Menuju Gelombang Keempat Indonesia, Mengakhiri Reformasi I
Jika pembacaan saya benar, kita tengah berada di akhir era reformasi jilid pertama dalam suatu siklus 20-30 tahunan. Dalam siklus sejarah ini, terdapat dua gelombang pra-Indonesia yang berjalan dalam bingkai pergerakan modern, yang dominan pada medan pemikiran dan organisasi, yaitu 1900-1920 dan 1920-1945. Gelombang pertama, kedua, dan ketiga setelah lahirnya Indonesia terjadi pada 1945-1965, 1965-1998, dan 1998-sekarang. Ketiga gelombang itu bergulir dalam upaya pencarian keseimbangan antara pembangunan ekonomi, penyehatan demokrasi, serta pembentukan identitas kebangsaan dan politik.
Sekarang, gelombang ketiga ini telah berlangsung sekitar 22 tahun. Segala pembusukan hari-hari ini, jika tidak segera dibenahi, tidak mustahil akan menjadi semacam pintu gerbang bagi momentum-momentum perubahan, yang akan membawa kita pada suatu era baru dalam siklus sejarah, yang saya namakan “gelombang keempat Indonesia”. Tema besar perjuangan dalam gelombang keempat Indonesia ini ialah, mewujudkan suatu negara bangsa modern, berasaskan demokrasi non-liberal, dengan falsafah hidup Pancasila yang non-sekuler, melalui suatu pembaharuan yang berakar kokoh pada tradisi dan perbendaharaan lama.
1900-1920, Gelombang Pra-Indonesia I: Kelahiran Kesadaran dan Kebangkitan Nasional
Gelombang pra-Indonesia I yang berlangsung pada awal abad
ke-20 disebut oleh para sejarawan sebagai gelombang kelahiran kesadaran atau
kebangkitan nasional [Bachtiar, 2016 hal: 1]. Fase ini ditandai dengan
munculnya pemahaman bahwa tatanan sosial dan politik lama, yang berupa
kerajaan-kerajaan dan berbagai struktur feodalisme, serta model perlawanan yang
dominan secara fisik – betapa pun besarnya dan menyengat kerugiannya terhadap
Belanda seperti pada Perang Diponegoro, Perang Aceh, Perang Padri, dan
lain-lain itu – tidak mampu mengenyahkan kedudukan pemerintah kolonial. Bahkan,
sebagian struktur feodalisme yang ada justru dimanfaatkan oleh Belanda untuk
meredam perlawanan dan mengukuhkan kekuasaan.
Fakta itu menimbulkan kesadaran untuk berjuang dengan
cara lain melalui kepemimpinan baru yang terlepas dari struktur feodalisme dan
kerajaan-kerajaan lama. Pergerakan baru itu bermuara pada jalur pemikiran dan
organisasi, dengan urgensi untuk mewujudkan ikatan baru demi menggantikan
tatanan lama yang tak lagi bekerja. Pada takat ini, yang juga bersamaan dengan
perkembangan geopolitik tertentu seperti meluasnya kolonialisme Eropa dan
pelbagai peristiwa seputar “The Great War” atau Perang Dunia (PD) I, pengaruh
pemikiran Islam dan bahasa Melayu turut mempunyai andil besar dalam proses
kebangkitan nasional itu.
Jejaring para aktivis dan intelektual-ulama lewat
perjalanan haji menjadi semacam sarana pertukaran gagasan global. Hal itu
kemudian dikembangkan oleh para tokoh yang turut mendapatkan pengajaran ala
Belanda. Pengaruh pembaruan pemikiran Islam yang dipadukan dengan
gagasan-gagasan Barat itu kemudian meresap ke dalam masyarakat lewat pergerakan
kaum modernis yang berpusat pada medan tulisan, sekolah, dan organisasi. [Yacob,
2016 hal 1750-1751]. Islam merupakan faktor yang membuat bangsa ini mampu
bertahan menghadapi kolonialisme Eropa, tidak habis seperti orang Aborigin dan
Indian; tidak diperbudak habis-habisan dan tercerabut dari akar tamadun/peradabannya
seperti penduduk sebagian kawasan Afrika. Islam dan bahasa Melayu telah
beberapa masa menjadi faktor pembangkit kesadaran, semangat intelektualitas,
dan ikatan pemersatu baru.
Islam telah sejak lama mengobarkan semangat perlawanan
terhadap kolonialisme di kalangan pejuang-pejuang lama seperti Diponegoro dan
tokoh-tokoh Perang Aceh serta Perang Padri yang menganggap perjuangan mereka
sebagai semacam perang sabil [Carey, 2001 hal: xxii dan 177 ]. Islam juga
menjadi falsafah hidup mayoritas di Nusantara yang meleburkan batas-batas
antarsuku dan kelas sosial, demikian egaliternya ajarannya dalam struktur
sosial. Bahasa Melayu pun, bahasa yang paling kental mengalami Islamisasi di
antara berbagai bahasa di Nusantara, juga telah menjadi bahasa dakwah Islam
sekaligus lingua franca mayoritas penduduk Nusantara. Kedatangan Islam
telah membangkitkan semangat intelektualitas secara luas, menawarkan wacana
pemikiran yang egaliter.
Walaupun tidak meninggalkan candi-candi megah, Islam
telah menawarkan jiwa intelektual dalam pendidikan yang merakyat, pemikiran
peradaban, dan falsafah tamadun bagi bangsa ini. Begitu banyak konsep bahasa
Melayu dan Indonesia yang berkaitan dengan prinsip-prinsip intelektualitas itu
diserap dari bahasa Arab, bahasa Islam, seperti konsep akal (al-Ê¿aql),
hikmah (al-hikmah), dan masih banyak lagi. Berbagai buku ditulis tanpa
kungkungan kepanditaan, rakyat biasa dapat membaca buku-buku tentang adab,
tanpa harus melalui pemuka agama. Buku berbagai tema seperti Mahkota Para Raja
(Tajus Salatin), Kebun Para Raja (Bustanus Salatin), majalah al-Munir, naskah-naskah
Hetbook van Bonang (notulen ajaran Sunan Bonang), dan masih banyak lagi,
baik yang berbahasa Arab maupun berbahasa Nusantara yang ditulis dengan huruf
Jawi/pegon, secara meluas beredar dan diajarkan di pesantren-pesantren. Masyarakat
berbagai level sosial boleh belajar di pesantren. Jejaring pendidikannya pun
telah setingkat internasional, terhubung ke Kairo, Mekkah, Sudan, Istanbul, dan
berbagai pusat studi utama dunia Islam.
Islam juga menawarkan ikatan persatuan baru berbasis
ukhuwah (persaudaraan) dan ummah (kebangsaan, al-umm berarti
dasar ibu; terjemah bahasa Inggris dari ummah termasuk nation,
bangsa) yang lebih egaliter dan union menggantikan sistem kasta dan etnosentrisme.
Segala transformasi sosial itu berjalan demikian alami tanpa menggerus habis
nilai-nilai lokal yang tidak bertentangan dengannya. Dengan begitu, sejak lama
Islam telah menjadi jiwa persatuan dan semangat perlawanan bangsa ini yang
secara konsisten menjadi oposisi dari penindasan oleh kolonialisme Eropa.
Salah satu contoh nyata peran Islam dalam kebangkitan
nasional itu terwujud dalam kiprah Raden Mas Djokomono Tirtoadhisoerjo
(1880-1918). Tirto ditetapkan sebagai Bapak Pers Nasional pada 1973 dan sebagai
pahlawan nasional melalui Keppres RI No 85/TK/2006. Ia merupakan pelopor pers
berbahasa Melayu (proto-Indonesia) yang dikelola dan didanai sepenuhnya oleh
pribumi [Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), Poetri Hindia (1908),
dan Soeloeh Keadilan ()]. Ia juga pendiri pertama Sarekat Dagang Islamiyah
(SDI) di Buitenzorg (Bogor), Batavia, dan lalu bekerja sama dengan H. Samanhudi
mengubah laskar Rekso Roemekso menjadi SDI cabang Solo. Pengaruh dan namanya
sendiri sengaja dipudarkan dari sejarah oleh pemerintah Belanda, terutama lewat
peran Douwe Adolf Rinkes, murid Van Ronkel dan Hazeu yang dipengaruhi pemikiran
Snouck Hurgronje. [Bachtiar, 2016 hal 39]
SDI afdeling Solo itu lalu ditransformasi oleh Samanhudi
menjadi SDI yang dikenal dalam pelajaran-pelajaran sekolah, sebelum kemudian
diubah oleh Tjokroaminoto menjadi Sarekat Islam (SI). Sejumlah tokoh dari
beragam latar pendidikan, status sosial, dan ideologi pernah menjadi anggota
atau minimal pernah bersentuhan dengan SDI dan SI, mulai dari Agus Salim, Abdoel
Moeis, Soekarno, Kartosuwiryo, Semaun, Alimin, hingga Tan Malaka. Keanggotaan
SI yang terbuka membuatnya memiliki basis masa yang begitu besar pada masa itu.
Namun, hal itu sekaligus menjadi sebab perpecahannya akibat golongan komunis (orang
SI yang juga kader Sneevliet di ISDV) keluar dan membajak sejumlah cabang SI
yang diubah menjadi Sarekat Rakyat dan di kemudian hari menjadi PKI (Partai
Komunis Indonesia).
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa Islam kemudian tidak
menjadi satu-satunya cita-cita arus utama dalam proses pembentukan identitas
Indonesia. Hal itu dapat dipahami mengingat telah banyak pula umat Islam yang
mengalami sekularisasi melalui kebijakan pendidikan Politik Etis itu. Pesantren,
Tawalib, surau, madrasah, dan berbagai institusi pendidikan Islam yang lebih
dulu ada sebelum sekolah-sekolah Belanda telah lama dianggap musuh oleh
pemerintah kolonial dan dijelekkan dengan menyebutnya sebagai terbelakang. Para
elite baru yang terbentuk melalui pendidikan Politik Etis itu, sebagian menjadi
pemikir sekuler. Pemikiran-pemikiran sekuler yang berkembang masa itu di
antaranya sosialisme dan komunisme. Pemikiran liberalisme tidak terlalu meluas,
mengingat arus zaman yang sedang menghadapkan para aktivis dengan Belanda yang
satu kubu dengan sejumlah negara penganjur liberalisme di Barat. Utamanya
seputar Perang Dunia (PD) I dan II. Meski begitu, sejumlah pemikir liberal
seperti Snock Hurgronje dan Douwe Rinkes, telah cukup lama mulai menyebarkan
pemikirannya di Nusantara.
Selain itu, peradaban Islam pada era itu secara global
memanglah tengah berada dalam lembah gelombang. Pasca abad ke-15, saat
Konstatinopel diambil alih umat Islam, peradaban ini justru mengalami
kemandekan yang secara perlahan membuat mereka semakin tertinggal dan rapuh.
Abad ke-16, 17, 18, dan 19 berturut-turut menjadi abad hegemoni Portugis,
Belanda, dan Inggris (dua kali); Osman tinggal jadi “old sickman of Europe”
yang kemudian benar-benar runtuh pasca PD I. Wilayah-wilayah Islam di Timur
Tengah, Asia, dan Afrika Utara banyak yang jatuh ke koloni Eropa. Kejumudan itu
tampaknya membuat sebagian umat ini merasa perlu melakukan pembaruan yang tetap
mengakar, sementara sebagian lain mencoba mengikuti tren peradaban Barat untuk
mencapai “kemajuan”, yaitu sekularisasi. Sebagian menetapi komunisme dan sosialisme
sebagai jalan melawan kolonialisme Barat (Portugis, Spanyol, Perancis, Inggris,
dan Belanda; lihat tulisan
sebelumnya tentang imperium hegemoni sejak abad ke-16 dalam perspektif
Gelombang George Modelski). Pemikiran liberalisme juga berkembang walaupun
tidak semasif komunisme dan sosialisme.
Namun begitu, pertentangan antar ideologi dan kelompok
pergerakan itu relatif belum terlalu tampak pada gelombang ini. Hal itu karena
tujuan semua golongan relatif sama, yaitu untuk melepaskan diri dari kolonialisme
Belanda. Hubungan antarkelompok Islam dan sosialis relatif baik, seperti
dicontohkan oleh sejumlah tokoh asal Minangkabau dan diskusi kritis intelektual
dalam buku-buku seperti “Islam dan Sosialisme” tulisan Tjokroaminoto yang
mencoba mengadopsi model gerakan ekonomi sosialisme dengan ruh ideologis Islam.
Hubungan yang runcing hanya terjadi antara kelompok Pan-Islamis dengan golongan
komunis. Pertentangan yang lebih tajam baru akan muncul pada dua gelombang
selanjutnya, Gelombang Pra-Indonesia II dan Gelombang I Indonesia, terutama seputar
pembahasan tentang dasar negara dan perdebatan-perdebatan di Konstituante dalam
proses menjadi Indonesia dan pembentukan identitas politik dan kebangsaan.
1920-1945, Gelombang Pra-Indonesia II: Proses Menjadi Indonesia
Gelombang Pra-Indonesia II merupakan proses menuju
Indonesia, yaitu di mana segala warna pergerakan yang ada melalui serangkai
proses pemikiran dengan perdebatan yang sengit, menuju suatu konsensus bersama,
dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang mengantarkan mereka membentuk
suatu bangsa dan negara. Konsensus sosial itu pada puncaknya diejawantahkan
dalam Sumpah Pemuda, Piagam Jakarta, Pancasila, dan segala hasil pembahasan
panitia-panitia yang bekerja mempersiapkan kemerdekaan itu, dari BPUPKI, PPKI,
hingga Panitia Sembilan. Konsensus itu, sekali lagi, merupakan hasil dari suatu
pergulatan pemikiran yang panjang, dengan tarik-ulur dari berbagai kubu yang
berbeda itu, antara yang Islamis dengan sekuler; di dalam kubu Islamis pun ada yang
tradisionis dan modernis; di kubu sekuler ada yang sosialis dan komunis; semua
memiliki titik pandang yang beragam, bahkan kadang bertentangan, tentang
entitas dan konsep baru dalam sejarah bernama Indonesia itu.
