seputar disahkannya RUU KPK (Rancangan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi), dengan poros utamanya adalah aktivis anti-korupsi, praktisi dan ahli hukum, para pegawai dan simpatisan KPK, hingga elemen mahasiswa; isunya berpusat pada soal pelemahan upaya pemberantasan korupsi.
Gelombang besar demonstrasi berikutnya mewarnai kontroversi RUU HIP/BPIP (Haluan Ideologi Pancasila / Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), dengan poros utamanya adalah kelompok keagamaan dan aktivis demokrasi; isunya berkutat pada ketakutan terhadap penafsiran tunggal Pancasila berikut pemaksaannya oleh penguasa seperti zaman Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, serta isu soal kebangkitan Nasakom (doktrin Nasionalis-Agama-Komunis), yang lekat dengan pencaplokan Pancalisa menurut tendensi 1 Juni. Barulah setelah itu, gelombang protes yang massif terjadi melawan pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka), dengan poros utamanya para buruh, aktivis lingkungan, elemen mahasiswa, praktisi pendidikan tertentu (seperti kelompok Taman Siswa) dan pemerhati ekonomi; sedangkan isu utamanya soal ketenagakerjaan, pendidikan, lingkungan, keadilan, dan kehidupan demokrasi. Sebenarnya di antara itu, ada pula protes terhadap pengesahan UU Minerba yang baru, tetapi relatif tidak semassif gelombang protes lainnya, kemungkinan karena isunya tidak disorot secara luas oleh publik, padahal konsekuensinya sama-sama berat. Poros utama protes terhadap UU Minerba itu datang dari pemerhati masalah pengelolaan sumber daya alam, aktivis lingkungan, dan pemerhati ekonomi.
Demikianlah kita lihat, poros pemrotes untuk setiap isu yang melahirkan gelombang demonstrasi besar mencakup rentang yang sangat beragam dengan berbagai latar belakang, posisi kepentingan, dan pendirian masing-masing. Tidak mungkin KAMI atau kelompok lainnya secara sendirian mengerahkan atau menunggangi semua elemen itu. Toh, KAMI juga baru dibentuk akhir-akhir ini, padahal gelombang protes terhadap penguasa atau mereka yang berafiliasi dengan penguasa telah berlangsung jauh hari sebelumnya, paling tidak sejak soal-soal Reklamasi Teluk Jakarta dan kasus penistaan agama itu mencuat ke publik. Dengan akal yang sehat kita akan dapat melihat semua gelombang prote situ sebagai suatu fenomena sosiologis yang organik, yakni tanpa ada yang menunggangi, lebih-lebih karena nyaris semua lawan politik penguasa sejak Pilpres (Pemilihan Presiden) dulu telah masuk ke dalam kolam. Jadi, siapakah yang punya motif dan kemampuan untuk menunggangi semua itu? Tidak ada! Malah masing-masing pihak telah secara organik menyampaikan pendapat mereka soal isu-isu tersebut sesuai concern mereka sendiri-sendiri. Itu cerminan dari protes yang organik; apalagi protes terhadap RUU KPK ke belakang jelas tidak ditunggangi KAMI, karena waktu itu KAMI belum lahir.
Lalu, apa masalahnya? Apa yang mendorong berbagai elemen masyarakat untuk melakukan protes beberapa kali itu? Jika kita tarik benang merah dari keseluruhannya, sejatinya persoalannya hanya satu, sikap tidak demokratis, ketidakadilan, dan kesewenangan penguasa. Hal itulah yang terus menjadi bagian isu pokok sejak kasus Reklama Teluk Jakarta, kasus penistaan agama, UU KPK, UU Minerba, RUU HIP/BPIP, hingga RUU Cilaka. Meskipun begitu, jelas terdapat perbedaan mendasar di antara semua fenomena protes yang terkait isu-isu itu, yaitu perbedaan soal keberadaan outlet suara masyarakat, terutama mereka yang melakukan protes. Pada kasus Reklamasi Teluk Jakarta dan penistaan agama itu (tidak hanya Ahok, tapi juga mencakup Sukmawati, Victor Laiskodat, dan sejumlah kasus lain), setidaknya sebagian besar tuntutan masyarakat yang protes telah mendapatkan outlet-nya, yaitu dibatalkannya Reklamasi 17 Pulau di Teluk Jakarta oleh Gubernur baru (minus sekitar 3 pulau yang sudah terlanjur jadi sebelum printah penghentiannya) dan diprosesnya sebagian tersangka kasus penistaan agama dan minta maafnya sebagian yang lain, meskipun sebagian lagi tetap bebas tanpa mendapatkan hukuman apa pun.
