Menuju Gelombang Keempat Indonesia, Mengakhiri Reformasi I

Jika pembacaan saya benar, kita tengah berada di akhir era reformasi jilid pertama dalam suatu siklus 20-30 tahunan. Dalam siklus sejarah ini, terdapat dua gelombang pra-Indonesia yang berjalan dalam bingkai pergerakan modern, yang dominan pada medan pemikiran dan organisasi, yaitu 1900-1920 dan 1920-1945. Gelombang pertama, kedua, dan ketiga setelah lahirnya Indonesia terjadi pada 1945-1965, 1965-1998, dan 1998-sekarang. Ketiga gelombang itu bergulir dalam upaya pencarian keseimbangan antara pembangunan ekonomi, penyehatan demokrasi, serta pembentukan identitas kebangsaan dan politik.

Sekarang, gelombang ketiga ini telah berlangsung sekitar 22 tahun. Segala pembusukan hari-hari ini, jika tidak segera dibenahi, tidak mustahil akan menjadi semacam pintu gerbang bagi momentum-momentum perubahan, yang akan membawa kita pada suatu era baru dalam siklus sejarah, yang saya namakan “gelombang keempat Indonesia”. Tema besar perjuangan dalam gelombang keempat Indonesia ini ialah, mewujudkan suatu negara bangsa modern, berasaskan demokrasi non-liberal, dengan falsafah hidup Pancasila yang non-sekuler, melalui suatu pembaharuan yang berakar kokoh pada tradisi dan perbendaharaan lama.

 1900-1920, Gelombang Pra-Indonesia I: Kelahiran Kesadaran dan Kebangkitan Nasional

Gelombang pra-Indonesia I yang berlangsung pada awal abad ke-20 disebut oleh para sejarawan sebagai gelombang kelahiran kesadaran atau kebangkitan nasional [Bachtiar, 2016 hal: 1]. Fase ini ditandai dengan munculnya pemahaman bahwa tatanan sosial dan politik lama, yang berupa kerajaan-kerajaan dan berbagai struktur feodalisme, serta model perlawanan yang dominan secara fisik – betapa pun besarnya dan menyengat kerugiannya terhadap Belanda seperti pada Perang Diponegoro, Perang Aceh, Perang Padri, dan lain-lain itu – tidak mampu mengenyahkan kedudukan pemerintah kolonial. Bahkan, sebagian struktur feodalisme yang ada justru dimanfaatkan oleh Belanda untuk meredam perlawanan dan mengukuhkan kekuasaan.

Fakta itu menimbulkan kesadaran untuk berjuang dengan cara lain melalui kepemimpinan baru yang terlepas dari struktur feodalisme dan kerajaan-kerajaan lama. Pergerakan baru itu bermuara pada jalur pemikiran dan organisasi, dengan urgensi untuk mewujudkan ikatan baru demi menggantikan tatanan lama yang tak lagi bekerja. Pada takat ini, yang juga bersamaan dengan perkembangan geopolitik tertentu seperti meluasnya kolonialisme Eropa dan pelbagai peristiwa seputar “The Great War” atau Perang Dunia (PD) I, pengaruh pemikiran Islam dan bahasa Melayu turut mempunyai andil besar dalam proses kebangkitan nasional itu.

Jejaring para aktivis dan intelektual-ulama lewat perjalanan haji menjadi semacam sarana pertukaran gagasan global. Hal itu kemudian dikembangkan oleh para tokoh yang turut mendapatkan pengajaran ala Belanda. Pengaruh pembaruan pemikiran Islam yang dipadukan dengan gagasan-gagasan Barat itu kemudian meresap ke dalam masyarakat lewat pergerakan kaum modernis yang berpusat pada medan tulisan, sekolah, dan organisasi. [Yacob, 2016 hal 1750-1751]. Islam merupakan faktor yang membuat bangsa ini mampu bertahan menghadapi kolonialisme Eropa, tidak habis seperti orang Aborigin dan Indian; tidak diperbudak habis-habisan dan tercerabut dari akar tamadun/peradabannya seperti penduduk sebagian kawasan Afrika. Islam dan bahasa Melayu telah beberapa masa menjadi faktor pembangkit kesadaran, semangat intelektualitas, dan ikatan pemersatu baru.

Islam telah sejak lama mengobarkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme di kalangan pejuang-pejuang lama seperti Diponegoro dan tokoh-tokoh Perang Aceh serta Perang Padri yang menganggap perjuangan mereka sebagai semacam perang sabil [Carey, 2001 hal: xxii dan 177 ]. Islam juga menjadi falsafah hidup mayoritas di Nusantara yang meleburkan batas-batas antarsuku dan kelas sosial, demikian egaliternya ajarannya dalam struktur sosial. Bahasa Melayu pun, bahasa yang paling kental mengalami Islamisasi di antara berbagai bahasa di Nusantara, juga telah menjadi bahasa dakwah Islam sekaligus lingua franca mayoritas penduduk Nusantara. Kedatangan Islam telah membangkitkan semangat intelektualitas secara luas, menawarkan wacana pemikiran yang egaliter.

Walaupun tidak meninggalkan candi-candi megah, Islam telah menawarkan jiwa intelektual dalam pendidikan yang merakyat, pemikiran peradaban, dan falsafah tamadun bagi bangsa ini. Begitu banyak konsep bahasa Melayu dan Indonesia yang berkaitan dengan prinsip-prinsip intelektualitas itu diserap dari bahasa Arab, bahasa Islam, seperti konsep akal (al-Ê¿aql), hikmah (al-hikmah), dan masih banyak lagi. Berbagai buku ditulis tanpa kungkungan kepanditaan, rakyat biasa dapat membaca buku-buku tentang adab, tanpa harus melalui pemuka agama. Buku berbagai tema seperti Mahkota Para Raja (Tajus Salatin), Kebun Para Raja (Bustanus Salatin), majalah al-Munir, naskah-naskah Hetbook van Bonang (notulen ajaran Sunan Bonang), dan masih banyak lagi, baik yang berbahasa Arab maupun berbahasa Nusantara yang ditulis dengan huruf Jawi/pegon, secara meluas beredar dan diajarkan di pesantren-pesantren. Masyarakat berbagai level sosial boleh belajar di pesantren. Jejaring pendidikannya pun telah setingkat internasional, terhubung ke Kairo, Mekkah, Sudan, Istanbul, dan berbagai pusat studi utama dunia Islam.

Islam juga menawarkan ikatan persatuan baru berbasis ukhuwah (persaudaraan) dan ummah (kebangsaan, al-umm berarti dasar ibu; terjemah bahasa Inggris dari ummah termasuk nation, bangsa) yang lebih egaliter dan union menggantikan sistem kasta dan etnosentrisme. Segala transformasi sosial itu berjalan demikian alami tanpa menggerus habis nilai-nilai lokal yang tidak bertentangan dengannya. Dengan begitu, sejak lama Islam telah menjadi jiwa persatuan dan semangat perlawanan bangsa ini yang secara konsisten menjadi oposisi dari penindasan oleh kolonialisme Eropa.