Perdebatan dalam sidang Sumpah Pemuda yang diketuai oleh
Sugondo Joyopuspito itu, tidaklah sepanas perdebatan dalam perumusan dasar
negara, tapi tetap bukan berarti tanpa perdebatan. Namun, segala perbedaan itu
dapat diatasi karena kepentingan untuk melepaskan diri dari tatanan lama, yaitu
kerajaan dan perjuangan fisik, melanjutkan perjuangan di medan modern, sehingga
memerlukan suatu platform bersama. Platform itulah yang kemudian dirumuskan
dalam Sumpah Pemuda itu, yaitu bahwa ia memuat suatu identitas baru yang
bertalian dalam bangsa, tanah air, dan bahasa Indonesia (yang dipilih akarnya
dari bahasa Melayu. Platform itulah yang kemudian coba dikembangkan dalam
bentuk legal-formal dalam persiapan-persiapan menjelang kemerdekaan, utamanya
melalui pembahasan tentang bentuk dan dasar kenegaraan. Dari situlah kita akan
masuk dalam perdebatan dalam perumusan Pancasila. Ini tentu memerlukan suatu
ruang tersendiri dan telah pulalah ada dalam tulisan
sebelumnya, yang saya beri judul “Konsep Adab dalam Tafsir Pancasila”.
Hal yang penting untuk kita catat ialah, bahwa Pancasila
itu dimaksudkan sebagai dasar negara, ideologi negara, atau sumber hukum dari
negara, bukan dimaksudkan bagi individu maupun kelompok. Mengapa demikian?
Karena dalam riwayat pembentukannya, Pancasila itu disusun guna menjembatani perbedaan-perbedaan
ideologis di antara kaum-kaum yang telah disebutkan di atas, antara yang
Islamis dengan yang sekuler, yang sosialis dengan yang komunis, yang
tradisionis dengan yang modernis, dan lain-lain. Dikarenakan semua perbedaan
dan pertentangan yang ada, dalam mewujudkan platform bersama itu, diperlukan
suatu titik temu yang dijadikan konsensus bersama dalam penetapan hal-hal yang
bersifat kenegaraan dan publik. Maka, Pancasila itu berlaku sebagai ideologi
atau dasar dan sumber hukum bagi negara dalam mengatur perkara-perkara yang
bersifat publik, seperti kebijakan pembangunan, penataan ekonomi, penegakan
hukum, pemberantasan korupsi, dan lain-lain. Ia bukanlah dimaksudkan untuk
memaksa individu atau kelompok masyarakat untuk bersikap atau bertindak pada
sesuatu, yang pada akhirnya menimbulkan pemaksaan keseragaman dalam masyarakat
dan upaya menggebuk terhadap mereka yang berpandangan berbeda dari pemerintah.
Bukan berarti bahwa individu atau kelompok masyarakat
tersebut bertentangan dengan Pancasila. Karena Pancasila itu merupakan titik
kesepakatan atau konsensus dalam kehidupan bernegara antara kelompok-kelompok
yang berbeda itu, maka ia merupakan wilayah irisan, sepotong wilayah yang
menjadi persamaan di antara kelompok-kelompok yang beragam. Maka, secara otomatis,
ia telah beradalah di dalam jiwa masing-masing kelompok itu, hanya saja wilayah
keseluruhannya tidak benar-benar sama. Bayangkanlah ia seperti sebuah irisan
antara komponen-komponen dalam diagram Venn. Keseluruhan kelompok komponen itu
tidak mesti seratus persen sama, hanya saja wajib terdapat suatu irisan dalam
menjalankan urusan-urusan yang telah disepakati. Warna sisanya diserahkan
kepada kecenderungan ideologis masing-masing. Dengan begitu, Pancasila itu
merupakan ideologi negara, bukan ideologi yang dipaksakan kepada individu atau
kelompok, tapi ia telahlah hidup dalam jiwa masyarakat itu dengan sendirinya.
Dengan demikian, sebagaimana pula telah saya bahas dalam tulisan
“Konsep Adab dalam Tafsir Pancasila itu”, ia tidaklah boleh dilembagakan atau
diformalkan atau dihegemoni tafsirnya oleh satu pihak saja, karena ia merupakan
milik berbagai elemen yang berbeda. Ia bukanlah alat penyeragaman, melainkan
wadah yang menjembatani perbedaan dan pertentangan. Oleh karena itu, tabiat
penguasa yang kerap ingin menyamaratakan, menghegemoni tafsir, dan memukul
mereka yang berbeda dengan Pancasila, merupakan suatu gejala demokrasi yang
tidak sehat. Orde Lama melakukannya dengan memaksakan Pancasila sebagai Nasakom
(Nasionalis, Agama, Komunis); meleburkan secara paksa tiga kelompok yang
jelas-jelas berbeda, dengan hasil yang sudah tentu tidak akan baik;
kediktatoran Sukarno, G30S/PKI, dan peristiwa-peristiwa berdarah; mereka memukul
kelompok modernis Islam (Masyumi, Persis, Muhammadiyah, juga sebagian kaum tradisionis
yang menolak Nasakom) dan kelompok Sosialis-Demokrat (Partai Sosialis
Indonesia). Orde Baru melakukannya dengan memaksakan apa yang disebutnya
sebagai “demokrasi Pancasila”, dengan tafsir tunggal yang didoktrinkan lewat
Penataran P4, dengan berbasis kepada suatu konsep “Asas Tunggal Pancasila”,
yang memukul kelompok modernis Islam (Masyumi, dll yang disebut ekstrem kanan)
dan kelompok kiri (disebut ekstrem kiri), juga semua golongan yang menentang
kediktatoran Suharto.
Segala pergulatan pemikiran yang terjadi menjelang
kemerdekaan memang berlanjut selepas kemerdekaan dalam sidang-sidang
Konstituante. Memanglah pasca disepakatinya ia dalam perumusan Piagam Jakarta
oleh Panitia Sembilan itu, masih terdapat ketidakpuasan dari sejumlah kelompok.
Ujungnya, ada kelompok yang mengancam akan keluar dari Indonesia jika tujuh
kata dalam sila pertama Pancasila tidak dihapus. Tentu pula mereka yang
menginginkan tujuh kata itu tetap di sana tidak diterima bila tujuh kata itu
dihapuskan begitu saja. Maka, diambillah jalan tengah dengan mengubah
keredaksian tujuh kata itu dalam suatu frasa yang tidak harfiah tapi mengandung
substansi yang sama, yaitu substansi tauhid, sebagaimana saya bahas dalam
tulisan tentang “Konsep Adab dalam Tafsir Pancasila” itu. Kesepakatan itu cepat
saja diambil karena Belanda sudah datang lagi. Meski begitu, terdapat janji bahwa
masalah ini akan di bahas dalam sidang yang lebih layak durasinya sehingga
perdebatannya akan dilanjutkan dalam sidang-sidang Konstituante.
Namun, bukan berarti debat berkepanjangan itu tidak baik.
Memang kelompok-kelompok yang ada benar-benar memiliki perbedaan yang jauh.
Untuk itu, dalam memastikan segenap pemikiran yang berbeda itu diakomodasi
dengan cukup, diperlukanlah memang durasi sidang yang layak, bukan sekadar
keputusan cepat darurat karena diburu-burui oleh kedatangan Belanda. Maka,
sidang Konstituante itulah tempat yang layak untuk membahasnya. Sidangnya
menjadi demikian panjang memang sudah seharusnya karena masalah ini ialah
masalah yang mendasar, yang esensial dalam hidup berbangsa dan bernegara itu.
Demikian pula sidang-sidang panjang itu sebenarnya tidak gagal. Para pihak yang
terlibat demikian dekat dengan hadirnya keputusan yang memuaskan semuanya.
Namun, apa yang terjadi ialah pikiran Presiden saat itu tak lagi sabar menunggu
hasil sidang-sidang itu. Ia ingin terlibat lebih jauh (zaman itu Perdana
Menteri yang mengurusi masalah pemerintahan) dan cepat-cepat ingin melaksanakan
idenya sendiri tentang persatuan, yang ia beri nama Nasakom itu. Belum lagi Rancangan
Undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) baru-baru ini yang kembali
menafsirkan Pancasila sebagai Trisila dan Ekasila. Itu ialah pembahasan
gelombang-gelombang berikutnya.
Satu hal yang pasti ialah, pada gelombang ini, kita telah
sepakat untuk membentuk suatu platform berbangsa dan bernegara yang berdasarkan
pada kesatuan bangsa, tanah air, dan bahasa Indonesia, serta berlandaskan pada
Pancasila sebagai dasar negara, ideologi negara (bukan ideologi tunggal
individu atau asas tunggal organisasi), dan sumber hukum atau
perundang-undangan negara (artinya peraturan yang dikeluarkan pemerintah tidak
boleh bertentangan dengan Pancasila). Pancasila itu tidak boleh dipaksakan
kepada warga masyarakat untuk dijadikan asas tunggal dalam kehidupan, yaitu
sebagai suatu ideologi yang tertutup melalui suatu pelembagaan dan penafsiran
tunggal oleh pemerintah, seperti saat Nasakom Orla, Asas Tunggal Pancasila dan
P4 Orba, serta RUU HIP. Biarlah Pancasila itu menjadi falsafah yang hidup dan
berkembang dalam jiwa masyarakat sesuai warna mereka masing-masing. Biarlah
pula ia tidak menjadi asas tunggal bagi masyarakat, sebagaimana aslinya ia
ialah konsensus atau titik temu perbedaan antara golongan-golongan yang
berbeda. Hal itu karena Pancasila itu sendiri tercakup dalam nilai-nilai Islam;
sebagian dirinya juga tercakup dalam paham sosialisme-demokrat; dan mungkin
juga ada sedikit darinya yang beririsan dengan paham liberal.
Selain itu, kita tidak boleh melihat Pancasila secara
terpisah dari konteks sejarah pembentukannya, termasuk dalam perdebatan seputar
tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang terjadi pada gelombang ini. Kita mesti
menggarisbawahi bahwa Piagam Jakarta itu bukan milik umat Islam semata, tapi ia
telah disepakati oleh berbagai pihak yang turut menjadi anggota Panitia
Sembilan, termasuk golongan sekuler dan non-Muslim, seperti Sukarno, Hatta, dan
Alexander Andries Maramis. Hanya saja, pengubahan tujuh kata itu menjadi frasa
“Yang Maha Esa” terjadi pasca diterimanya ancaman memisahkan diri dari “orang-orang
Indonesia Timur” oleh Hatta yang disampaikan lewat “seorang serdadu Jepang”.
Sebenarnya, di sini kita mendapati adanya suatu ketidakjelasan dan penyimpangan
atas kesepakatan dengan memanfaatkan momen-momen genting kembalinya Belanda ke
Indonesia. Namun, biarlah kita bermurah-hati menerimanya; toh juga, frasa “Yang
Maha Esa” itu sejatinya merupakan usulan dari Ki Bagus Hadikusumo, pimpinan
Muhammadiyah waktu itu, guna menjembatani perbedaan tajam antara dirinya dengan
Sukarno dalam menyikapi perubahan itu, utamanya lewat mediasi Kasman
Singodimejo. Penambahan itu ialah dimaksudkan untuk menggantikan makna
substansial tujuh kata itu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”; yang sejatinya bukanlah suatu intoleransi karena
hanya berlaku bagi umat Islam saja; mengingat konsep tauhid atau monoteisme
murni yang dituangkan di sana.
Maka, agar perdebatan itu tidak semakin berlarut, kita
menerima sajalah usulan Ki Bagus itu, begitu pula yang dilakukan oleh Raden Mas
Abikoesno Tjokrosoejoso dan Abdul Kahar Muzakkir selaku perwakilan kaum
modernis serta Abdul Wahid Hasyim selaku perwakilan kaum tradisionis. Kita
telah sepakatlah dalam platform itu, yaitu, khusus bagi kita, memahami sila
hasil pengubahan yang kemudian disepakati lagi pada 18 Agustus itu – yang seharusnya
jadi hari lahir resmi Pancasila bukan 1 Juni yang merupakan usulan Sukarno saja
bukan kesepakatan seluruh anggota panitia – dalam konsep tauhid, sebagaimana
pula telah saya jabarkan dalam tulisan
tentang “Konsep Adab dalam Tafsir Pancasila”. Kita telahlah merasa cukup puas
dengan hasil dari platform itu, yaitu kita mestilah tetap “berpikir dalam
spektrum peradaban, tetapi bekerja dalam skala platform”. Kita terimalah ia
sebagai suatu bagian dari “darul ahdi wasy-syahaadah”, sebagai suatu
mufakat dari musyawarah dan pergulatan pemikiran yang panjang. Namun demikian,
semestinya tidaklah perlu ada lagi upaya dari pihak berkuasa untuk memberikan
penafsiran tunggal dari Pancasila itu, lebih-lebih dalam ranah yang sekuler.
Karena hal yang demikian itu, dapatlah merusak riwayat perumusannya yang
berkaitan dengan ajaran Islam maupun pergulatan pemikiran yang panjang antar
berbagai pihak yang beragam. Biarlah ia menjadi ideologi, dasar, dan sumber
hukum bagi negara; bukan sebagai asas tunggal atau ideologi tunggal yang
dipaksakan pada individu atau organisasi. Biarlah ia menjadi ideologi yang
terbuka, yakni suatu falsafah yang hidup di tengah masyarakat.
Dengan itu pula, telah sampailah kita pada akhir ulasan
ringkas tentang gelombang ini, di mana dua peristiwa paling penting di dalamnya
terjadi seputar Sumpah Pemuda dan perbedaan serta kesepakatan dalam perumusan
Pancasila, yaitu pada 28 Oktober dan 18 Agustus itu. Marilah kita beranjak pada
gelombang berikutnya.
1945-1965, Gelombang I Indonesia: Pembentukan Identitas Politik
dan Kebangsaan
Gelombang ini merupakan gelombang pertama setelah
Indonesia merdeka; ditandai dengan kembalinya Belanda, revolusi fisik, pemerintahan
federal dalam Republik Indonesia Serikat (RIS), demokrasi parlementer yang
cenderung liberal, perdebatan sengit di konstituante, jatuh bangunnya kabinet,
Mosi Integral gagasan Natsir yang mengembalikan negara federal menjadi negara
kesatuan, hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan dimulainya fase Demokrasi Terpimpin
yang berdasarkan Nasakom dan Manipol-USDEK.