Sementara itu, terkait isu-isu lainnya, outlet terhadap tuntutan masyarakat itu sama sekali tidak ada: UU KPK baru jalan terus, UU Mineba baru terus jalan, RUU HIP meskipun mereda tetap getol diupayakan dengan format dan nama baru RUU BPIP, dan terakhir, tak peduli terhadap gelombang protes yang terjadi, RUU Omnibus Law Cilaka itu sepertinya tetap akan disahkan juga. Pihak Pemerintah sendiri sedari awal terang mengakui bahwa mereka pengusulnya dan mendesak DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) utnuk mengebut penyelesaiannya dalam 100 hari. Akhirnya, karena tidak ada outlet lewat jalur resmi, kekesalan dan rasa frustrasi publik akibat soal-soal itu akhirnya ditumpahkan di jalanan, di medan demonstrasi.
Hal itu diperparah dengan tidak berjalannya fungsi formal Dewan sebagai pengawas Pemerintah, juga kecilnya kemampuan oposisi dalam parlemen, bahkan sebagian pihak yang di luar pemerintahan itu seing abu-abu dalam bersikap. Belum lagi pola-pola politik kartel semacam itu juga meluas ke daerah-daerah; pembelian kandidasi dan dukungan koalisi marak terjadi, cukong semakin menggurita, calon tinggal terjadi di mana-mana, dan seterusnya. Ditambah lagi dengan UU MK yang baru itu, ibaratnya semacam “bingkisan” penguasa untuk para hakim MK (Mahkamah Konstitusi) sehingga mereka tidak akan membuat putusan tanpa terlebih dahulu memperhatikan kedipan mata atau sinyal lain dari penguasa. Dengan begitu, upaya formal lewat jalur konstitusi seperti Judicial Review hampir dipastikan akan gagal, mengingat putusan pasti lebih membela penguasa.
Tanpa ada saluran formal yang menjanjikan yang tersisa, tak pelak lagi, segala kegetiran, kegelisahan, kekesalan, kemarahan, rasa frustrasi, dan uneg-uneg rakyat akan tumpah-ruah ke jalan-jalan, ke lapangan-lapangan, ke gedung-gedung para Dewan, ke istana-istana Presiden dan Kepala Daerah, dan bahkan bisa saja ke gedung-gedung milik partai yang berafiliasi dengan kekuasaan. Bila protes terpendam, terhimpit di bawah tilam, pantulannya akan merangsek ke medan-medan juang. Gegap gempita demonstrasi itu pada akhirnya akan membentur meja-meja kekuasaan, markas-markas virtual para buzzer istana, papan tulis-papan tulis para dekan dan rektor yang menghamba dan melacurkan diri pada kekuasaan, serta jidat para penyair salon yang bersajak tentang anggur, pesta, dan rembulan sementara ketidakadilan meraja-lela di sekelilingnya.
Lalu, apakah sebenarnya yang diinginkan rakyat? Jika kita hendak merangkumnya, semestinya kita memerhatikan pon-pon tuntutan mereka yang belum atau tidak mendapatkan outlet itu, yaitu soal RUU Omnibus Law Cilaka, UU KPK, UU Minerba, dan RUU HIP/BPIP. Proses-proses terhadap sejumlah aturan yang dipaksakan oleh kekuasaan itu masih berlangsung dan bahkan sudah disahkan, maka perjuangan rakyat dalam soal-soal itu masih belum selesai dan mesti diikutkan sebagai rumusan aspirasi. Namun daripada semua itu, sebenarnya ada bagian yang jauh lebih fundamental yang mesti diberi perlakuan.
Kesemua soal itu sejatinya bertalian dengan mundurnya kehidupan demokrasi di Republik. Berbagai indeks dari lembaga luar maupun dalam negeri memang telah menandakan bahwa kita ini sudah bukan negara demokrasi, bukan negara tempat orang bebas berpendapat lagi. Kapan pun, para buzzer istana siap menyerang, bahkan aparat siap mengamankan dan memenjarakan, pendukung rezim yang taklid buta atau bahkan pendukung bayaran siap merundung dan meng-kasus-kan. Para cukong dan kartel politik begitu berkuasa dalam berbagai pemilihan di semua tingkatan. Pertukaran konsesi dengan dukungan pada kekuasaan marak dijalankan. Inilah demokrasi kita saat ini, Demokrasi Perjuangan. Maka, perbaikan kehidupan demokrasi menjadi penting untuk dilakukan.
Akhirnya, saya tidak hendak berpanjang-panjang dalam menggambarkan keadaan. Biarlah pembaca yang budiman menelusuri berbagai tulisan saya sebelumnya tentang hal itu, uatamanya yang berjudul “Menuju GelombangKeempat Indonesia, Mengakhiri Reformasi I”. Untuk saat ini, marilah kita menetapkan dahulu tuntutan-tuntutan rakyat yang mesti diperjuangkan itu. Jika saya diizinkan untuk merumuskan tuntutan-tuntutan rakyat terhadap penguasa sejak zaman Reklamasi Teluk Jakarta itu, saya akan merangkumnya menjadi lima pokok, yaitu saya sebut sebagai Panca Tuntutan Rakyat (Pantura): (1) Batalkan RUU Omnibus Law Cilaka; (2) Batalkan UU KPK yang baru; (3) Batalkan UU Minerba yang baru; (4) Batalkan RUU HIP/BPIP; (5) Perbaiki kehidupan demokrasi.
Comments
Post a Comment