Salah satu contoh nyata peran Islam dalam kebangkitan nasional itu terwujud dalam kiprah Raden Mas Djokomono Tirtoadhisoerjo (1880-1918). Tirto ditetapkan sebagai Bapak Pers Nasional pada 1973 dan sebagai pahlawan nasional melalui Keppres RI No 85/TK/2006. Ia merupakan pelopor pers berbahasa Melayu (proto-Indonesia) yang dikelola dan didanai sepenuhnya oleh pribumi [Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), Poetri Hindia (1908), dan Soeloeh Keadilan ()]. Ia juga pendiri pertama Sarekat Dagang Islamiyah (SDI) di Buitenzorg (Bogor), Batavia, dan lalu bekerja sama dengan H. Samanhudi mengubah laskar Rekso Roemekso menjadi SDI cabang Solo. Pengaruh dan namanya sendiri sengaja dipudarkan dari sejarah oleh pemerintah Belanda, terutama lewat peran Douwe Adolf Rinkes, murid Van Ronkel dan Hazeu yang dipengaruhi pemikiran Snouck Hurgronje. [Bachtiar, 2016 hal 39]

SDI afdeling Solo itu lalu ditransformasi oleh Samanhudi menjadi SDI yang dikenal dalam pelajaran-pelajaran sekolah, sebelum kemudian diubah oleh Tjokroaminoto menjadi Sarekat Islam (SI). Sejumlah tokoh dari beragam latar pendidikan, status sosial, dan ideologi pernah menjadi anggota atau minimal pernah bersentuhan dengan SDI dan SI, mulai dari Agus Salim, Abdoel Moeis, Soekarno, Kartosuwiryo, Semaun, Alimin, hingga Tan Malaka. Keanggotaan SI yang terbuka membuatnya memiliki basis masa yang begitu besar pada masa itu. Namun, hal itu sekaligus menjadi sebab perpecahannya akibat golongan komunis (orang SI yang juga kader Sneevliet di ISDV) keluar dan membajak sejumlah cabang SI yang diubah menjadi Sarekat Rakyat dan di kemudian hari menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia).

Namun, tak dapat dipungkiri bahwa Islam kemudian tidak menjadi satu-satunya cita-cita arus utama dalam proses pembentukan identitas Indonesia. Hal itu dapat dipahami mengingat telah banyak pula umat Islam yang mengalami sekularisasi melalui kebijakan pendidikan Politik Etis itu. Pesantren, Tawalib, surau, madrasah, dan berbagai institusi pendidikan Islam yang lebih dulu ada sebelum sekolah-sekolah Belanda telah lama dianggap musuh oleh pemerintah kolonial dan dijelekkan dengan menyebutnya sebagai terbelakang. Para elite baru yang terbentuk melalui pendidikan Politik Etis itu, sebagian menjadi pemikir sekuler. Pemikiran-pemikiran sekuler yang berkembang masa itu di antaranya sosialisme dan komunisme. Pemikiran liberalisme tidak terlalu meluas, mengingat arus zaman yang sedang menghadapkan para aktivis dengan Belanda yang satu kubu dengan sejumlah negara penganjur liberalisme di Barat. Utamanya seputar Perang Dunia (PD) I dan II. Meski begitu, sejumlah pemikir liberal seperti Snock Hurgronje dan Douwe Rinkes, telah cukup lama mulai menyebarkan pemikirannya di Nusantara.

Selain itu, peradaban Islam pada era itu secara global memanglah tengah berada dalam lembah gelombang. Pasca abad ke-15, saat Konstatinopel diambil alih umat Islam, peradaban ini justru mengalami kemandekan yang secara perlahan membuat mereka semakin tertinggal dan rapuh. Abad ke-16, 17, 18, dan 19 berturut-turut menjadi abad hegemoni Portugis, Belanda, dan Inggris (dua kali); Osman tinggal jadi “old sickman of Europe” yang kemudian benar-benar runtuh pasca PD I. Wilayah-wilayah Islam di Timur Tengah, Asia, dan Afrika Utara banyak yang jatuh ke koloni Eropa. Kejumudan itu tampaknya membuat sebagian umat ini merasa perlu melakukan pembaruan yang tetap mengakar, sementara sebagian lain mencoba mengikuti tren peradaban Barat untuk mencapai “kemajuan”, yaitu sekularisasi. Sebagian menetapi komunisme dan sosialisme sebagai jalan melawan kolonialisme Barat (Portugis, Spanyol, Perancis, Inggris, dan Belanda; lihat tulisan sebelumnya tentang imperium hegemoni sejak abad ke-16 dalam perspektif Gelombang George Modelski). Pemikiran liberalisme juga berkembang walaupun tidak semasif komunisme dan sosialisme.

Namun begitu, pertentangan antar ideologi dan kelompok pergerakan itu relatif belum terlalu tampak pada gelombang ini. Hal itu karena tujuan semua golongan relatif sama, yaitu untuk melepaskan diri dari kolonialisme Belanda. Hubungan antarkelompok Islam dan sosialis relatif baik, seperti dicontohkan oleh sejumlah tokoh asal Minangkabau dan diskusi kritis intelektual dalam buku-buku seperti “Islam dan Sosialisme” tulisan Tjokroaminoto yang mencoba mengadopsi model gerakan ekonomi sosialisme dengan ruh ideologis Islam. Hubungan yang runcing hanya terjadi antara kelompok Pan-Islamis dengan golongan komunis. Pertentangan yang lebih tajam baru akan muncul pada dua gelombang selanjutnya, Gelombang Pra-Indonesia II dan Gelombang I Indonesia, terutama seputar pembahasan tentang dasar negara dan perdebatan-perdebatan di Konstituante dalam proses menjadi Indonesia dan pembentukan identitas politik dan kebangsaan.

1920-1945, Gelombang Pra-Indonesia II: Proses Menjadi Indonesia

Gelombang Pra-Indonesia II merupakan proses menuju Indonesia, yaitu di mana segala warna pergerakan yang ada melalui serangkai proses pemikiran dengan perdebatan yang sengit, menuju suatu konsensus bersama, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang mengantarkan mereka membentuk suatu bangsa dan negara. Konsensus sosial itu pada puncaknya diejawantahkan dalam Sumpah Pemuda, Piagam Jakarta, Pancasila, dan segala hasil pembahasan panitia-panitia yang bekerja mempersiapkan kemerdekaan itu, dari BPUPKI, PPKI, hingga Panitia Sembilan. Konsensus itu, sekali lagi, merupakan hasil dari suatu pergulatan pemikiran yang panjang, dengan tarik-ulur dari berbagai kubu yang berbeda itu, antara yang Islamis dengan sekuler; di dalam kubu Islamis pun ada yang tradisionis dan modernis; di kubu sekuler ada yang sosialis dan komunis; semua memiliki titik pandang yang beragam, bahkan kadang bertentangan, tentang entitas dan konsep baru dalam sejarah bernama Indonesia itu.