Awalnya, Indonesia berada dalam sebuah era demokrasi
parlementer di mana kuasa pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Pembahasan
tentang dasar negara serta berbagai hal penting lain seperti perumusan batang
tubuh UUD (Undang-undang Dasar) dilanjutkan melalui sidang-sidang di
Konstituante. Selain itu, akibat sejumlah upaya militer dan perundingan yang
dilakukan Belanda, wilayah Indonesia mesti terpecah-pecah dalam negara-negara
bagian, dengan negara berbentuk republik federal. Republik kembali menjadi
negara kesatuan setelah diusulkannya Mosi Integral pada sidang parlemen 3 April
1950 yang utamanya dipelopori oleh Mohammad Natsir, aktivis Masyumi kala itu,
yang kembali menegaskan peran golongan Islam, terutama kaum modernis dalam
penjagaan kesatuan Indonesia. [Natsir dalam Capita Selecta hal 6]
“Berhubung
dengan ini, saya ingin memajukan satu mosi kepada Pemerintah yang bunyinya
demikian:
Dewan
Perwakilan Rakyat Sementara RIS dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang
sangat perlunya penyelesaian yang integral dan program-a-tis terhadap akibat
-akibat perkembangan politik yang sangat cepat jalannya pada waktu yang
akhir-akhir ini.
Memperhatikan:
Suara
rakyat dari berbagai daerah, dan mosi-mosi Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
saluran dari suara-suara rakyat itu, untuk melebur daerah-daerah buatan Belanda
dan menggabungkannya ke dalam Republik Indonesia.
Kompak
untuk menampung segala akibat-akibat yang tumbuh karenanya dan
persiapan-persiapan yang untuk itu harus diatur begitu rupa dan menjadi program
politik dari Pemerintah yang bersangkutan dan dari Pemerintah RIS.
Politik
peleburan dan penggabungan itu membawa pengaruh besar tentang jalannya politik
umum di dalam negeri dan pemerintahan di seluruh Indonesia.
Memutuskan:
Menganjurkan
kepada Pemerintah supaya mengambil inisiatif untuk mencari penyelesaian atau
sekurang-kurangnya menyusun suatu konsepsi penyelesaian bagi soal-soal yang
hangat yang tumbuh sebagai akibat perkembangan politik di waktu yang akhir-akhir
ini dengan cara integral dan program yang tertentu.”
Demikianlah
Natsir, sebagai anak kandung falsafah hidup Islam itu di tanah air kita,
menjadi seorang pemersatu menurut Mosi Integral yang ia ajukan.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah titik awal perubahan
politik dari era yang disebut-sebut sebagai era Demokrasi Liberal menuju era
baru dengan aksentualisasi politik yang benar-benar berbeda dari masa
sebelumnya, yaitu era Demokrasi Terpimpin. Pada masa-masa berikutnya, sebelum
kekuasaan Soekarno digulingkan tahun 1966 dan digantikan oleh penguasa baru,
Soeharto, era ini di sebut sebagai Orde Lama. Sementara kekuasaan baru di bawah
Soeharto disebut sebagai Orde Baru. [Bachtiar, 2016 hal: 50]
Kebijakan-kebijakan politik Orde Lama yang kemudian dilanjutkan dengan
kebijakan-kebijakan politik Orde Baru memberikan warna yang begitu kental bagi
suatu sistem pemerintahan yang sangat berpusat pada kekuasaan pusat, meskipun
keduanya memiliki warna yang berbeda, Orde Lama cenderung kiri, Orde Baru
condong ke Barat. Model “demokrasi yang terpusat” itu kemudian melahirkan suatu
negara yang berdasarkan atas kekuasaan (Machstaat) dengan kecenderungan
pemimpin tiran, sehingga tumbuh dalam suasana yang semakin menguatkan kembali
feodalisme lama meski dalam bingkai “institusi demokrasi” yang modern, dengan
mentalitas “asal bapak senang”.
Munculnya Dekrit tersebut sebetulnya didahului oleh
ide-ide Soekarno setelah tahun 1955 yang melihat betapa ruwetnya situasi
politik Indonesia. Keruwetan itu disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama, tidak
ada pemenang mutlak sehingga tidak memungkinkan adanya suatu kekuatan dominan
untuk menyelenggarakan pemerintahan maupun memutuskan perkara. Untuk kedua hal
itu harus ada perimbangan kekuatan dan kompromi. Jika itu tidak terjadi, akan
terjadi kebuntuan politik. Kebuntuan politik sempat benar-benar terjadi dalam
sidang-sidang konstituante, yaitu pada akhir-akhir pembicaraan tentang dasar
negara. Kelompok Islam yang dimotori Masyumi (modernis) dan NU (tradisionis)
bersikukuh mempertahankan Pancasila berdasarkan Piagam Jakarta, yang memuat
sila pertama “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”, sebagai dasar negara. Sementara kelompok lain, sosialis,
komunis, dan liberalis mempertahankan Pancasila tanpa tujuh kata sebagai asas
negara. [Bachtiar, 2016 hal: 50]
Kedua, tidak adanya kekuatan mayoritas, memberikan
peluang kepada Soekarno, yang saat itu hanya sebagai Presiden simbolik dalam
sistem Demokrasi Parlementer, untuk turut campur tangan dalam masalah-masalah
pemerintahan. Pada mulanya, kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI) yang dibentuk 20
Maret 1956 berjalan baik dan mendapatkan dukungan dari partai besar lain, yaitu
Masyumi dan PNI, minus PKI (Partai Komunis Indonesia). Koalisi kabinet ini
ternyata penuh dengan konflik sehingga pemerintahan tidak berjalan baik.
Koalisi yang menafikan PKI itu juga yang menjadi sasaran tembak Soekarno yang
mulai dekat dengan PKI. Keadaan semakin tidak menentu. Sistem politik dan
pembangunan ekonomi sampai pada titik kegagalan. Sistem politik yang rapuh itu
melahirkan kekuasaan yang sangat tidak stabil dan mudah digulingkan. Hal itu
bisa dilihat dari mudahnya terjadi pergantian perdana menteri. Ujung-ujungnya,
norma-norma birokrasi menjadi sangat lemah sehingga membuka peluang terjadinya
korupsi. Kebuntuan ekonomi terlihat dari kegagalan rencana-rencana pembangunan
ekonomi yang dirancang oleh pemerintah. Kegagalan itu dirasakan oleh semua
lapisan masyarakat, baik sipil maupun militer. Dalam situasi ini, Soekarno
mulai menyampaikan ide-ide menolak sistem liberal yang ia anggap telah buntu.
Ide itu yang nantinya menjadi konsepsi Demokrasi Terpimpin, pertama kali ia
sampaikan dalam pembukaan Sidang Konstituante tanggal 10 November 1956.
[Bachtiar, 2016 hal: 50-51]
Situasi tidak menentu itu ditambah semakin dekatnya
Soekarno dengan kubu komunis, turut memunculkan pergolakan PRRI/Permesta antara
tahun 1957-1958 di berbagai daerah. Pergolakan yang pada intinya ingin
menggalang kekuatan dari berbagai elemen bangsa menolak masuknya komunisme dan
mendesak pemerintah untuk lebih serius membangun bangsa ini pada akhirnya
memang dapat dilumpuhkan tahun 1958. Namun, setelah itu Soekarno justru semakin
percaya diri dengan keputusannya. Terlebih setelah ia melihat berlarutnya
Majelis Konstituante dalam merumuskan UUD. Akhirnya, 5 Juli 1959 Soekarno
benar-benar mengumumkan Dekrit yang berisi pembubaran Konstituante dan UUD
negara kembali ke UUD 1945. Inilah kemudian yang mengawali periode Demokrasi
Terpimpin yang pada hakikatnya merupakan bentuk lain dari karakter otoriter
dalam pemerintahan Soekarno yang dibungkus dengan baju demokrasi. Melalui
kebijakan Demokrasi Terpimpin, Soekarno menggilas seluruh lawan politiknya atau
kelompok yang tidak setuju dengan ide-ide Manipol-USDEK dan penggabungan semua
kelompok politik dalam Nasakom. Soekarno pada tahun 1960 Soekarno mengumumkan
agar semua partai politik mengubah anggaran dasar dan dengan jelas menyatakan
penerimaan dan pembelaan terhadap Pancasila yang ditafsirkan menurut Nasakom.
Ia memerintahkan Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) bubar karena
menolak Nasakom. Selain itu, antara tahun 1962-65 banyak aktivis Masyumi dan
PSI ditahan dengan alasan menentang kebijakan politik Soekarno. Pada saat yang
sama, PKI yang sebelumnya tidak memiliki posisi dalam kabinet akibat
penentangan dari kelompok-kelompok lain, mendapatkan posisi yang sangat
istimewa dalam kabinet Soekarno. Aidit dan Lukman diangkat menjadi menteri
tanpa portofolio dalam Kabinet Karya yang dipimpin langsung oleh Soekarno
sebagai perdana menteri. Sementara itu, kalangan agamawan yang mendukung
kekuasaan ini ialah NU (Nahdlatul Ulama). Kebijakan ini sejalan dengan
digariskannya prinsip Nasakom, di mana nasionalisnya PNI, agamanya NU,
komunisnya PKI. [Bachtiar, 2016 hal: 51-53]
Kesalahan besar yang dilakukan oleh Soekarno yang
mengantarkannya ke jurang kehancuran kekuasaan adalah ketidakmampuannya
mengendalikan tentara dan mengatasi situasi ekonomi yang semakin carut-marut.
Krisis ekonomi terjadi akibat ketidakcakapan pengelolaan ekonomi dan korupsi
yang sangat akut dalam pemerintahan Soekarno. Tentara tidak memberikan simpati
penuh kepada Soekarno karena keberpihakannya pada PKI. Sejak peristiwa
pemberontakan Madiun 1948, tentara, terutama Angkatan Darat (AD), mengambil
jarak dengan PKI dan menganggapnya sebagai musuh yang harus dibasmi.
Upaya-upaya tentara yang dipimpin Abdul Haris Nasution sebagai Panglima
Angkatan Darat untuk menumpas PKI sejak semester kedua 1960 bahkan
dihalang-halangi secara langsung oleh Soekarno. Soekarno mendesak Nasution
untuk membebaskan tawanan-tawanan PKI, Pada masa-masa berikutnya pun semangat
anti-PKI dari tentara (AD) tetap terlihat. PKI pun memperlihatkan
ketidaksenangan yang sama, tetapi tetap berusaha menyusup untuk menguasai
tentara dari seluruh angkatan, termasuk AD. Puncak perseteruan AD dan PKI
terjadi pada peristiwa pembantaian Dewan Jenderal pada tanggal 30 September
1965 oleh tentara-tentara pro-PKI yang sebagian besar tergabung dalam pasukan
pengawal Presiden, Cakrabirawa. Peristiwa inilah yang menjadi pemicu hancurnya
kekuasaan Soekarno sekaligus menjadi salah satu momentum perubahan di
akhir-akhir gelombang ini. [Bachtiar, 2016 hal: 54]
Jika disimpulkan, gelombang ini merupakan suatu fase di
mana identitas politik dan kebangsaan menjadi panglima. Berbagai komponen
dasarnya, dari Pancasila hingga UUD, diperdebatkan dan dirumuskan melalui
pergulatan pemikiran yang panjang dalam sidang-sidang Konstituante. Ini
merupakan suatu hal yang wajar mengingat negara baru saja lahir, sehingga
menghasilkan suatu bentuk yang firm merupakan hal paling esensial
sebelum berbicara soal hal-hal lain seperti kesejahteraan dan pembangunan.
Namun, salah satu akibatnya ialah soal kesejahteraan menjadi tidak terlalu
tergarap dengan baik. Memang terdapat pembangunan sejumlah megaproyek, tapi
sebagian diwujudkan sebagai suatu show up dari penguasa belaka di kala
ekonomi sedang kembang kempis, seperti pembangunan Monas (Monumen Nasional),
stadion utama, dan berbagai proyek Mercusuar yang tidak terlalu terkait
langsung dengan perut rakyat, meski tentu sebagiannya masih dapat kita gunakan
saat ini. Identitas politik pun merasakan suatu kebebasan yang sangat besar
mengingat dalam pergulatan itu, semua ragam pemikiran diizinkan muncul dan
berdebat di ruang publik.
Secara sederhana, kita dapat menyebutnya sebagai zaman yang
memiliki demokrasi dan kebebasan, tapi minim kemakmuran. Namun, kebebasan dan
demokrasi yang dinikmati itu tak berlangsung selama gelombang ini karena
penguasa mengambil kesimpulan bahwa kestabilan mesti ditegakkan melalui
pemerintahan yang terpusat, Demokrasi Terpimpin, yang menafsirkan negara dan
Pancasila secara tunggal sesuai pikirannya sendiri, serta menuding semua yang
tidak sepakat dengannya sebagai anti Pancasila atau anti UUD. Dari sinilah kita
melihat gejala otoriter penguasa di Indonesia ini sering kali bertalian dengan
godaan untuk menghegemoni pemaknaan atas Pancasila dan menggunakannya untuk memukul
lawan-lawan yang tidak setuju dengannya, suatu penyimpangan yang kemudian juga
kita dapati dalam masa Orde Baru dan gejalanya timbul pula di zaman kita.
Tafsir tunggal Pancasila itu terutama dilakukan penguasa dengan menyeretnya ke
arah yang sekuler, kali ini, ke arah kiri (Nasakom dan Manipol-USDEK).
1965-1998, Gelombang II Indonesia: Pembangunan Ekonomi
sebagai Panglima
Gelombang ini merupakan fase yang terjadi selama Orde
Baru, yang berorientasi pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan dasar dengan
mengorbankan kebebasan dan demokrasi. Rezim yang dipimpin oleh Soeharto ini
naik ke tampuk kekuasaan setelah runtuhnya Orde Lama akibat krisis ekonomi dan peristiwa-peristiwa
yang menjadi buntut pembunuhan Dewan Jendral. Tampaknya, tesis yang disimpulkan
oleh pemerintahan Orde Lama di akhir-akhir masa kekuasaannya soal stabilitas
politik kembali digunakan oleh rezim Orde Baru, hanya saja dengan bentuk yang
lebih canggih dan efektif, terlebih karena ditopang oleh tentara dalam bingkai
Dwifungsi ABRI. Penguasa orde ini meningkatkan tesis tentang stabilitas politik
itu dalam bentuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan dasar sehingga membuat
masyarakat di awal-awalnya tidak banyak memberikan suara perlawanan, layaknya
“burung yang kenyang dalam sangkar”. Pergeseran kepada ekonomi dan pembangunan
sebagai panglima itu tercermin dalam Trilogi pembangunan yang dirumuskan rezim
ini, yaitu stabilitas ekonomi yang dinamis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya.