Perdebatan dalam sidang Sumpah Pemuda yang diketuai oleh Sugondo Joyopuspito itu, tidaklah sepanas perdebatan dalam perumusan dasar negara, tapi tetap bukan berarti tanpa perdebatan. Namun, segala perbedaan itu dapat diatasi karena kepentingan untuk melepaskan diri dari tatanan lama, yaitu kerajaan dan perjuangan fisik, melanjutkan perjuangan di medan modern, sehingga memerlukan suatu platform bersama. Platform itulah yang kemudian dirumuskan dalam Sumpah Pemuda itu, yaitu bahwa ia memuat suatu identitas baru yang bertalian dalam bangsa, tanah air, dan bahasa Indonesia (yang dipilih akarnya dari bahasa Melayu. Platform itulah yang kemudian coba dikembangkan dalam bentuk legal-formal dalam persiapan-persiapan menjelang kemerdekaan, utamanya melalui pembahasan tentang bentuk dan dasar kenegaraan. Dari situlah kita akan masuk dalam perdebatan dalam perumusan Pancasila. Ini tentu memerlukan suatu ruang tersendiri dan telah pulalah ada dalam tulisan sebelumnya, yang saya beri judul “Konsep Adab dalam Tafsir Pancasila”.

Hal yang penting untuk kita catat ialah, bahwa Pancasila itu dimaksudkan sebagai dasar negara, ideologi negara, atau sumber hukum dari negara, bukan dimaksudkan bagi individu maupun kelompok. Mengapa demikian? Karena dalam riwayat pembentukannya, Pancasila itu disusun guna menjembatani perbedaan-perbedaan ideologis di antara kaum-kaum yang telah disebutkan di atas, antara yang Islamis dengan yang sekuler, yang sosialis dengan yang komunis, yang tradisionis dengan yang modernis, dan lain-lain. Dikarenakan semua perbedaan dan pertentangan yang ada, dalam mewujudkan platform bersama itu, diperlukan suatu titik temu yang dijadikan konsensus bersama dalam penetapan hal-hal yang bersifat kenegaraan dan publik. Maka, Pancasila itu berlaku sebagai ideologi atau dasar dan sumber hukum bagi negara dalam mengatur perkara-perkara yang bersifat publik, seperti kebijakan pembangunan, penataan ekonomi, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan lain-lain. Ia bukanlah dimaksudkan untuk memaksa individu atau kelompok masyarakat untuk bersikap atau bertindak pada sesuatu, yang pada akhirnya menimbulkan pemaksaan keseragaman dalam masyarakat dan upaya menggebuk terhadap mereka yang berpandangan berbeda dari pemerintah.

Bukan berarti bahwa individu atau kelompok masyarakat tersebut bertentangan dengan Pancasila. Karena Pancasila itu merupakan titik kesepakatan atau konsensus dalam kehidupan bernegara antara kelompok-kelompok yang berbeda itu, maka ia merupakan wilayah irisan, sepotong wilayah yang menjadi persamaan di antara kelompok-kelompok yang beragam. Maka, secara otomatis, ia telah beradalah di dalam jiwa masing-masing kelompok itu, hanya saja wilayah keseluruhannya tidak benar-benar sama. Bayangkanlah ia seperti sebuah irisan antara komponen-komponen dalam diagram Venn. Keseluruhan kelompok komponen itu tidak mesti seratus persen sama, hanya saja wajib terdapat suatu irisan dalam menjalankan urusan-urusan yang telah disepakati. Warna sisanya diserahkan kepada kecenderungan ideologis masing-masing. Dengan begitu, Pancasila itu merupakan ideologi negara, bukan ideologi yang dipaksakan kepada individu atau kelompok, tapi ia telahlah hidup dalam jiwa masyarakat itu dengan sendirinya.

Dengan demikian, sebagaimana pula telah saya bahas dalam tulisan “Konsep Adab dalam Tafsir Pancasila itu”, ia tidaklah boleh dilembagakan atau diformalkan atau dihegemoni tafsirnya oleh satu pihak saja, karena ia merupakan milik berbagai elemen yang berbeda. Ia bukanlah alat penyeragaman, melainkan wadah yang menjembatani perbedaan dan pertentangan. Oleh karena itu, tabiat penguasa yang kerap ingin menyamaratakan, menghegemoni tafsir, dan memukul mereka yang berbeda dengan Pancasila, merupakan suatu gejala demokrasi yang tidak sehat. Orde Lama melakukannya dengan memaksakan Pancasila sebagai Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis); meleburkan secara paksa tiga kelompok yang jelas-jelas berbeda, dengan hasil yang sudah tentu tidak akan baik; kediktatoran Sukarno, G30S/PKI, dan peristiwa-peristiwa berdarah; mereka memukul kelompok modernis Islam (Masyumi, Persis, Muhammadiyah, juga sebagian kaum tradisionis yang menolak Nasakom) dan kelompok Sosialis-Demokrat (Partai Sosialis Indonesia). Orde Baru melakukannya dengan memaksakan apa yang disebutnya sebagai “demokrasi Pancasila”, dengan tafsir tunggal yang didoktrinkan lewat Penataran P4, dengan berbasis kepada suatu konsep “Asas Tunggal Pancasila”, yang memukul kelompok modernis Islam (Masyumi, dll yang disebut ekstrem kanan) dan kelompok kiri (disebut ekstrem kiri), juga semua golongan yang menentang kediktatoran Suharto.

Segala pergulatan pemikiran yang terjadi menjelang kemerdekaan memang berlanjut selepas kemerdekaan dalam sidang-sidang Konstituante. Memanglah pasca disepakatinya ia dalam perumusan Piagam Jakarta oleh Panitia Sembilan itu, masih terdapat ketidakpuasan dari sejumlah kelompok. Ujungnya, ada kelompok yang mengancam akan keluar dari Indonesia jika tujuh kata dalam sila pertama Pancasila tidak dihapus. Tentu pula mereka yang menginginkan tujuh kata itu tetap di sana tidak diterima bila tujuh kata itu dihapuskan begitu saja. Maka, diambillah jalan tengah dengan mengubah keredaksian tujuh kata itu dalam suatu frasa yang tidak harfiah tapi mengandung substansi yang sama, yaitu substansi tauhid, sebagaimana saya bahas dalam tulisan tentang “Konsep Adab dalam Tafsir Pancasila” itu. Kesepakatan itu cepat saja diambil karena Belanda sudah datang lagi. Meski begitu, terdapat janji bahwa masalah ini akan di bahas dalam sidang yang lebih layak durasinya sehingga perdebatannya akan dilanjutkan dalam sidang-sidang Konstituante.

Namun, bukan berarti debat berkepanjangan itu tidak baik. Memang kelompok-kelompok yang ada benar-benar memiliki perbedaan yang jauh. Untuk itu, dalam memastikan segenap pemikiran yang berbeda itu diakomodasi dengan cukup, diperlukanlah memang durasi sidang yang layak, bukan sekadar keputusan cepat darurat karena diburu-burui oleh kedatangan Belanda. Maka, sidang Konstituante itulah tempat yang layak untuk membahasnya. Sidangnya menjadi demikian panjang memang sudah seharusnya karena masalah ini ialah masalah yang mendasar, yang esensial dalam hidup berbangsa dan bernegara itu. Demikian pula sidang-sidang panjang itu sebenarnya tidak gagal. Para pihak yang terlibat demikian dekat dengan hadirnya keputusan yang memuaskan semuanya. Namun, apa yang terjadi ialah pikiran Presiden saat itu tak lagi sabar menunggu hasil sidang-sidang itu. Ia ingin terlibat lebih jauh (zaman itu Perdana Menteri yang mengurusi masalah pemerintahan) dan cepat-cepat ingin melaksanakan idenya sendiri tentang persatuan, yang ia beri nama Nasakom itu. Belum lagi Rancangan Undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) baru-baru ini yang kembali menafsirkan Pancasila sebagai Trisila dan Ekasila. Itu ialah pembahasan gelombang-gelombang berikutnya.

Satu hal yang pasti ialah, pada gelombang ini, kita telah sepakat untuk membentuk suatu platform berbangsa dan bernegara yang berdasarkan pada kesatuan bangsa, tanah air, dan bahasa Indonesia, serta berlandaskan pada Pancasila sebagai dasar negara, ideologi negara (bukan ideologi tunggal individu atau asas tunggal organisasi), dan sumber hukum atau perundang-undangan negara (artinya peraturan yang dikeluarkan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Pancasila). Pancasila itu tidak boleh dipaksakan kepada warga masyarakat untuk dijadikan asas tunggal dalam kehidupan, yaitu sebagai suatu ideologi yang tertutup melalui suatu pelembagaan dan penafsiran tunggal oleh pemerintah, seperti saat Nasakom Orla, Asas Tunggal Pancasila dan P4 Orba, serta RUU HIP. Biarlah Pancasila itu menjadi falsafah yang hidup dan berkembang dalam jiwa masyarakat sesuai warna mereka masing-masing. Biarlah pula ia tidak menjadi asas tunggal bagi masyarakat, sebagaimana aslinya ia ialah konsensus atau titik temu perbedaan antara golongan-golongan yang berbeda. Hal itu karena Pancasila itu sendiri tercakup dalam nilai-nilai Islam; sebagian dirinya juga tercakup dalam paham sosialisme-demokrat; dan mungkin juga ada sedikit darinya yang beririsan dengan paham liberal.

Selain itu, kita tidak boleh melihat Pancasila secara terpisah dari konteks sejarah pembentukannya, termasuk dalam perdebatan seputar tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang terjadi pada gelombang ini. Kita mesti menggarisbawahi bahwa Piagam Jakarta itu bukan milik umat Islam semata, tapi ia telah disepakati oleh berbagai pihak yang turut menjadi anggota Panitia Sembilan, termasuk golongan sekuler dan non-Muslim, seperti Sukarno, Hatta, dan Alexander Andries Maramis. Hanya saja, pengubahan tujuh kata itu menjadi frasa “Yang Maha Esa” terjadi pasca diterimanya ancaman memisahkan diri dari “orang-orang Indonesia Timur” oleh Hatta yang disampaikan lewat “seorang serdadu Jepang”. Sebenarnya, di sini kita mendapati adanya suatu ketidakjelasan dan penyimpangan atas kesepakatan dengan memanfaatkan momen-momen genting kembalinya Belanda ke Indonesia. Namun, biarlah kita bermurah-hati menerimanya; toh juga, frasa “Yang Maha Esa” itu sejatinya merupakan usulan dari Ki Bagus Hadikusumo, pimpinan Muhammadiyah waktu itu, guna menjembatani perbedaan tajam antara dirinya dengan Sukarno dalam menyikapi perubahan itu, utamanya lewat mediasi Kasman Singodimejo. Penambahan itu ialah dimaksudkan untuk menggantikan makna substansial tujuh kata itu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”; yang sejatinya bukanlah suatu intoleransi karena hanya berlaku bagi umat Islam saja; mengingat konsep tauhid atau monoteisme murni yang dituangkan di sana.

Maka, agar perdebatan itu tidak semakin berlarut, kita menerima sajalah usulan Ki Bagus itu, begitu pula yang dilakukan oleh Raden Mas Abikoesno Tjokrosoejoso dan Abdul Kahar Muzakkir selaku perwakilan kaum modernis serta Abdul Wahid Hasyim selaku perwakilan kaum tradisionis. Kita telah sepakatlah dalam platform itu, yaitu, khusus bagi kita, memahami sila hasil pengubahan yang kemudian disepakati lagi pada 18 Agustus itu – yang seharusnya jadi hari lahir resmi Pancasila bukan 1 Juni yang merupakan usulan Sukarno saja bukan kesepakatan seluruh anggota panitia – dalam konsep tauhid, sebagaimana pula telah saya jabarkan dalam tulisan tentang “Konsep Adab dalam Tafsir Pancasila”. Kita telahlah merasa cukup puas dengan hasil dari platform itu, yaitu kita mestilah tetap “berpikir dalam spektrum peradaban, tetapi bekerja dalam skala platform”. Kita terimalah ia sebagai suatu bagian dari “darul ahdi wasy-syahaadah”, sebagai suatu mufakat dari musyawarah dan pergulatan pemikiran yang panjang. Namun demikian, semestinya tidaklah perlu ada lagi upaya dari pihak berkuasa untuk memberikan penafsiran tunggal dari Pancasila itu, lebih-lebih dalam ranah yang sekuler. Karena hal yang demikian itu, dapatlah merusak riwayat perumusannya yang berkaitan dengan ajaran Islam maupun pergulatan pemikiran yang panjang antar berbagai pihak yang beragam. Biarlah ia menjadi ideologi, dasar, dan sumber hukum bagi negara; bukan sebagai asas tunggal atau ideologi tunggal yang dipaksakan pada individu atau organisasi. Biarlah ia menjadi ideologi yang terbuka, yakni suatu falsafah yang hidup di tengah masyarakat.