Memang, keberhasilan pembangunan yang dilakukan rezim ini
awalnya menghasilkan simpati publik, terutama terkait dengan stabilisasi kebutuhan-kebutuhan
dasar rakyat seperti pangan. Berbagai fasilitas publik seperti jalan raya,
sekolah di pedalaman, hingga pelbagai proyek pembangunan yang padat karya direncanakan
secara rapi melalui serangkaian rencana pembangunan lima tahunan. Keberhasilan
pembangunan ekonomi itu terutama dipandang akibat pergeseran politik rezim ke
kubu Barat, setelah sebelumnya berada di kubu Soviet atau Peking di era Orde
Lama. Investasi dan bantuan asing mengalir masuk. Modernisasi teknologi terjadi
di segala bidang, termasuk di bidang pertanian. Teknologi tinggi seperti mobil
Kijang dan pesawat IPTN pun berhasil dibangun pada masa rezim ini. Jalannya itu
semua tak lepas dari para pemikir ekonomi istana yang digawangi oleh para
“mafia Berkeley”, terutama berlandaskan pemikiran ekonomi pembangunan Widjojo
Nitisastro.
Selain itu, dukungan rakyat terhadap rezim ini di
masa-masa awalnya tak terlepas dari warna awal yang terkesan demokratis. Orde
Baru cenderung melonggarkan politik di sekitar lima tahun pertama mereka berkuasa,
hanya golongan komunislah yang secara tajam dimusuhi. Golongan sosial-demokrat
dan Islamis yang sebelumnya menjadi korban politik belah bambu penguasa Orde
Lama mendapatkan nafas lega, sehingga cenderung mendukung rezim ini di awalnya.
Bahkan, Natsir dan Isa Anshary yang dipenjara Soekarno turut dibebaskan dan
membantu Soeharto meyakinkan Jepang untuk berinvestasi di Indonesia. Namun,
kebebasan yang dilonggarkan rezim ini tidak berlangsung selamanya. Terutama
pasca pemilu 1970, saat kendali politik sudah secara efektif dipegang oleh
penguasa, watak otoriter rezim ini mulai muncul. Watak itu dibangun dengan
melakukan penyederhanaan partai politik dan pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila
dengan melarang partai-partai menganut asas perjuangan lain, serta melakukan
penafsiran tunggal atas Pancasila, hal yang juga dilakukan oleh rezim Soekarno.
Pancasila itu lagi-lagi diseret ke arah yang sekuler,
hanya saja sekarang ke arah liberalisme Barat. Depolitisasi dan sekularisasi
umat Islam sudah bermula sejak zaman Orde Lama, tapi hanya dilakukan pada
kelompok-kelompok yang menolak Nasakom, tegasnya terhadap kelompok yang
konsisten mendukung Masyumi. Umat Islam yang menerima Nasakom, seperti NU, HMI,
dan PSII, tetap diakomodasi dalam kekuasaan, Ketika rezim Orde Lama runtuh
berganti dengan rezim Soeharto, ternyata proses sekularisasi dan depolitisasi
umat Islam malah semakin meluas. Hal ini ditandai dengan condongnya kekuasaan
Orde Baru pada kelompok Islam Liberal, dalam menyusun kebijakan-kebijakan
keagamaan, termasuk pergeseran kurikulum STAIN, IAIN, UIN, dan sejenisnya dari
kurikulum al-Azhar yang cenderung tradisionalis kepada model studi ala McGill
University, yang akan diulang ringkas kemudian.
Kekuasaan Orde Baru diraih oleh Soeharto melalui satu
proses yang hampir mirip dengan sebuah kudeta, sekalipun kelihatannya tidak
demikian. Drama peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru dipicu oleh apa yang
dikenal sebagai “Gerakan 30 September”. Kemudian yang berujung pada munculnya
“Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)” yang akhirnya mengantarkan
Soeharto ke singgasana kekuasaan Indonesia melalui Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (SU-MPRS) tanggal 12 Maret 1967. Naiknya
Soeharto tidak lepas dari dukungan tentara, terutama AD, yang sangat dikecewakan
oleh kebijakan Soekarno yang terlampau berpihak pada PKI, yang menjadi musuh AD
sejak pemberontakan Madiun 1948. Penculikan dan penganiayaan terhadap para
perwira tinggi AD yang dituduh sebagai “Dewan Jenderal”, yang akan melakukan
kup terhadap Soekarno, oleh PKI; terjadinya serangkaian kerusuhan yang
mengiringi peristiwa itu, terutama gerakan anti-PKI dari kelompok mahasiswa,
pelajar, dan kelompok-kelompok Islam; memberi legitimasi kepada tentara untuk
mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno. Dalam hal ini, Soeharto-lah yang
ditunjuk menjadi panglima Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban). Sebelumnya Soeharto adalah panglima Koti (Komando Cadangan
Strategis) AD. Supersemar yang diakui oleh Soeharto sebagai mandat resmi dari
Soekarno kepada dirinya semakin mengukuhkan posisi Soeharto. [Bachtiar, 2016
hal: 65]
Langkah-langkah yang dilakukan Soeharto mengundang
simpati kelompok-kelompok yang selama ini dimusuhi dan disingkirkan Soekarno,
seperti Masyumi dan PSI. Simpati diperoleh karena Soeharto bersama tentara
dengan tegas melakukan langkah pembersihan terhadap PKI. Oleh sebab itu, dengan
sepenuh hati mereka mendukung langkah-langkah Soeharto, termasuk saat ia naik
menjadi PLT. Presiden RI menggantikan Soekarno tahun 1967. Tentara pun
mendukung segala protes anti-PKI yang dilakukan oleh berbagai kalangan. Bahkan berbagai
kelompok mahasiswa anti-PKI disokong oleh tentara untuk turun ke jalan-jalan
berdemonstrasi meneriakkan protes mereka kepada pemerintahan Soekarno dan PKI.
Muncullah kesatuan-kesatuan aksi seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI) yang dimotori oleh organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), Persekutuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan eks Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Muncul juga Kesatuan Aksi Pelajar Pemuda Indonesia
(KAPPI) dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) yang keduanya dimotori oleh
para simpatisan Masyumi dan PSI. Kelompok ini menamakan diri mereka sebagai
“Angkatan 66”. [Bachtiar, 2017 hal: 23]
Kelompok-kelompok Islam seperti Masyumi pada mulanya
merasa akan kembali dapat berperan di bawah kepemimpinan Soeharto seperti pada
zaman-zaman sebelumnya. Ternyata dugaan mereka meleset sama sekali. Soeharto
hanya berkepentingan menyingkirkan PKI dari panggung politik Indonesia.
Kekuatan-kekuatan massa anti-PKI adalah sumber legitimasi kuat untuk mengeksekusi
keinginannya itu. Akan tetapi, pada saat yang sama, Soeharto pun merasa tidak
aman terhadap kelompok-kelompok Islam dan kelompok sosial-demokrat. Rupanya
Soeharto ingin menerapkan strategi rust and order. Strategi ini ia
terapkan dengan mengadu dan memecah satu kelompok dengan kelompok lain, lalu ia
kuasai. Ia menggunakan tangan-tangan mahasiswa dan kelompok Islam untuk
menghabisi PKI, tapi setelahnya ia berbalik memusuhi kelompok Islam, khususnya
mantan anggota Masyumi. Menurut penilaiannya, mantan pemimpin Masyumi sangat
potensial mengancam kekuasaannya karena sikap mereka yang sangat kritis
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah sejak era Soekarno. Karena itu,
sekalipun di masa awalnya kelompok Masyumi mendukung Soeharto, keinginan
rehabilitasi organisasi mereka dihalangi olehnya, sekalipun dipimpin oleh Moh.
Roem yang “bersih dari catatan tindakan pemberontakan”. Demikian juga mantan
anggota PSI yang tidak mau bersikap lunak terhadap pemerintahannya. Mereka,
terutama para pimpinan intelektualnya, mendapatkan pengawasan yang cukup ketat.
[Bachtiar, 2017 hal 23-24]
Bukan hanya tidak merehabilitasi Masyumi, peran NU yang
pada masa sebelumnya masih bisa mewakili kelompok Islam di pentas politik, pada
masa Soeharto dibatasi gerakannya dan tidak seleluasa masa Soekarno.
Keberadaannya ditekan agar tidak membahayakan kekuasaan Soeharto. Begitu pula
terhadap PNI dan unsur-unsur pendukung Orde Lama lainnya. Namun demikian,
tekanan terhadap NU tidak sekeras terhadap para pemimpin Masyumi. NU masih
dianggap dapat berkompromi dan tidak terlalu berbahaya. Kebijakan peminggiran
politik para aktivis Muslim adan aktivis masa lalu yang berbasis ideologis,
seperti PKI, PSI, dan bahkan PNI, merupakan upaya Soeharto untuk menjawab
tantangan yang harus ia hadapi, yaitu memperbaiki institusi-institusi politik,
menegakkan kembali kewibawaan pemerintah, memulihkan ekonomi, dan
menyejahterakan rakyat. Soeharto tidak ingin lagi terjadi pertentangan ideologi
seperti pada masa-masa sebelumnya yang ternyata malah membawa bangsa pada
situasi yang sangat tidak menguntungkan. Untuk itu, dibutuhkan upaya-upaya
membangun stabilitas politik dan keamanan serta pemulihan ekonomi negara. Untuk
merealisasikan keinginannya, ia dikelilingi oleh tentara dan teknokrat. Tentara
digunakan sebagai kekuatan untuk pemulihan keamanan nasional, sedangkan
teknokrat digunakan untuk mewujudkan target ekonomi pemerintah Orde Baru. Untuk
memperkuat posisi politiknya, Soeharto memilih Sekretariat Bersama Golongan
Karya (Sekber Golkar) yang telah dibentuk tentara di tahun 1964 untuk mewadahi
kaum profesional; juga sebagai partai politik pemerintah yang menjadi kendaraan
utama Soeharto memuluskan agenda-agenda politiknya. [Bachtiar, 2017 hal: 24-26]
Secara umum, pada periode pertama Orde Baru antara tahun
1967-1976, sikap Soeharto terhadap umat Islam tidak terlalu positif. Selain
terlihat dari usaha-usahanya memperlemah kekuatan-kekuatan Islam, baik dari
sayap modernis maupun tradisionalis. Kecurigaan Soharto terhadap kelompok Islam
juga diperlihatkan dengan tidak melibatkan para pemimpin Muslim berpengaruh
dalam lingkaran kekuasaannya. Soeharto cenderung lebih dekat dengan
pemimpin-pemimpin dan teknokrat-teknokrat Kristen. Kalaupun ada Muslim yang
direkrut, mereka secara pemikiran dianggap “sekuler” dan merela umumnya
mewakili kelompok lingkaran Soeharto atau teknokrat-teknokrat mantan aktivis
PSI seperti Sumitro Djojohadikusumo. Kebijakan itu selain memperuncing hubungan
Islam-Kristen, juga menebar benih kebencian dan kecurigaan kelompok-kelompok
gerakan Islam terhadap pemerintah Orba. Sejak paruh kedua tahun 1970, Soeharto
mendekati umat Islam, tapi bukan dalam konteks politik. Melalui Departemen
Agama, Soeharto mulai terlihat memberikan dukungan terhadap proyek-proyek
non-politis umat Islam seperti mendirikan masjid, pembangunan madrasah, dan
kegiatan-kegiatan hari besar Islam. Untuk tujuan itu, ia membentuk Yayasan Amal
Bhakti Muslim Pancasila (YABMP). Soeharto juga membuka akses pendidikan
seluas-luasnya bagi umat Islam sehingga tingkat pendidikan umat Islam pada masa
ini naik. Dalam hal ini, Soeharto tampaknya meniru kebijakan yang diajarkan
Snouck Hurgronje, yaitu mendukung kegiatan Islam hanya sebatas ritual
keagamaan, membatasinya secara politik, hukum, dan ekonomi. [Bachtiar, 2017:
hal 26-27]
Dengan begitu, praktis Soeharto tampil menjadi penguasa
tunggal rezim Orde Baru. Aktivis-aktivis anti-Soeharto sama sekali tidak diberi
ruang sehingga kebanyakan mereka bergerak di bawah tanah. Mantan aktivis
Masyumi pun mengalihkan seluruh sumber daya mereka ke dalam bidang dakwah saja,
tidak lagi mengurusi masalah hukum dan politik praktis; bahkan ekonomi pun
tidak terlalu, hanya di level menengah-bawah, mengingat kebijakan konglomerasi
ekonomi yang kencang bergulir di era ini, di mana banyak konglomerat juga
merupakan lingkaran yang mendukung kekuasaan. Untuk semakin melumpuhkan
lawan-lawannya, melalui Undang-undang No. 3 Tahun 1985, pemerintah mengharuskan
seluruh partai dan ormas mengganti asas organisasinya HANYA dengan Pancasila,
tidak boleh dibarengi dengan asas lain. Kebijakan ini dikenal dengan sebutan
Asas Tunggal.
Kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam
menelan banyak korban; tidak hanya korban pemasungan hak-hak politik, tetapi
juga korban jiwa. Peristiwa paling melukai hubungan Orde Baru dengan umat Islam
dan paling banyak memakan korban ialah Peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa
Tanjung Priok terjadi dua tanggal 12 September 1984. Peristiwa ini dipicu oleh
protes umat Islam yang mengecam tindakan aparat (ABRI) yang sewenang-wenang
masuk ke Masjid as-Saʿadah tanpa melepas sepatu dan dengan sengaja menghapus
pengumuman pengajian dengan lumpur. Karena peristiwa itu, massa umat Islam
berdemonstrasi mengumandangkan slogan anti-pemerintah dan anti-cukong, menolak
Asas Tunggal, menuduh ABRI telah mengotori masjid, dan memekikkan takbir. ABRI,
yang saat itu dipimpin oleh Leonardus Beny Moerdani, menurunkan pasukan
bersenjata menembaki umat Islam yang
tidak bersenjata. Dalam peristiwa itu, diperkirakan ratusan orang meninggal.
Karena itu, sentimen anti-Orba semakin menguat di kalangan umat Islam. Strategi
lain Orde Baru untuk melemahkan peran politik masyarakat adalah dengan
melakukan strategi korporatisme. Soeharto mendirikan berbagai lembaga untuk
mengikat kelompok-kelompok yang berpotensi mengancam kekuasaannya. Misalnya,
pemerintah membentuk KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) tahun 1974 untuk
melakukan korporasi terhadap organisasi-organisasi kemahasiswaan dan pemuda.