Dengan itu pula, telah sampailah kita pada akhir ulasan ringkas tentang gelombang ini, di mana dua peristiwa paling penting di dalamnya terjadi seputar Sumpah Pemuda dan perbedaan serta kesepakatan dalam perumusan Pancasila, yaitu pada 28 Oktober dan 18 Agustus itu. Marilah kita beranjak pada gelombang berikutnya.

1945-1965, Gelombang I Indonesia: Pembentukan Identitas Politik dan Kebangsaan

Gelombang ini merupakan gelombang pertama setelah Indonesia merdeka; ditandai dengan kembalinya Belanda, revolusi fisik, pemerintahan federal dalam Republik Indonesia Serikat (RIS), demokrasi parlementer yang cenderung liberal, perdebatan sengit di konstituante, jatuh bangunnya kabinet, Mosi Integral gagasan Natsir yang mengembalikan negara federal menjadi negara kesatuan, hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan dimulainya fase Demokrasi Terpimpin yang berdasarkan Nasakom dan Manipol-USDEK.

Awalnya, Indonesia berada dalam sebuah era demokrasi parlementer di mana kuasa pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Pembahasan tentang dasar negara serta berbagai hal penting lain seperti perumusan batang tubuh UUD (Undang-undang Dasar) dilanjutkan melalui sidang-sidang di Konstituante. Selain itu, akibat sejumlah upaya militer dan perundingan yang dilakukan Belanda, wilayah Indonesia mesti terpecah-pecah dalam negara-negara bagian, dengan negara berbentuk republik federal. Republik kembali menjadi negara kesatuan setelah diusulkannya Mosi Integral pada sidang parlemen 3 April 1950 yang utamanya dipelopori oleh Mohammad Natsir, aktivis Masyumi kala itu, yang kembali menegaskan peran golongan Islam, terutama kaum modernis dalam penjagaan kesatuan Indonesia. [Natsir dalam Capita Selecta hal 6]

“Berhubung dengan ini, saya ingin memajukan satu mosi kepada Pemerintah yang bunyinya demikian:

Dewan Perwakilan Rakyat Sementara RIS dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penyelesaian yang integral dan program-a-tis terhadap akibat -akibat perkembangan politik yang sangat cepat jalannya pada waktu yang akhir-akhir ini.

Memperhatikan:

Suara rakyat dari berbagai daerah, dan mosi-mosi Dewan Perwakilan Rakyat sebagai saluran dari suara-suara rakyat itu, untuk melebur daerah-daerah buatan Belanda dan menggabungkannya ke dalam Republik Indonesia.

Kompak untuk menampung segala akibat-akibat yang tumbuh karenanya dan persiapan-persiapan yang untuk itu harus diatur begitu rupa dan menjadi program politik dari Pemerintah yang bersangkutan dan dari Pemerintah RIS.

Politik peleburan dan penggabungan itu membawa pengaruh besar tentang jalannya politik umum di dalam negeri dan pemerintahan di seluruh Indonesia.

Memutuskan:

Menganjurkan kepada Pemerintah supaya mengambil inisiatif untuk mencari penyelesaian atau sekurang-kurangnya menyusun suatu konsepsi penyelesaian bagi soal-soal yang hangat yang tumbuh sebagai akibat perkembangan politik di waktu yang akhir-akhir ini dengan cara integral dan program yang tertentu.”

Demikianlah Natsir, sebagai anak kandung falsafah hidup Islam itu di tanah air kita, menjadi seorang pemersatu menurut Mosi Integral yang ia ajukan.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah titik awal perubahan politik dari era yang disebut-sebut sebagai era Demokrasi Liberal menuju era baru dengan aksentualisasi politik yang benar-benar berbeda dari masa sebelumnya, yaitu era Demokrasi Terpimpin. Pada masa-masa berikutnya, sebelum kekuasaan Soekarno digulingkan tahun 1966 dan digantikan oleh penguasa baru, Soeharto, era ini di sebut sebagai Orde Lama. Sementara kekuasaan baru di bawah Soeharto disebut sebagai Orde Baru. [Bachtiar, 2016 hal: 50] Kebijakan-kebijakan politik Orde Lama yang kemudian dilanjutkan dengan kebijakan-kebijakan politik Orde Baru memberikan warna yang begitu kental bagi suatu sistem pemerintahan yang sangat berpusat pada kekuasaan pusat, meskipun keduanya memiliki warna yang berbeda, Orde Lama cenderung kiri, Orde Baru condong ke Barat. Model “demokrasi yang terpusat” itu kemudian melahirkan suatu negara yang berdasarkan atas kekuasaan (Machstaat) dengan kecenderungan pemimpin tiran, sehingga tumbuh dalam suasana yang semakin menguatkan kembali feodalisme lama meski dalam bingkai “institusi demokrasi” yang modern, dengan mentalitas “asal bapak senang”.

Munculnya Dekrit tersebut sebetulnya didahului oleh ide-ide Soekarno setelah tahun 1955 yang melihat betapa ruwetnya situasi politik Indonesia. Keruwetan itu disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama, tidak ada pemenang mutlak sehingga tidak memungkinkan adanya suatu kekuatan dominan untuk menyelenggarakan pemerintahan maupun memutuskan perkara. Untuk kedua hal itu harus ada perimbangan kekuatan dan kompromi. Jika itu tidak terjadi, akan terjadi kebuntuan politik. Kebuntuan politik sempat benar-benar terjadi dalam sidang-sidang konstituante, yaitu pada akhir-akhir pembicaraan tentang dasar negara. Kelompok Islam yang dimotori Masyumi (modernis) dan NU (tradisionis) bersikukuh mempertahankan Pancasila berdasarkan Piagam Jakarta, yang memuat sila pertama “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, sebagai dasar negara. Sementara kelompok lain, sosialis, komunis, dan liberalis mempertahankan Pancasila tanpa tujuh kata sebagai asas negara. [Bachtiar, 2016 hal: 50]

Kedua, tidak adanya kekuatan mayoritas, memberikan peluang kepada Soekarno, yang saat itu hanya sebagai Presiden simbolik dalam sistem Demokrasi Parlementer, untuk turut campur tangan dalam masalah-masalah pemerintahan. Pada mulanya, kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI) yang dibentuk 20 Maret 1956 berjalan baik dan mendapatkan dukungan dari partai besar lain, yaitu Masyumi dan PNI, minus PKI (Partai Komunis Indonesia). Koalisi kabinet ini ternyata penuh dengan konflik sehingga pemerintahan tidak berjalan baik. Koalisi yang menafikan PKI itu juga yang menjadi sasaran tembak Soekarno yang mulai dekat dengan PKI. Keadaan semakin tidak menentu. Sistem politik dan pembangunan ekonomi sampai pada titik kegagalan. Sistem politik yang rapuh itu melahirkan kekuasaan yang sangat tidak stabil dan mudah digulingkan. Hal itu bisa dilihat dari mudahnya terjadi pergantian perdana menteri. Ujung-ujungnya, norma-norma birokrasi menjadi sangat lemah sehingga membuka peluang terjadinya korupsi. Kebuntuan ekonomi terlihat dari kegagalan rencana-rencana pembangunan ekonomi yang dirancang oleh pemerintah. Kegagalan itu dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, baik sipil maupun militer. Dalam situasi ini, Soekarno mulai menyampaikan ide-ide menolak sistem liberal yang ia anggap telah buntu. Ide itu yang nantinya menjadi konsepsi Demokrasi Terpimpin, pertama kali ia sampaikan dalam pembukaan Sidang Konstituante tanggal 10 November 1956. [Bachtiar, 2016 hal: 50-51]

Situasi tidak menentu itu ditambah semakin dekatnya Soekarno dengan kubu komunis, turut memunculkan pergolakan PRRI/Permesta antara tahun 1957-1958 di berbagai daerah. Pergolakan yang pada intinya ingin menggalang kekuatan dari berbagai elemen bangsa menolak masuknya komunisme dan mendesak pemerintah untuk lebih serius membangun bangsa ini pada akhirnya memang dapat dilumpuhkan tahun 1958. Namun, setelah itu Soekarno justru semakin percaya diri dengan keputusannya. Terlebih setelah ia melihat berlarutnya Majelis Konstituante dalam merumuskan UUD. Akhirnya, 5 Juli 1959 Soekarno benar-benar mengumumkan Dekrit yang berisi pembubaran Konstituante dan UUD negara kembali ke UUD 1945. Inilah kemudian yang mengawali periode Demokrasi Terpimpin yang pada hakikatnya merupakan bentuk lain dari karakter otoriter dalam pemerintahan Soekarno yang dibungkus dengan baju demokrasi. Melalui kebijakan Demokrasi Terpimpin, Soekarno menggilas seluruh lawan politiknya atau kelompok yang tidak setuju dengan ide-ide Manipol-USDEK dan penggabungan semua kelompok politik dalam Nasakom. Soekarno pada tahun 1960 Soekarno mengumumkan agar semua partai politik mengubah anggaran dasar dan dengan jelas menyatakan penerimaan dan pembelaan terhadap Pancasila yang ditafsirkan menurut Nasakom. Ia memerintahkan Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) bubar karena menolak Nasakom. Selain itu, antara tahun 1962-65 banyak aktivis Masyumi dan PSI ditahan dengan alasan menentang kebijakan politik Soekarno. Pada saat yang sama, PKI yang sebelumnya tidak memiliki posisi dalam kabinet akibat penentangan dari kelompok-kelompok lain, mendapatkan posisi yang sangat istimewa dalam kabinet Soekarno. Aidit dan Lukman diangkat menjadi menteri tanpa portofolio dalam Kabinet Karya yang dipimpin langsung oleh Soekarno sebagai perdana menteri. Sementara itu, kalangan agamawan yang mendukung kekuasaan ini ialah NU (Nahdlatul Ulama). Kebijakan ini sejalan dengan digariskannya prinsip Nasakom, di mana nasionalisnya PNI, agamanya NU, komunisnya PKI. [Bachtiar, 2016 hal: 51-53]

Kesalahan besar yang dilakukan oleh Soekarno yang mengantarkannya ke jurang kehancuran kekuasaan adalah ketidakmampuannya mengendalikan tentara dan mengatasi situasi ekonomi yang semakin carut-marut. Krisis ekonomi terjadi akibat ketidakcakapan pengelolaan ekonomi dan korupsi yang sangat akut dalam pemerintahan Soekarno. Tentara tidak memberikan simpati penuh kepada Soekarno karena keberpihakannya pada PKI. Sejak peristiwa pemberontakan Madiun 1948, tentara, terutama Angkatan Darat (AD), mengambil jarak dengan PKI dan menganggapnya sebagai musuh yang harus dibasmi. Upaya-upaya tentara yang dipimpin Abdul Haris Nasution sebagai Panglima Angkatan Darat untuk menumpas PKI sejak semester kedua 1960 bahkan dihalang-halangi secara langsung oleh Soekarno. Soekarno mendesak Nasution untuk membebaskan tawanan-tawanan PKI, Pada masa-masa berikutnya pun semangat anti-PKI dari tentara (AD) tetap terlihat. PKI pun memperlihatkan ketidaksenangan yang sama, tetapi tetap berusaha menyusup untuk menguasai tentara dari seluruh angkatan, termasuk AD. Puncak perseteruan AD dan PKI terjadi pada peristiwa pembantaian Dewan Jenderal pada tanggal 30 September 1965 oleh tentara-tentara pro-PKI yang sebagian besar tergabung dalam pasukan pengawal Presiden, Cakrabirawa. Peristiwa inilah yang menjadi pemicu hancurnya kekuasaan Soekarno sekaligus menjadi salah satu momentum perubahan di akhir-akhir gelombang ini. [Bachtiar, 2016 hal: 54]

Jika disimpulkan, gelombang ini merupakan suatu fase di mana identitas politik dan kebangsaan menjadi panglima. Berbagai komponen dasarnya, dari Pancasila hingga UUD, diperdebatkan dan dirumuskan melalui pergulatan pemikiran yang panjang dalam sidang-sidang Konstituante. Ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat negara baru saja lahir, sehingga menghasilkan suatu bentuk yang firm merupakan hal paling esensial sebelum berbicara soal hal-hal lain seperti kesejahteraan dan pembangunan. Namun, salah satu akibatnya ialah soal kesejahteraan menjadi tidak terlalu tergarap dengan baik. Memang terdapat pembangunan sejumlah megaproyek, tapi sebagian diwujudkan sebagai suatu show up dari penguasa belaka di kala ekonomi sedang kembang kempis, seperti pembangunan Monas (Monumen Nasional), stadion utama, dan berbagai proyek Mercusuar yang tidak terlalu terkait langsung dengan perut rakyat, meski tentu sebagiannya masih dapat kita gunakan saat ini. Identitas politik pun merasakan suatu kebebasan yang sangat besar mengingat dalam pergulatan itu, semua ragam pemikiran diizinkan muncul dan berdebat di ruang publik.