Dalam tubuh umat Islam, Soeharto mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun
1975. Tujuannya adalah mewadahi para ulama agar mudah dikontrol oleh
pemerintah. Untuk itu, para pengurus yang dipilih adalah mereka yang kooperatif
dengan Orde Baru. [Bachtiar, 2017 hal: 28-29]
Selain melakukan depolitisasi terhadap “ekstrem kanan”
dan “ekstrem kiri”, Orde Baru memilih satu pijakan baru untuk menentukan arah
pembangunan Indonesia baru, yaitu “modernisasi”. Modernisasi di segala bidang
dianggap oleh semua kelompok politik saat itu sebagai obat mujarab untuk
menyelesaikan permasalahan Indonesia. Modernisasi pada gilirannya akan
mengantarkan Indonesia menuju kesejahteraan seperti bangsa-bangsa Indonesia
lain yang telah lebih dahulu melakukannya. Namun, ternyata
permasalahan-permasalahan masa lalu seperti korupsi, ketimpangan, penyalahgunaan
kekuasaan, pembelokan hukum, kerusakan alam, dan “pembunuhan” terhadap
lawan-lawan politik masih belum sembuh, malah berjalan semakin sistemis dengan
memanfaatkan celah-celah pada perundang-undangan, bahkan secara terang-terangan
dilakukan melalui pembentukan undang-undang yang tidak sesuai kepentingan
rakyat dan makna konsekuen Pancasila. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
serta pembangunan politik dinasti, oligarki kekuasaan, dan feodalisme politik
terutama sekali menjadi satu genre penyakit sistemis negara yang paling kentara
dalam berbagai tingkat, nasional maupun daerah, bahkan berlanjut hingga Orde
Baru tidak lagi berkuasa; yang keseluruhan genre itu dapat disebut sebagai
korupsi politik.
“Pembangunan” dan “modernisasi” seolah-olah menjadi
pijakan ideologis pemerintah Orde Baru untuk memperkuat kebijakan depolitisasi
masyarakat dan melanggengkan kekuasaannya. Atas nama modernisasi politik,
Soeharto melakukan penyederhanaan partai sambil mengebiri suara-suara lawan
politiknya. Atas nama modernisasi ekonomi, ia memilih menginduk pada
negara-negara Barat yang pro-kapitalisme, membuka keran investasi dan
eksploitasi sumber daya oleh asing secara luas, serta melakukan privatisasi
sejumlah sektor. Kebijakan perekonomian itu sebenarnya cukup baik dalam
penciptaan lapangan kerja, tapi pelaksanaannya sering berkelindan dengan
korupsi serta main mata antara penguasa dan pembuat legislasi dengan para
pebisnis, sehingga keuntungan yang terbesar banyak yang tidak kembali kepada
rakyat, tetapi masuk ke kantong pejabat, anggota dewan, dan korporat besar.
Meski terjadi reformasi dan dilakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi,
termasuk di zaman Orba sendiri, nyatanya pelaksanaan ekonomi malah sangat jauh
menyimpang dari amanat Pasal 33 UUD 1945, seperti pada kasus RUU Minerba dan
upaya privatisasi anak-anak perusahaan Pertamina baru-baru ini. Kelahiran Orde
Baru berperan dalam meningkatkan persekongkolan jahat pengusaha dengan penguasa
ini dan melanggengkannya secara sistemis hingga hari ini.
Dari sinilah, ditambah dengan masa Demokrasi Terpimpin
sebelumnya, mentalitas untuk menjilat kekuasaan semakin akut menjangkit. Agar
segala kepentingan bisnis dapat berjalan, semua dilakukan “asal Bapak senang”. Usulan,
protes, dan sikap kritis terhadap Orde Baru seolah-olah menjadi barang haram.
Setiap kelompok kritis akan disingkirkan dan dianggap sebagai pembangkang
pemerintah. Mereka menjadi target bulan-bulanan penguasa. Namun, ketika
Soeharto dihadapkan pada kenyataan harus pula mengurusi umat Islam melalui
Departemen Agama, maka pilihannya tidak lain harus mencari umat Islam yang
tidak membahayakan kekuasaannya dan secara pemikiran setuju dengan berbagai
proyek “modernisasi” rezim. Pilihannya akhirnya jatuh pada Mukti Ali yang
ditunjuk menggantikan Mohammad Dachlan dari NU, yang dipilih di awal
pemerintahannya pada 1967, sebagai Menteri Agama selepas Pemilu 1971. Hal ini
menunjukkan keseriusan untuk melakukan “modernisasi” dalam bidang agama. Soeharto
tahu bahwa Mukti Ali merupakan lulusan McGill University, Kanada, yang
pemikirannya tidak sama dengan NU, Muhammadihay, Masyumi, Sarekat Islam,
Persatuan Islam, tarekat, dan berbagai kelompok lain yang “lebih organik”.
Beberapa staf yang diangkat menjadi pejabat teras di Kementerian Agama pun
sebagian juga alumni McGill. [Bachtiar, 2017 hal 30-31]
Soeharto juga menyetujui dan mendukung keinginan Mukti
Ali dan Harun Nasution untuk melakukan “modernisasi” IAIN/UIN. Hal itu
dicanangkan oleh mereka karena menganggap orientasi kurikulum IAIN yang condong
ke al-Azhar terlalu kolot dan lebih menyukai model kajian McGill University. Soeharto
tidak menanggapi suara-suara yang tidak setuju dengan pengubahan kurikulum itu,
termasuk dari mantan menteri agama pertama, Prof. H. M. Rasjidi. Di sinilah
semakin tampak intensi untuk melakukan sekularisasi, liberalisasi,
deislamisasi, dan depolitisasi umat Islam. Perkembangannya menjadi semakin
masif setelah munculnya pidato Nurcholish Madjid antara 1970-72 itu. Namun,
pembahasan itu semua berada di luar cakupan tulisan ini. Yang jelas, pemerintah
Orde Baru memang menginginkan suatu “modernisasi” di segala bidang, termasuk
dalam ranah pemikiran keagamaan, dengan memanfaatkan para lulusan McGill
University yang berpaham sekuler atau liberal untuk mengisi jabatan-jabatan
strategis dan merumuskan kurikulum baru bagi pendidikan Islam agar dapat
mengalami sekularisasi, liberalisasi, dan seterusnya. [Bachtiar, 2017 hal: 31
dan 42-57]
Deislamisasi dalam politik Orde Baru rupanya tidak
menjadi pilihan politik yang dipertahankan hingga akhir masa kekuasaannya. Setelah
Peristiwa Tanjung Priok dan UU Asas Tunggal tahun 1985 sebagai puncak tindakan
represif Soeharto terhadap umat Islam, situasi justru berubah. Soeharto mulai
mencari dukungan dari kalangan Islam yang sebelumnya ia musuhi. Pembalikan
situasi ini terjadi seiring dengan perubahan peta politik dunia pada akhir
tahun 1980-an. Sejak tahun 1988, keruntuhan Uni Sosialis Soviet Republik (USSR)
yang menjadi saingan terberat Amerika Serikat (AS) mulai terlihat. Kerusuhan
terjadi di Azerbaijan dan Armenia. Negara-negara di Baltik menuntut
kemerdekaan. Tahun 1989, Polandia dan Hungaria mengalami demokratisasi dan
pemerintahan Jerman Timur mulai pecah hingga berujung peruntuhan tembok Berlin
pada November. Pada Desember, Nicolae Ceaucescu yang tujuh tahun sebelumnya
menjadi tamu negara Soeharto digulingkan di Rumania dan dibunuh. Tahun
berikutnya, Lithuania memproklamasikan kemerdekaan dari USSR dan terjadi
kerusuhan di Republik Soviet Kirghiz yang mayoritas Muslim. Tahun 1991,
Yugoslavia mulai berantakan, hingga akhirnya USSR bubar. Runtuhnya Uni Soviet
ini akhirnya mengantarkan dunia pada periode akhir Perang Dingin antara Blok
Barat (AS) dan Blok Timur (USSR). Praktis, perubahan peta politik dunia ini semakin
menekan posisi Indonesia untuk semakin mewujudkan demokratisasi dalam segala
bidang, terutama ekonomi dan politik. [Bachtiar, 2017 hal: 31-32]
Di dalam negeri, situasi pun mulai berubah. Demokratisasi
politik, walaupun masih sebatas slogan yang dilontarkan pemerintah, telah
mengubah peta politik di dalam lingkaran kekuasaan Soeharto sendiri. Salah satu
contoh yang mencolok adalah kebijakannya dalam menangani Islam. Bila sebelumnya
ia memperlakukan gerakan-gerakan Islam secara represif, terutama yang berkaitan
dengan hukum dan politik, kini justru Soeharto mendukung suatu gerakan yang
sangat dekat dengan politik, yaitu Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI),
walaupun secara faktual bukan gerakan politik. Dukungan terhadap ICMI tampaknya
menjadi semacam pilihan taktis bagi Soeharto dalam rangka menjalin aliansi
dengan kalangan umat Islam. [Bachtiar, 2017 hal: 32]
Apa penyebab dukungan Soeharto terhadap kalangan Islam,
terutama ICMI pada masa ini? Hampir tidak ada penelitian yang setuju bahwa itu
semata akibat tekanan keharusan demokratisasi. Demokratisasi tampak hanya
dijadikan wacana menuju perubahan strategi politik Soeharto ini. Kemungkinan
terbesar jawaban atas pertanyaan tersebut ialah dalam rangka menghadapi
kekuatan kontrolnya yang semakin melemah terhadap militer. Sejak 1980-an, LB
Moerdani semakin kuat mengontrol militer dan diduga akan digunakan untuk
menggulingkan Soeharto. Ia khawatir Moerdani benar-benar akan mengakhiri
kekuasaannya. Karena itu, ia memerlukan kekuatan lain untuk menghadapi Jenderal
Moerdani. Sudah maklum, kelompok Islam, atas berbagai kasus yang telah menimpa
umat Islam, sangat tidak menyukai LB Moerdani, terutama pasca peristiwa Tanjung
Priok; sehingga Soeharto memilih kelompok Islam, khususnya dari kalangan
intelektual, untuk mendukungnya. Indikasi ke arah sana mulai terlihat.
Moerdani, yang merupakan anak didik Ali Moertopo (yang saat menjabat pernah melarang
penggunaan kerudung di sekolah dan kampus negeri, termasuk institusi
pemerintah), mulai disingkirkan dari jabatan Panglima ABRI, digantikan oleh Try
Sutrisno yang lebih diterima oleh kalangan Islam. Soeharto terlihat pelan-pelan
ingin mereduksi kekuasaan Moerdani dengan memindahkannya ke jabatan Menteri
Pertahanan yang lebih administratif dan tidak memegang kendali tentara secara
langsung. Skema ekonomi pun mulai diubah dari model pemikiran Widjojo
Nitisastro (Widjojonomic) yang begitu kapitalis dengan orientasi pembangunan
ekonomi, menjadi pemikiran Habibienomic, yang menekankan pada industri
strategis dan pengembangan teknologi tinggi. [Bachtiar, 2017 hal: 32-33]
Hal yang menarik adalah peran B.J. Habibie menjadi sangat
sentral dalam masa peralihan dukungan Soeharto ini. Ia berhasil menjembatani
komunikasi Soeharto dengan kelompok-kelompok Islam, baik itu dengan kelompok
Islam Liberal yang cukup lama dekat dengan Soeharto, kalangan tradisionalis
yang masih diakomodasinya, hingga, yang paling penting, ialah para mantan
aktivis Masyumi yang kini banyak menggeluti organisasi Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII). Simbol keberhasilan komunikasi ini adalah ketika Soeharto
menyetujui berdirinya ICMI, tapi harus diketuai oleh Habibie, yang dianggap
dapat merekatkan hubungan Soeharto dengan umat Islam. Kepengurusan pun dibentuk
terdiri atas para intelektual kedua kubu, ditambah menteri-menteri dan pejabat
loyalis Soeharto yang dianggap berasal dari kalangan Islam. [Bachtiar, 2017 hal
33]
Sebenarnya, ICMI mulanya didirikan atas inisiatif
anak-anak muda dari gerakan dakwah kampus yang dimotori Erik Salman, Ali Mudakir,
Mohammad Zaenuri, Awang Surya, dan Mohammad Iqbal yang ingin menyelenggarakan
semacam kegiatan yang bisa mempersatukan para cendekiawan Muslim dari berbagai
kalangan. Mereka adalah mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
(Unibraw) angkatan 1987. Setelah berkonsultasi dengan Rektor Unibraw, Drs. Z.A.
Ahmadi, MPA dan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Drs. Malik
Fadjar, M.Sc., akhirnya mereka disarankan menyelenggarakan simposium yang
melibatkan para cendekiawan Muslim berbagai kelompok. Setelah berkonsultasi
dengan berbagai cendekiawan di Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta, juga
atas saran Imaduddin Abdurrahim dan Dawam Rahardjo, kegiatan tersebut sebaiknya
diarahkan untuk membentuk suatu ikatan cendekiawan Muslim dan menyarankan
mereka menemui B.J. Habibie yang saat itu menjabat Menteri Negara Riset dan
Teknologi / Kepala BPPT. Setelah bertemu Habibie, secara pribadi ia mendukung,
tapi dia merasa perlu meminta izin pada Presiden Soeharto. Soeharto, karena
memang tengah membutuhkan kekuatan umat Islam, malah sangat mendukung gagasan
itu. Acara tersebut mendapatkan sambutan yang antusias dari cendekiawan
berbagai wilayah. Terlebih Soeharto telah merestui Habibie dibantu beberapa
orang menterinya untuk menjadi pemimpin ikatan itu, yang oleh Habibie diusulkan
bernama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. [Bachtiar, 2017 hal: 33-34]
Akhirnya, tanggal 6-8 Desember 1990 diselenggarakanlah
kegiatan yang bertajuk “Simposium Nasional Cendekiawan Muslim: Membangun
Masyarakat Abad XXI” yang menjadi titik awal berdirinya ICMI. Acara itu sendiri
dibuka secara langsung oleh Presiden Soeharto dan dihadiri oleh pejabat-pejabat
pusat dari Jakarta. Segera setelah ICMI dideklarasikan, di berbagai kota
didirikanlah cabang-cabang Organisasi Satuan (Orsat) untuk tingkat lokal dan
Organisasi Wilayah (Orwil) untuk tingkat provinsi. Organisasi Pusat (Orpus) diketuai
oleh Habibie. Kaum intelektual yang bergabung sangat banyak dengan latar
belakang yang beragam, baik dari kalangan tradisionis maupun modernis, dari
kelompok dakwah maupun “kelompok pembaruan” (insya-Allah akan dibahas di
tulisan berikutnya). Ini menunjukkan ICMI relatif berhasil menyatukan kaum
intelektual yang terbelah karena berbeda pandangan dan ideologi gerakan. Kemauan
untuk bersatu ini salah satunya didorong oleh program-program ICMI yang lebih
berorientasi pada persoalan-persoalan praktis umat, bukan masalah ideologi dan
pemikiran. Pada sejarahnya, ICMI turut melahirkan CIDES (Center for Information
and Development Studies), koran Republika, program beasiswa ORBIT, bank-bank
syariah (yang pertama Bank Muamalat) dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT),
pengembangan usaha mikro, Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (YINBUK) bersama
MUI, Majelis Kajian Pembangunan Daerah, Majelis Sinergi Kalam (MASIKA), Gerakan
Wakaf Buku, IIFTIHAR (Internasional Islamic Forum For Science, Technology And
Human Resource Development) bekerja sama dengan Rabithah Alam Islami (Liga
Dunia Islam) yang berpusat di Riyadh dan Internasional Institute of Islamic
Thought (IIT) yang berpusat di Virginia, AS. [Bachtiar, 2017 hal: 34-35]
Namun begitu, nuansa politik yang kental dalam ICMI
berupa pengangkatan para birokrat dan pembantu presiden sebagai pimpinannya
tetap menuai kontroversi. PBNU, militer, dan kalangan Kristen turut menyatakan
ketidaksetujuan mereka atas pembentukan ICMI. Karena kontroversi yang demikian,
segera setelah kekuasaan Soeharto jatuh pada 1998, ICMI kehilangan taring.