Secara sederhana, kita dapat menyebutnya sebagai zaman yang memiliki demokrasi dan kebebasan, tapi minim kemakmuran. Namun, kebebasan dan demokrasi yang dinikmati itu tak berlangsung selama gelombang ini karena penguasa mengambil kesimpulan bahwa kestabilan mesti ditegakkan melalui pemerintahan yang terpusat, Demokrasi Terpimpin, yang menafsirkan negara dan Pancasila secara tunggal sesuai pikirannya sendiri, serta menuding semua yang tidak sepakat dengannya sebagai anti Pancasila atau anti UUD. Dari sinilah kita melihat gejala otoriter penguasa di Indonesia ini sering kali bertalian dengan godaan untuk menghegemoni pemaknaan atas Pancasila dan menggunakannya untuk memukul lawan-lawan yang tidak setuju dengannya, suatu penyimpangan yang kemudian juga kita dapati dalam masa Orde Baru dan gejalanya timbul pula di zaman kita. Tafsir tunggal Pancasila itu terutama dilakukan penguasa dengan menyeretnya ke arah yang sekuler, kali ini, ke arah kiri (Nasakom dan Manipol-USDEK).

1965-1998, Gelombang II Indonesia: Pembangunan Ekonomi sebagai Panglima

Gelombang ini merupakan fase yang terjadi selama Orde Baru, yang berorientasi pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan dasar dengan mengorbankan kebebasan dan demokrasi. Rezim yang dipimpin oleh Soeharto ini naik ke tampuk kekuasaan setelah runtuhnya Orde Lama akibat krisis ekonomi dan peristiwa-peristiwa yang menjadi buntut pembunuhan Dewan Jendral. Tampaknya, tesis yang disimpulkan oleh pemerintahan Orde Lama di akhir-akhir masa kekuasaannya soal stabilitas politik kembali digunakan oleh rezim Orde Baru, hanya saja dengan bentuk yang lebih canggih dan efektif, terlebih karena ditopang oleh tentara dalam bingkai Dwifungsi ABRI. Penguasa orde ini meningkatkan tesis tentang stabilitas politik itu dalam bentuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan dasar sehingga membuat masyarakat di awal-awalnya tidak banyak memberikan suara perlawanan, layaknya “burung yang kenyang dalam sangkar”. Pergeseran kepada ekonomi dan pembangunan sebagai panglima itu tercermin dalam Trilogi pembangunan yang dirumuskan rezim ini, yaitu stabilitas ekonomi yang dinamis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya.

Memang, keberhasilan pembangunan yang dilakukan rezim ini awalnya menghasilkan simpati publik, terutama terkait dengan stabilisasi kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat seperti pangan. Berbagai fasilitas publik seperti jalan raya, sekolah di pedalaman, hingga pelbagai proyek pembangunan yang padat karya direncanakan secara rapi melalui serangkaian rencana pembangunan lima tahunan. Keberhasilan pembangunan ekonomi itu terutama dipandang akibat pergeseran politik rezim ke kubu Barat, setelah sebelumnya berada di kubu Soviet atau Peking di era Orde Lama. Investasi dan bantuan asing mengalir masuk. Modernisasi teknologi terjadi di segala bidang, termasuk di bidang pertanian. Teknologi tinggi seperti mobil Kijang dan pesawat IPTN pun berhasil dibangun pada masa rezim ini. Jalannya itu semua tak lepas dari para pemikir ekonomi istana yang digawangi oleh para “mafia Berkeley”, terutama berlandaskan pemikiran ekonomi pembangunan Widjojo Nitisastro.

Selain itu, dukungan rakyat terhadap rezim ini di masa-masa awalnya tak terlepas dari warna awal yang terkesan demokratis. Orde Baru cenderung melonggarkan politik di sekitar lima tahun pertama mereka berkuasa, hanya golongan komunislah yang secara tajam dimusuhi. Golongan sosial-demokrat dan Islamis yang sebelumnya menjadi korban politik belah bambu penguasa Orde Lama mendapatkan nafas lega, sehingga cenderung mendukung rezim ini di awalnya. Bahkan, Natsir dan Isa Anshary yang dipenjara Soekarno turut dibebaskan dan membantu Soeharto meyakinkan Jepang untuk berinvestasi di Indonesia. Namun, kebebasan yang dilonggarkan rezim ini tidak berlangsung selamanya. Terutama pasca pemilu 1970, saat kendali politik sudah secara efektif dipegang oleh penguasa, watak otoriter rezim ini mulai muncul. Watak itu dibangun dengan melakukan penyederhanaan partai politik dan pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila dengan melarang partai-partai menganut asas perjuangan lain, serta melakukan penafsiran tunggal atas Pancasila, hal yang juga dilakukan oleh rezim Soekarno.

Pancasila itu lagi-lagi diseret ke arah yang sekuler, hanya saja sekarang ke arah liberalisme Barat. Depolitisasi dan sekularisasi umat Islam sudah bermula sejak zaman Orde Lama, tapi hanya dilakukan pada kelompok-kelompok yang menolak Nasakom, tegasnya terhadap kelompok yang konsisten mendukung Masyumi. Umat Islam yang menerima Nasakom, seperti NU, HMI, dan PSII, tetap diakomodasi dalam kekuasaan, Ketika rezim Orde Lama runtuh berganti dengan rezim Soeharto, ternyata proses sekularisasi dan depolitisasi umat Islam malah semakin meluas. Hal ini ditandai dengan condongnya kekuasaan Orde Baru pada kelompok Islam Liberal, dalam menyusun kebijakan-kebijakan keagamaan, termasuk pergeseran kurikulum STAIN, IAIN, UIN, dan sejenisnya dari kurikulum al-Azhar yang cenderung tradisionalis kepada model studi ala McGill University, yang akan diulang ringkas kemudian.

Kekuasaan Orde Baru diraih oleh Soeharto melalui satu proses yang hampir mirip dengan sebuah kudeta, sekalipun kelihatannya tidak demikian. Drama peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru dipicu oleh apa yang dikenal sebagai “Gerakan 30 September”. Kemudian yang berujung pada munculnya “Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)” yang akhirnya mengantarkan Soeharto ke singgasana kekuasaan Indonesia melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (SU-MPRS) tanggal 12 Maret 1967. Naiknya Soeharto tidak lepas dari dukungan tentara, terutama AD, yang sangat dikecewakan oleh kebijakan Soekarno yang terlampau berpihak pada PKI, yang menjadi musuh AD sejak pemberontakan Madiun 1948. Penculikan dan penganiayaan terhadap para perwira tinggi AD yang dituduh sebagai “Dewan Jenderal”, yang akan melakukan kup terhadap Soekarno, oleh PKI; terjadinya serangkaian kerusuhan yang mengiringi peristiwa itu, terutama gerakan anti-PKI dari kelompok mahasiswa, pelajar, dan kelompok-kelompok Islam; memberi legitimasi kepada tentara untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno. Dalam hal ini, Soeharto-lah yang ditunjuk menjadi panglima Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Sebelumnya Soeharto adalah panglima Koti (Komando Cadangan Strategis) AD. Supersemar yang diakui oleh Soeharto sebagai mandat resmi dari Soekarno kepada dirinya semakin mengukuhkan posisi Soeharto. [Bachtiar, 2016 hal: 65]