Naiknya Habibie sebagai presiden tak banyak mendongkrak pamor ICMI, hingga
akhirnya tidak dapat lagi menjadi wadah ideal untuk menyatukan kaum intelektual
dengan pamornya yang semakin merosot. Pun demikian, ICMI mesti tetap dicatat
pernah mampu menyatukan kaum intelektual Muslim Indonesia dari berbagai latar
belakang dalam satu wadah. Selain itu, sejak berkuasa hingga lengsernya
Soeharto, ICMI inilah yang memainkan peran penting dalam politik Indonesia yang
menandai bergesernya keberpihakan Soeharto ke arah Islam, yang tidak hanya
simbolis atau “pencitraan” ritual seperti saat kunjungan ke Bosnia dan berhaji
tahun 1991. Selain karena keniscayaan semakin banyaknya lahir
intelektual-intelektual Muslim baru, juga disebabkan perkembangan internasional
seperti telah dijelaskan dan ancaman kelompok “ABRI merah” yang dimotori oleh
L.B. Moerdani, yang secara tidak sabar telah menunjukkan tanda-tanda
pembangkangan terhadap Soeharto. Kabinet yang disusun Soeharto antara 1992-1997
pun semakin mengakomodasi berbagai kalangan Islam, tidak seperti sebelumnya
yang mengadopsi gaya Snouk Hurgronje. Ia bahkan menyempatkan hadir dalam
Muktamar Muhammadiyah di Aceh yang memilih Amien Rais sebagai ketua
menggantikan Ahad Azhar Basyir. Setelah itu, nama “The Smiling General” sering
disebut atau ditulis dengan Haji Muhammad (H.M.) Soeharto.
Pada Pemilu 1997, pemilu terakhir dalam masa Orde Baru,
tanda-tanda merosotnya kekuasaan Soeharto semakin terlihat. Pemilu kala itu
memang masih dimenangkan oleh Golkar yang juga tetap mengantarkan Soeharto
sebagai presiden. Habibie, seorang intelektual yang kurang mahir berpolitik,
dipilih Soeharto sebagai wakilnya. Namun, tak lama setelah pelantikan, ia harus
menghadapi tuntutan dari masyarakat yang direpresentasikan oleh demonstrasi
mahasiswa yang menuntutnya turun dari kursi kepresidenan. Tuntutan ini sesungguhnya
adalah akumulasi dari kekecewaan masyarakat terhadap kepemimpinan Soeharto
sepanjang Orde Baru yang represif, koruptif, dan hanya menyejahterakan rakyat
secara parsial, di mana fundamen ekonomi negara tak sanggup menghadapi terpaan
krisis ekonomi yang menerjang Asia. Stigma “ekstrem kiri” dan “ekstrem kanan”
sebagai musuh negara telah menyebabkan Soeharto menciptakan banyak musuh yang
pada saatnya akan bergerak untuk menurunkannya. Kekecewaan dan keinginan untuk
menurunkan Soeharto menemukan momentum ketika memasuki fase terakhir
kepemimpinannya, walaupun Soeharto telah berusaha menciptakan keseimbangan
politik baru agar dia tidak dimakzulkan secara tidak terhormat. Bahkan, Ketua
MPR Harmoko yang harusnya merupakan orang lingkaran dalam kekuasaan pun ikut
menyuarakan agar ia mundur.
Momentum mulai tercipta saat secara terbuka keluarga dan
kroni-kroni di sekeliling Soeharto memperlihatkan kehidupan yang sangat mewah
sementara rakyat masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pada awal 90-an,
korupsi rezim ini sudah banyak menggurita dan menjadi rahasia umum. Anak-anak
Soeharto menumpuk kekayaan dengan memegang berbagai perusahaan berskala besar
dan menikmati transaksi istimewa dalam berbagai macam proyek. Para cukong yang
bekerja sama dengan pemerintahan, baik di level nasional maupun daerah,
mendapatkan konsesi-konsesi eksploitasi sumber daya. Diperkirakan sekitar 70%
kegiatan ekonomi swasta berada di tangan orang Cina pada tahun 1990-an,
terutama mereka yang dekat dengan keluarga Soeharto. Walaupun secara kasat mata
melakukan KKN, tapi lembaga peradilan tak sanggup menangkap mereka. Dengan
terpaan krisis, kemiskinan yang masih banyak, serta banyaknya kasus ketegangan
sosial, politik, agama, dan budaya, kemarahan rakyat mulai naik. Kemarahan ini
mulai berani muncul saat secara mencolok terjadi skandal “Mobil Nasional”
(Mobnas) yang melibatkan orang-orang dekat Soeharto. Proyek ini merupakan
proyek perakitan mobil nasional sendiri dengan adanya pembebasan pajak. Kontrak
jatuh pada Tommy Soeharto dan manufaktur mobil asal Korea, KIA. Namun, segera
ketahuan bahwa usaha ini sama sekali tidak merakit mobil nasional di Indonesia,
tetapi membeli mobil yang sepenuhnya buatan KIA yang diberi label mobil
nasional hingga terhindar dari pajak dan bea masuk. Kebijakan ini menjadi bahan
kecaman di dalam negeri sekaligus menuai protes dari Amerika dan Jepang. Ini
menjadi salah satu sebab iklim internasional menjadi semakin anti-Soeharto,
selain juga dipicu oleh berbagai kasus pelanggaran HAM yang dialamatkan pada
rezim. [Bachtiar, 2017 hal: 38]
Kecaman terhadap rezim di dalam negeri semakin kencang
menyusul terjadinya krisis moneter tahun 1997. Nilai tukar rupiah merosot tajam
dari 2500 per dolar menjadi 4.000 dan lalu 17.000 hanya dalam hitungan bulan
saja. Bursa saham Jakarta hancur. Banyak perusahaan bangkrut. Nilai tabungan di
bank menyusut sangat tajam, bahkan banyak yang lenyap. Jutaan pekerja
diberhentikan. Respons pertama pemerintah terhadap krisis inilah yang
sebenarnya membuat kejengkelan rakyat tak terbendung. Saat krisis belum terjadi,
sejumlah ekonom lokal maupun asing telah memberikan peringatan, tapi muncul
sikap denial dari pemerintah yang mengklaim bahwa fundamen ekonomi
negara kuat. Saat krisis mulai datang, kesombongan rezim kembali muncul dengan
mengumumkan Reformasi, tapi proyek-proyek kroni dan keluarga dilindungi. Upaya
penanggulangan krisis yang dipercayakan pada IMF (International Monetary Fund)
juga dikritik banyak orang, termasuk tarik-menarik antara IMF dengan Soeharto
yang menjadi konsumsi publik.
Sejak saat itu, protes-protes di media massa dan
demonstrasi di jalanan terus menggema seantero negeri. Tokoh-tokoh yang vokal
seperti Amien Rais disingkirkan dari ICMI. Sri Bintang Pamungkas disingkirkan
dari lingkaran kekuasaan. Padahal, melalui ICMI yang dipimpin Habibie, Soeharto
berharap menemukan kekuatan politik baru pendukungnya. Namun, banyak
intelektual yang ada di dalamnya justru malah berbalik menjadi ancaman baginya.
Maka, tindakan represif dan otoriter yang ia gunakan dalam pemerintahannya
sejak awal, ia gunakan kembali. Media massa yang tadinya tidak berani
membongkar kebobrokan pemerintah pun semakin terbuka. Demonstrasi-demonstrasi
mahasiswa di berbagai daerah seolah tak pernah berhenti. Puncak dari drama
protes rakyat terjadi ketika Soeharto pergi ke Kairo untuk menghadiri
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri banyak kepala negara dunia pada
tanggal 7 Mei 1998. Ia terpaksa harus kembali lagi tanggal 15 Mei karena
situasi Jakarta semakin tidak terkendali. MPR yang 17 bulan sebelumnya
melantiknya sebagai presiden untuk ketujuh kalinya, kini malah berbalik siap
untuk mengadakan Sidang Istimewa (SI) untuk menurunkannya dari jabatan presiden.
ABRI yang tadinya loyal pun turut mendukung pelaksanaan SI. Akhirnya, setelah
sejumlah pertemuan dengan berbagai pemimpin masyarakat dan ditolaknya usulan
Soeharto tentang pembentukan Dewan Reformasi serta mundurnya sekitar 14 orang
menteri yang diangkatnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto memutuskan
berhenti sebagai presiden dan menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, B.J.
Habibie.
1998-2024(?), Gelombang III Indonesia: Upaya Mencapai
Keseimbangan antara Kebebasan Politik, Penyehatan Demokrasi, dan Ekonomi
Gelombang ini mayoritas terjadi pada era Reformasi. Kepemimpinan
baru Indonesia kemudian jatuh ke tangan Habibie, seorang teknokrat yang
sebelumnya didaulat memimpin ICMI. Habibie menghadapi beban yang sangat berat
di antaranya stabilitas ekonomi, penyelesaian pelanggaran HAM, stabilitas
pertahanan yang disebabkan kasus GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan Timor-Timur yang
menuntut merdeka, dan tuntutan kebebasan
mengemukakan pendapat. [Bachtiar, 2017 hal: 40]
Pada akhirnya, Habibie memang tidak dapat menuntaskan
semuanya secara sempurna. Akan tetapi, masa kepemimpinannya yang singkat
sekitar 17-18 bulan berhasil membuka hal-hal baru yang berpengaruh pada
masa-masa selanjutnya. Pertama, Habibie berhasil membuka keran kebebasan
berbicara dan menyampaikan pendapat yang sebelumnya sangat dibatasi, baik masa
Demokrasi Terpimpin, maupun rezim Orba. Undang-undang yang membatasi pers dicabut.
Setiap orang berhak menyampaikan apa yang menjadi pemikirannya di mana pun
melalui media apa pun. Kedua, seiring dengan kebebasan berbicara, kebebasan
pers menjadi keniscayaan. Berbagai partai politik berdiri pada masa kekuasaannya.
Ada 48 partai politik yang berhak ikut dalam Pemilu 1999 yang berhasil
diselenggarakan oleh Habibie. Pemilu 1999 ini merupakan keberhasilan ketiga
Habibie dalam mengawal transisi politik negeri ini. Melalaui pemilu itu, kisruh
kepemimpinan politik di negeri ini dapat teratasi. PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan) menang pemilu ini dengan perolehan suara 34%. Menariknya, Golkar
yang dihujat selama awal Reformasi, bahkan dituntut untuk dibubarkan oleh
mahasiswa, ternyata menjadi pemenang kedua dengan perolehan 22%. Inilah suatu
kontradiksi: Golkar sebagai tulang punggung Orde Baru dicap “bersalah” dan
menjadi “terdakwa” di era Reformasi tapi berhasil meraih suara signifikan dalam
pemilu yang berlangsung demokratis. [Matta, 2014 hal: 7] Namun, pribadi Habibie
yang tidak haus kekuasaan dapat mengawalnya dengan baik hingga terpilih
Presiden ke-4 melalui Sidang Umum MPR tahun 2000 hasil Pemilu 1999, yaitu
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. [Bachtiar, 2017 hal:40-41] Habibie dan Golkar
harus menerima kenyataan pahit ditolaknya laporan pertanggungjawaban presiden. Habibie
dianggap melakukan kesalahan terkait keputusannya memberikan kesempatan
referendum bagi Timor-Timur sehingga menimbulkan ketegangan hubungan dengan
militer. Menyikapi perkembangan itu, Habibie menunjukkan sikap kesatria dengan
menyatakan bahwa dia sudah tidak lagi memiliki legitimasi untuk mencalonkan
diri sebagai presiden. [Matta, 2014 hal: 7]
Selain berkenaan dengan perubahan sosial dan politik yang
cukup penting digulirkan Habibie, ia juga berhasil mengendalikan ekonomi Indonesia
yang hampir hancur pada akhir kepemimpinan Soeharto. Berangsur-angsur ekonomi Indonesia
membaik sedikit demi sedikit sehingga Indonesia tidak sampai bangkrut. Akan
tetapi, perubahan sosial dan politik di ataslah yang paling penting dan berpengaruh
terhadap sejarah Indonesia setelah Soeharto yang disebut sebagai era Reformasi.
Keterbukaan itu telah menyebabkan banyak sekali pikiran yang berkontestasi di ruang
publik tanpa takut dikebiri, karena keran kebebasan pers dibuka seiring dengan bergulirnya
reformasi politik. Dalam hal ini media massa, baik cetak maupun elektronik,
memainkan peranan penting. Media masa sejak saat itu benar-benar menjelma
menjadi pilar demokrasi di Indonesia. [Bachtiar, 2017 hal: 41]
Apa yang telah dimulai Habibie saat memegang kekuasaan
transisi terus dipertahankan hingga kekuasaan beralih ke presiden-presiden
berikutnya, dari Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Pada awal kekuasaan Wahid memang sempat terjadi ketegangan
politik. Wahid yang dipilih melalui SU MPR tahun 2000, yang saat itu dipimpin
oleh Amien Rais, harus menelan pil pahit diturunkan kembali dari kursi
kepresidenan pada tahun 2002 akibat sejumlah kontroversi yang ditimbulkannya
dan skandal Bulog yang terkait dengan kisruh pemanfaatan dana sumbangan Sultan
Brunei. Wahid digantikan oleh Mega, yang sebelumnya menjadi wakilnya, pada 2002
hingga menyelesaikan masa kepemimpinan tahun 2004. Mega didampingi oleh
politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Hamzah Haz.
Reformasi dan kebebasan dalam bidang politik terus
bergulir dalam bentuk tuntutan sistem politik yang lebih demokratis. Salah
satunya adalah desakan pemilihan presiden langsung oleh rakyat, bukan oleh MPR.
Usulan ini diterima sampai ke DPR dengan disahkannya UU No. 23 Tahun 2003
tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan presiden langsung diselenggarakan
pertama kali pada 2004, yang mengantar SBY dan Jusuf Kalla (JK) berkuasa.
Melalui pemilihan langsung ini, kondisi politik semakin stabil sehingga pemakzulan
presiden di tengah jalan belum terjadi lagi setidaknya sampai tahun 2020 ini.
Selama beberapa periode kekuasaan sejak tahun 1998 ini, salah satu keberhasilan
reformasi yang digulirkan yang masih tetap berjalan baik ialah kebebasan berpendapat,
meskipun akhir-akhir ini terlihat adanya suatu model baru dalam melakukan
represi atau serangan terhadap lawan-lawan politik, yaitu dengan memanfaatkan
kinerja buzzer pada era media sosial. [Bachtiar, 2017 hal: 41-42]
Tahun-tahun awal Reformasi berlangsung begitu bising dan
tegang. Tak jarang ketegangan itu menimbulkan jatuh korban, seperti pada
Peristiwa Semanggi. Indonesia sedang mencari keseimbangan baru, layaknya orang
kaya baru yang tiba-tiba punya uang banyak tapi tidak tahu bagaimana membelanjakannya.
LSM, ormas, dan surat kabar lahir hampir setiap hari dengan agenda dan
kepentingannya masing-masing. Pakar-pakar dari kampus yang sebelumnya berdiam
di menara gading terlibat dalam berbagai usaha demokratisasi, seperti menjadi
anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lembaga-lembaga lainnya. Sejumlah
perubahan dilakukan guna mengatasi permasalahan-permasalahan masa lalu yang
sudah terlanjur sistemis. Misalnya, karena ketidakpuasan terhadap kinerja
polisi dan kejaksaan dalam memberantas korupsi, berbagai pihak mencanangkan
pembentukan suatu badan baru melalui suatu undang-undang tentang komisi yang
diberi nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Undang-undang tentang otonomi
daerah mulai dijalankan secara luas. Kepala daerah turut dipilih langsung oleh
masyarakat. Berbagai institusi berusaha memperbaiki citranya di mata publik,
dengan banyaknya bermunculan lembaga survei yang mengeluarkan angka-angka
kepuasan publik terhadap kinerja lembaga-lembaga pemerintahan. Permasalahan-permasalahan
terkait HAM, keadilan ekonomi, dan lingkungan mulai menjadi pusat perhatian
publik. Depolitisasi semakin berkurang. Walau masih banyak permasalahan yang
harus diselesaikan, Indonesia bukan lagi negara yang teramat miskin dan
porak-poranda.
Kealpaan Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru dalam tatanan
kelembagaan sebelumnya coba diperbaiki pada era Reformasi. Tatanan kelembagaan
inilah – yang mencakup kelembagaan ekonomi dan politik – yang akan menentukan kesejahteraan
sebuah bangsa. Kelembagaan ekonomi menentukan insentif ekonomi, sementara
kelembagaan politik berperan dalam menentukan bagaimana proses tersebut
bekerja. Kelembagaan politik mencakup konstitusi, tingkat pencapaian demokrasi
dan kekuatan serta kapasitas negara dalam mengatur masyarakat. Kealpaan dalam
membangun kelembagaan itu berujung pada pemusatan kekuasaan atau oligarki
politik dengan segala dampaknya, termasuk korupsi. Dari kaca mata politik,
gerakan Reformasi merupakan suatu koreksi dan perlawanan terhadap kekuasaan
oligarki dan korupsi Orde Baru. Namun, jika dilihat dari spektrum yang lebih
luas, perjalanan sejarah, kita bisa menyimpulkan bahwa Reformasi adalah sintesis
dari tesis Orde Lama dan antitesis Orde Baru. Pada fase ini, dengan segala
kegaduhannya, kita mulai mematangkan budaya demokrasi, sebagai bagian dari
usaha mewujudkan negara-bangsa yang modern. Gerakan Reformasi ini terutama
membentur cara berpikir masyarakat tentang kekuasaan. Jika kita lihat enam
tuntutan reformasi (penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan
mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya, amandemen UUD 1945, pencabutan dwifungsi
ABRI, dan otonomi daerah) yang mengkristal dalam gerakan mahasiswa awal
Reformasi ini, kita dapat melihat bahwa tuntutan itu adalah pengaturan
kekuasaan. [Matta, 2013 hal: 50-51]
Korupsi politik dan ekonomi yang ada terus berjalan
secara sistemis hingga ini, malah cenderung bertransformasi ke dalam bentuk
yang lebih canggih, memanfaatkan perundang-undangan yang ada, sehingga dikenal
sebagai istilah “korupsi konstitusional”. Korupsi memang merupakan indikator yang
jelas mengenai kelembagaan politik yang mempengaruhi kelembagaan ekonomi.
Kelembagaan politiklah (termasuk di dalamnya penegakan hukum) yang menentukan
kelembagaan ekonomi, dan akhirnya kinerja ekonomi. Politik adalah proses di
mana masyarakat memilih aturan yang akan mereka jalani sendiri. Kelembagaan
politik adalah kunci penentu pertandingan distribusi kekuasaan di dalam masyarakat.
Kelembagaan politik menentukan siapa pemenang kekuasaan di dalam masyarakat dan
sampai tingkat mana kekuasaan itu dapat digunakan. Sampai sekarang, kita masih
punya banyak PR dalam membangun kelembagaan politik dan ekonomi Banyak aspek
prosedural dalam demokrasi yang sudah dipenuhi, seperti pemilihan umum,
pembatasan masa jabatan pejabat publik, dan DPR yang mampu mengimbangi kekuatan
eksekutif. Namun, semua itu harus digerakkan untuk menjawab pertanyaan
substansial, yaitu bagaimana demokrasi mampu memberikan hasil yang kongkret berupa
kesejahteraan rakyat. Kebebasan yang kita nikmati sekarang adalah modal untuk
berusaha tanpa rasa takut dalam mewujudkan kemakmuran. Kita mesti menemukan
suatu keseimbangan antara stabilitas negara, kesehatan demokrasi dan kebebasan
masyarakat sipil, dengan kesejahteraan dan sehatnya pasar. [Matta, 2013 hal:
52]
Persoalan-persoalan besar dan mendasar tersebut
sebenarnya telah diatasi dengan arah yang cukup menjanjikan; hanya saja
akhir-akhir ini, terjadi perkembangan-perkembangan yang mesti membuat kita
mengernyitkan dahi, terutama semenjak 2016. Perkembangan sejak era Wahid, Mega,
hingga SBY sebenarnya telah menunjukkan arah positif. Meski masih muncul banyak
permasalahan, umumnya terjadi akibat sisa kesalahan masa lalu dan terjadinya
pun secara parsial, tidak di semua lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita tahu bahwa pemerintahan Habibie dan Wahid mampu meredam krisis ekonomi dan
menstabilkan nilai tukar serta membuka keran demokratisasi, walaupun masih
terdapat skandal korupsi yang bahkan menyangkut presiden sendiri, seperti kasus
Bulog, atau pernyataan-pernyataan Wahid yang memang cenderung kontroversial,
seperti keinginan membubarkan DPR, dan lain-lain. Pada masa Mega, terjadi
pembunuhan aktivis Munir, penjualan Indosat dengan harga murah yang menimbulkan
tanda tanya besar, dan kelindan kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).
Namun, di masa Mega lahir KPK yang kemudian jadi kecintaan publik dalam
pemberantasan korupsi.
Masa SBY adalah masa yang sangat demokratis dengan
pertumbuhan ekonomi yang tercatat tinggi sampai melebihi 6 persen, meski soal
pemerataan masih menjadi soal. PDB Indonesia naik secara signifikan
dibandingkan dengan rasio kenaikan hutang relatif terhadap presiden-presiden
lain selama era reformasi. SBY juga berhasil mengemudikan Indonesia dengan
selamat melewati musibah tsunami Aceh dan krisis ekonomi 2008 serta wabah flu
burung. Saking demokratisnya, demonstrasi terhadap pemerintahan SBY nyaris
terjadi setiap hari, bahkan sering berada dalam ranah penghinaan personal,
seperti dibawanya kerbau yang dikalungi nama SBY, dan lain-lain. Demonstrasi
itu umumnya dimotori oleh PDIP sebagai oposisi, seperti saat adanya kenaikan
harga BBM zaman SBY. Zaman itu, pemerintah memang dihadapkan pada masih tingginya
harga minyak dunia sehingga alokasi dana untuk subsidi cukup besar. Namun, saat
PDIP kemudian berkuasa, mereka juga menaikkan harga minyak bahkan saat harga
minyak dunia telah turun, karena pemangkasan subsidi yang besar guna memenuhi
ambisi pembangunan infrastruktur. Meski begitu, sebagian infrastruktur yang
diresmikan atau dibangun pada masa Jokowi sebenarnya telah dianggarkan pada
masa SBY, tapi peran SBY tampak ditenggelamkan dalam beberapa bagian itu.
SBY nyaris tak pernah menggunakan aparatur negara untuk
melakukan penangkapan terhadap mereka yang mengkritik bahkan menghina dirinya.
Ia bahkan mesti datang sendiri ke kantor kepolisian untuk sekadar melaporkan
kasus pencemaran nama baik, walaupun kapasitasnya sebagai presiden. Ini berbeda
dari masa Jokowi, di mana mereka yang kritis pada rezim begitu cepat diproses
oleh kepolisian, dengan pelaporan dari lingkar kekuasaan. Selain itu, SBY juga
tercatat mundur sementara saat mengajukan diri sebagai calon presiden ketika petahana,
hal yang tidak dilakukan Jokowi, guna menghindari konflik kepentingan. Pada masanya,
KPK bahkan begitu bertaji menangkap petinggi partai berkuasa (Demokrat dan PKS)
semacam Anas Urbaningrum dan Luthfi Hasan Ishaq. SBY sebagai penguasa tidak
menghalang-halangi penyelidikan itu. Berbeda drastis dengan kasus Harun Masiku
di era Jokowi. Walaupun Masiku bukan petinggi PDIP, proses KPK justru mendapatkan
hambatan baik dari elemen kepolisian maupun dari kantor PDIP. Pun begitu, masa
SBY juga tak lepas dari kritik. Privatisasi Krakatau Steel, Bank Century, dan
kasus wisma atlet, menurut saya, merupakan salah satu catatan paling hitam
dalam pemerintahannya. Walaupun juga terjadi kasus cecak-buaya, kekuatan KPK
masih dapat dijaga pada masanya. Penindakan korupsi bahkan mampu menembus level
tinggi seperti penangkapan pada Akil Mochtar.
Dalam hal oligarki kekuasaan, feodalisme, dan politik
dinasti memanglah masih ada pada masa-masa itu di berbagai tingkatan. Namun, lingkaran
inti dari presiden sendiri tak pernah diorbitkan sebagai kelanjutan dinasti
pada saat presiden masih aktif menjabat. Habibie dan Wahid tak sempat membangun
dinasti politik. Mega dan SBY memiliki Puan Maharani dan Agus Harimurti Yudhoyono
(AHY) sebagai putri dan putra mahkota. Namun, keduanya tidak langsung diberi
jabatan saat Mega dan SBY masih berkuasa. AHY misalnya, mencalonkan diri dalam
Pilkada DKI dan lalu menjadi pimpinan Partai Demokrat setelah SBY turun takhta.
Hal ini sedikit lebih baik dari masa Jokowi di mana lingkaran-lingkaran
terdekat presiden maju dalam kontestasi politik saat Jokowi masih berkuasa.
Bahkan, di Solo, Gibran diajukan sebagai calon melalui proses yang penuh intrik,
di antaranya dengan melangkahi wakil wali kota sebelumnya yang telah cukup lama
menjadi kader dari PDIP, dengan salah satu prosesnya melalui pemanggilan yang bersangkutan
ke istana untuk bertemu dengan Jokowi. Dikabarkan bahwa sebagai kompensasi merelakan
pencalonan di Solo, ia akan diberikan jabatan, tapi yang bersangkutan menolak.
Ini merupakan suatu penyimpangan yang nyata terhadap kapasitas konstitusional
presiden serta penyalahgunaan terhadap istana negara yang digunakan untuk mengurusi
kepentingan elektoral, hal yang sebenarnya sudah terjadi juga menjelang Pemilu 2019
dulu.
Belum lagi jika meninjau sektor lain seperti penegakan
hukum, pemberantasan korupsi, dan ekonomi. Pembangunan infrastruktur yang gencar
dilakukan pemerintahan Jokowi nyatanya tak mampu memenuhi janji ekonomi meroket
yang dilontarkannya, yang mengklaim dapat membawa Indonesia dapat tumbuh dua
digit. Bahkan sebelum pandemi terjadi pun, perekonomian cenderung limbung
dengan pertumbuhan yang berat untuk sekadar melebihi lima persen. Padahal,
hutang dan investasi asing yang ditarik masuk demikian signifikan dibandingkan
era-era pemerintahan sebelumnya, tapi peningkatan PDB yang dihasilkan relatif
kecil. Agresifnya pemerintahan ini dalam menarik investasi juga tidak merata,
yaitu seakan bergantung pada poros Tiongkok dan BRI (Belt and Road Initiative),
dengan sangat menuruti kemauan donor dana itu, seperti banyak mengimpor tenaga
kerja dan pemaksaan Omnibus Law di tengah penolakan masyarakat.
Pada mulanya, kemunculan pria yang akrab disapa dengan Jokowi
ini telah menghadirkan harapan baru bagi sebagian besar publik tentang masa
depan yang cerah bagi demokrasi dan perbaikan kualitas pengelolaan negara. Hal
ini didasarkan atas asumsi bahwa Jokowi bukanlah bagian dari elite lama,
oligarki, penguasa korup, ataupun militer, dan dia lahir dari rakyat kecil yang
berhasil meraih keunggulan politik atas dukungan masyarakat sipil. Namun
tampaknya, kekhawatiran terhadap menurunnya kualitas demokrasi mulai menguat
dan harapan pada sosok presiden “rakyat” perlahan sirna setelah beberapa tahun
Jokowi menjalankan pemerintahannya. Penulis berpendapat, setidaknya, ada satu
fenomena umum yang terjadi belakangan ini dan mengarah pada kemunduran
demokrasi, yakni: semakin menyempitnya civic space (ruang sipil/publik)
bagi masyarakat sipil akibat penggunaan buzzer
oleh pemerintah dan pemberlakuan aturan hukum tertentu yang membatasi mereka.
Buzzer dan fanboy seakan telah menjadi fenomena
umum dalam praktik politik Indonesia belakangan ini. Peran mereka semakin
meningkat dan dipandang sebagai kewajaran sejak era Joko Widodo, baik itu
karena menjadi bagian dari pekerjaan atau murni simpatisan presiden belaka. Di
sisi lain, aturan hukum yang diinisiasi/dibentuk pemerintah juga semakin
bermasalah, baik dari segi transparansi, formal, ataupun praktis, sehingga
menimbulkan banyak gelombang protes. Merujuk pada Freedom House (2020) dan the
Economist’s Democracy Index (2019), terlihat bahwa demokrasi Indonesia hanya
dikategorikan sebagai “setengah bebas” dan “demokrasi yang cacat”. Salah satu
yang paling bermasalah dan sedang berlangsung hingga hari ini ialah soal
kebebasan sipil. Masyarakat sipil di Indonesia dianggap telah memainkan peran
strategis dalam kehidupan berdemokrasi sejak dimulainya masa reformasi dua
dekade lalu. Namun belakangan, masyarakat sipil cenderung tidak memiliki
gairah, kalaupun ada, suara mereka tidak lagi terlalu dipertimbangkan oleh
pemerintah. Semua ini berhubungan dengan civic space, atau ruang sipil yang
semakin menyempit. Dan tampaknya, fenomena penyempitan ruang sipil ini menjadi
sesuatu yang marak terjadi di banyak negara dalam beberapa dekade terakhir,
termasuk di Indonesia.
Memang harus diakui, bahwa masyarakat sipil di Indonesia
sangat terfragmentasi dan mereka sering kali dihadapkan pada permasalahan
internal, khususnya soal sumber pendanaan yang tidak lancar, struktur
kelembagaan yang tidak kuat, serta gerakan dan narasi mereka yang tidak
terhubung dengan grassroot. Namun, penulis melihat ada beberapa faktor
eksternal, khususnya merebak di pemerintahan Jokowi, yang membuat ruang
masyarakat sipil untuk berbicara semakin menghilang, yakni: pertama, penggunaan
buzzer politik yang didukung negara.
Penulis menilai, aktivitas buzzer
sangat mengancam bagi demokrasi karena mereka mengalihkan perbincangan yang
substantif dan konstruktif menjadi sangat bias preferensi politik. Kritik-kritik
masyarakat sipil cenderung tidak sampai kepada pemerintah karena mereka
menciptakan “dunia” sendiri yang tidak ada kritik karena telah menggunakan buzzer. Sebagai pihak yang sedang
memerintah, menggunakan jasa buzzer
untuk menghadapi kritik tidak lain adalah bentuk dari anti-kritik.
Faktor pertama sangat berkaitan dengan yang kedua, yakni
menjamurnya volunteering group yang ada sejak era Jokowi menciptakan shifting
dari yang seharusnya mereka berfokus pada hal-hal programatik dan idealis
menjadi bias partisan, loyalis, dan pemburu keuntungan semata. Volunteering
group yang berinisiatif untuk mendukung, mengampanyekan, dan memenangkan
Jokowi dalam dua edisi Pilpres terakhir, tidak seluruhnya berkorelasi positif
untuk membangun demokrasi, melainkan sebagian hanya untuk mengejar jabatan dan
keuntungan tertentu. Kondisi lebih parah dan terkesan melanggar etika bernegara
ialah saat aktor-aktor yang terlibat dalam volunteering group ini tidak bubar
setelah Jokowi menang di pemilu, melainkan tetap menjadi fanboy pemerintah dengan membabi-buta mendukung setiap kebijakan
pemerintah. Mereka seakan melupakan peran mereka yang seharusnya paling
bertanggung jawab untuk menagih janji-janji Jokowi yang telah dilontarkan saat
kampanye.
Buzzer dan fanboy digunakan untuk memperlancar
setiap kebijakan developmentalis (pembangunan ekonomi) dan narasi “pluralis”
pemerintah. Beberapa aturan dan tindakan kontroversial yang dilakukan
pemerintah, seperti RUU Cipta Kerja, revisi UU Minerba (sudah disahkan), revisi
UU KPK (sudah disahkan), revisi KUHP, pelanggaran HAM atas masyarakat Papua,
kenaikan tarif BPJS, sekaligus kecenderungan pemerintah pusat untuk lebih
peduli pada ekonomi dibanding kesehatan masyarakat di saat pandemi Covid-19,
didukung habis-habisan oleh buzzer
dan fanboy mereka. Bahkan, belakangan
ini, banyak lembaga negara yang menggunakan buzzer
untuk menghadapi kritik masyarakat sipil atas kebijakan yang diambil, seperti
yang terjadi pada kasus Perusahaan Listrik Negara (PLN). Padahal, kritik dari
masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga internasional tidak kurang banyaknya.
Lagi-lagi, ini tentu berbahaya bagi demokrasi.
Ketiga, penggunaan instrumen hukum yang ambigu untuk
menekan kebebasan sipil. Penulis mencatat, bahwa UU Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) adalah salah satu peraturan yang paling membahayakan bagi kebebasan
sipil, tetapi belum ada niatan dari pemerintah untuk melakukan revisi, yang
padahal sudah dituntut oleh masyarakat sipil. Sudah banyak kasus kriminalisasi
akibat pemberlakuan UU ini. Ada pula beberapa contoh lain, seperti pemberlakuan
UU Ormas dan kebijakan negara yang mempersulit izin bagi ormas tertentu. Selain
itu, pemerintah dan DPR berencana untuk segera menetapkan RKUHP yang juga
bermasalah karena di antaranya memuat pasal penghinaan terhadap presiden dan
pejabat negara lain, yang jelas berpotensi melanggar kebebasan berpendapat. Fenomena
terbaru yang sedang viral, pemerintah menggunakan pasal makar untuk menjerat
kebebasan berpendapat orang-orang yang dianggap membahayakan dan “mengarah” ke
separatisme, seperti kasus yang terjadi pada beberapa mahasiswa di Papua.
Jokowi berulang kali menyuarakan komitmennya dalam
menjaga demokrasi. Tapi pada kenyataannya, banyak kebijakan serta tindakan
pemerintah yang represif dan anti-demokrasi dihasilkan di bawah
kepemimpinannya. Di antaranya adalah keputusan Jokowi untuk mendukung
pengesahan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) walau ditentang banyak
pihak. Sikap aparat keamanan dalam mengamankan aksi demonstrasi di berbagai
kota yang menolak revisi UU KPK dan RKUHP juga diwarnai tindakan represif
anti-demokrasi. Dua mahasiswa tewas setelah bentrok dengan polisi di Kendari,
Sulawesi Tenggara; puluhan mahasiswa ditangkapi; aktivis ditahan; dan bahkan
pemerintah akan memberi sanksi universitas yang mahasiswanya terlibat unjuk
rasa. Sinyal-sinyal anti-demokrasi dari Jokowi sebenarnya sudah muncul jauh
sebelum peristiwa di atas. Tanda-tanda ini seharusnya menjadi peringatan bagi
semua pihak, terlebih masyarakat sipil untuk mawas diri terus menjaga
demokrasi.
Beberapa kebijakan Jokowi yang menyumbang pelemahan
demokrasi, bisa dilihat sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(ormas) dan Peraturan Presiden (perpres) No. 37 Tahun 2019 tentang Jabatan
Fungsional Tentara Nasional Indonesia (TNI). Perppu tentang ormas yang
digunakan pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia, walau benar
secara substansi tapi cacat secara prosedur karena mengeliminasi proses
peradilan. Selain itu, perpres jabatan TNI juga dianggap berbenturan dengan
undang-undang (UU) dan semangat reformasi.
Kekhawatiran masyarakat sipil bukan tanpa sebab. Di masa
Orde Baru, Dwifungsi ABRI menjadi perangkat otoritarianisme yang memfasilitasi
banyak pelanggaran HAM dan melanggengkan kekuasaan. Pada 2019, ditangkapnya
beberapa pendukung Prabowo Subianto - lawan politik Jokowi pada masa pemilihan
umum - advokat Eggi Sudjana dan pensiunan jenderal Kivlan Zen atas tuduhan
makar juga menjadi isu anti-demokrasi. Tuduhan makar seperti ini belum pernah
dilakukan di masa pemerintahan pasca reformasi, kecuali pada era Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang memenjarakan aktivis Filep Karma karena mendukung
kemerdekaan Papua Barat. Pada era Jokowi, banyak tokoh-tokoh aktivis yang
dikriminalisasi. Di antaranya seperti Veronika Koman karena tuduhan provokasi
insiden asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur; lalu Dandhy Dwi Laksono
atas konten tentang Papua yang dia unggah dalam akun Twitter miliknya. Aktivis
Ananda Badudu juga sempat ditahan karena mendukung demonstrasi mahasiswa.
2019(?)-2024(?), Masa Transisi: Pandemi dan Pembusukan
Demokrasi
Demokrasi di Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,58
poin dari tahun 2016 menjadi 6,39 pada tahun 2017 dan 2018 dalam Indeks
demokrasi yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit. Dalam indeks
tersebut Indonesia termasuk dalam kategori sebagai demokrasi tidak sempurna (flawed
democracy). Status ini artinya Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum
yang relatif bebas dan adil dan menghormati kebebasan sipil dasar, namun
memiliki beberapa persoalan seperti pelanggaran kebebasan media serta persoalan
tata kelola pemerintahan. Berdasarkan data Badan Pusat Stastik tahun 2018,
Indonesia juga mengalami penurunan pada indeks aspek kebebasan sipil sebesar
0,29 poin, dan pada aspek hak-hak politik turun sebesar 0,84 poin dibandingkan
tahun 2017. Bahkan, pemerintahan Jokowi seperti tidak mau belajar dari sejarah
Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru yang menghegemoni tafsir tunggal Pancasila untuk
menggebuk lawan-lawan politiknya. Meski sedang berada di tengah pandemi,
pembahasan RUU HIP lalu BPIP itu tetap dipaksakan untuk berlanjut. Demikian
pula soal UU tentang penanganan Covid-19, RUU Minerba, dan lain-lain.
Dengan semua faktor yang telah disebutkan, rezim ini
seakan mengulang nyaris seluruh kesalahan sejarah yang dilakukan oleh para
pendahulunya, terutama kediktatoran Orde Lama dan Orde Baru, hanya saja dalam
cara yang sama sekali baru. Setiap peringatan kepada pemerintah selalu dihadapi
dengan sikap denial. Dengan krisis akibat pandemi ini tengah membayang,
demikian juga Perang Dingin 2.0 antara Amerika Serikat dengan Tiongkok tengah
memanas, tidak seriusnya pemerintah menangani pandemi yang oleh sebagian ahli
internasional diperkirakan baru akan hilang antara 2022-2025, menguatnya gejala
oligarki dan politik dinasti, pelemahan pemberantasan korupsi dan penegakan
hukum, penggunaan buzzer yang semakin
menyimpang dari akal sehat, dan masih banyak lagi; segalanya menampakkan suatu
gejala pembusukan di seluruh bidang.
Segala pembusukan yang terjadi hari-hari ini, sejatinya
merupakan semacam pintu gerbang bagi momentum-momentum perubahan, yang amat
dirindukan oleh sejarah. Malam akan semakin pekat sebelum fajar menjelang.
Tanaman perintis akan bertunas setelah hutan terbakar. Segenap intervensi akal
sehat tidak akan lagi berguna dalam mengurai benang kusut keadaan. Itu karena
memang rumus sejarah sedang bekerja. Kita mesti bersiap untuk membawa diri kita
memasuki suatu era baru dalam siklus sejarah, yang saya namakan “gelombang
keempat Indonesia”. Tema besar perjuangan dalam gelombang keempat Indonesia ini
ialah, mewujudkan suatu negara bangsa modern, berasaskan demokrasi non-liberal,
dengan falsafah hidup Pancasila yang non-sekuler, melalui suatu pembaharuan
yang berakar kokoh pada tradisi dan perbendaharaan lama.
Referensi
Bachtiar, T. 2016. Lajur-lajur Pemikiran Islam: Kilasan Pergulatan
Intelektual Islam di Indonesia. Depok: Komunitas NuuN.
Bachtiar, T. 2017. Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia:
Kritik-kritik Terhadap Islam Liberal dari H.M. Rasjidi Sampai INSISTS. Jakarta:
Pustaka Al-Kaustar
Carey, P. 2001. Asal Usul Perang Jawa : Pemberontakan
Sepoy dan Lukisan Raden Saleh. Yogyakarta : LKiS.
Matta, A. 2014. Gelombang Ketiga Indonesia: Peta Jalan
Menuju Masa Depan. Jakarta: The Future Institute.
Yacob, D dan Syam, F. 2016. “Gerakan Politik Tirto Adhi
Soerjo”. Jurnal Politik dan Masalah Pembangunan, Vol. 12 No. 01.
Geotimes.co.id: Utama, Ari Putra. (2020, 15 Juni).
Fenomena Kemunduran Demokrasi di Era Joko Widodo. Diakses pada 16 Agustus 2020
dari https://geotimes.co.id/opini/fenomena-kemunduran-demokrasi-di-era-joko-widodo/
ada 9 permainan poker menarik di AJOQQ :D
ReplyDeleteayo segera bergabung dan dapatkan bonusnya :D
WA : +855969190856