Langkah-langkah yang dilakukan Soeharto mengundang simpati kelompok-kelompok yang selama ini dimusuhi dan disingkirkan Soekarno, seperti Masyumi dan PSI. Simpati diperoleh karena Soeharto bersama tentara dengan tegas melakukan langkah pembersihan terhadap PKI. Oleh sebab itu, dengan sepenuh hati mereka mendukung langkah-langkah Soeharto, termasuk saat ia naik menjadi PLT. Presiden RI menggantikan Soekarno tahun 1967. Tentara pun mendukung segala protes anti-PKI yang dilakukan oleh berbagai kalangan. Bahkan berbagai kelompok mahasiswa anti-PKI disokong oleh tentara untuk turun ke jalan-jalan berdemonstrasi meneriakkan protes mereka kepada pemerintahan Soekarno dan PKI. Muncullah kesatuan-kesatuan aksi seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang dimotori oleh organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Persekutuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan eks Partai Sosialis Indonesia (PSI). Muncul juga Kesatuan Aksi Pelajar Pemuda Indonesia (KAPPI) dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) yang keduanya dimotori oleh para simpatisan Masyumi dan PSI. Kelompok ini menamakan diri mereka sebagai “Angkatan 66”. [Bachtiar, 2017 hal: 23]

Kelompok-kelompok Islam seperti Masyumi pada mulanya merasa akan kembali dapat berperan di bawah kepemimpinan Soeharto seperti pada zaman-zaman sebelumnya. Ternyata dugaan mereka meleset sama sekali. Soeharto hanya berkepentingan menyingkirkan PKI dari panggung politik Indonesia. Kekuatan-kekuatan massa anti-PKI adalah sumber legitimasi kuat untuk mengeksekusi keinginannya itu. Akan tetapi, pada saat yang sama, Soeharto pun merasa tidak aman terhadap kelompok-kelompok Islam dan kelompok sosial-demokrat. Rupanya Soeharto ingin menerapkan strategi rust and order. Strategi ini ia terapkan dengan mengadu dan memecah satu kelompok dengan kelompok lain, lalu ia kuasai. Ia menggunakan tangan-tangan mahasiswa dan kelompok Islam untuk menghabisi PKI, tapi setelahnya ia berbalik memusuhi kelompok Islam, khususnya mantan anggota Masyumi. Menurut penilaiannya, mantan pemimpin Masyumi sangat potensial mengancam kekuasaannya karena sikap mereka yang sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah sejak era Soekarno. Karena itu, sekalipun di masa awalnya kelompok Masyumi mendukung Soeharto, keinginan rehabilitasi organisasi mereka dihalangi olehnya, sekalipun dipimpin oleh Moh. Roem yang “bersih dari catatan tindakan pemberontakan”. Demikian juga mantan anggota PSI yang tidak mau bersikap lunak terhadap pemerintahannya. Mereka, terutama para pimpinan intelektualnya, mendapatkan pengawasan yang cukup ketat. [Bachtiar, 2017 hal 23-24]

Bukan hanya tidak merehabilitasi Masyumi, peran NU yang pada masa sebelumnya masih bisa mewakili kelompok Islam di pentas politik, pada masa Soeharto dibatasi gerakannya dan tidak seleluasa masa Soekarno. Keberadaannya ditekan agar tidak membahayakan kekuasaan Soeharto. Begitu pula terhadap PNI dan unsur-unsur pendukung Orde Lama lainnya. Namun demikian, tekanan terhadap NU tidak sekeras terhadap para pemimpin Masyumi. NU masih dianggap dapat berkompromi dan tidak terlalu berbahaya. Kebijakan peminggiran politik para aktivis Muslim adan aktivis masa lalu yang berbasis ideologis, seperti PKI, PSI, dan bahkan PNI, merupakan upaya Soeharto untuk menjawab tantangan yang harus ia hadapi, yaitu memperbaiki institusi-institusi politik, menegakkan kembali kewibawaan pemerintah, memulihkan ekonomi, dan menyejahterakan rakyat. Soeharto tidak ingin lagi terjadi pertentangan ideologi seperti pada masa-masa sebelumnya yang ternyata malah membawa bangsa pada situasi yang sangat tidak menguntungkan. Untuk itu, dibutuhkan upaya-upaya membangun stabilitas politik dan keamanan serta pemulihan ekonomi negara. Untuk merealisasikan keinginannya, ia dikelilingi oleh tentara dan teknokrat. Tentara digunakan sebagai kekuatan untuk pemulihan keamanan nasional, sedangkan teknokrat digunakan untuk mewujudkan target ekonomi pemerintah Orde Baru. Untuk memperkuat posisi politiknya, Soeharto memilih Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang telah dibentuk tentara di tahun 1964 untuk mewadahi kaum profesional; juga sebagai partai politik pemerintah yang menjadi kendaraan utama Soeharto memuluskan agenda-agenda politiknya. [Bachtiar, 2017 hal: 24-26]

Secara umum, pada periode pertama Orde Baru antara tahun 1967-1976, sikap Soeharto terhadap umat Islam tidak terlalu positif. Selain terlihat dari usaha-usahanya memperlemah kekuatan-kekuatan Islam, baik dari sayap modernis maupun tradisionalis. Kecurigaan Soharto terhadap kelompok Islam juga diperlihatkan dengan tidak melibatkan para pemimpin Muslim berpengaruh dalam lingkaran kekuasaannya. Soeharto cenderung lebih dekat dengan pemimpin-pemimpin dan teknokrat-teknokrat Kristen. Kalaupun ada Muslim yang direkrut, mereka secara pemikiran dianggap “sekuler” dan merela umumnya mewakili kelompok lingkaran Soeharto atau teknokrat-teknokrat mantan aktivis PSI seperti Sumitro Djojohadikusumo. Kebijakan itu selain memperuncing hubungan Islam-Kristen, juga menebar benih kebencian dan kecurigaan kelompok-kelompok gerakan Islam terhadap pemerintah Orba. Sejak paruh kedua tahun 1970, Soeharto mendekati umat Islam, tapi bukan dalam konteks politik. Melalui Departemen Agama, Soeharto mulai terlihat memberikan dukungan terhadap proyek-proyek non-politis umat Islam seperti mendirikan masjid, pembangunan madrasah, dan kegiatan-kegiatan hari besar Islam. Untuk tujuan itu, ia membentuk Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (YABMP). Soeharto juga membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi umat Islam sehingga tingkat pendidikan umat Islam pada masa ini naik. Dalam hal ini, Soeharto tampaknya meniru kebijakan yang diajarkan Snouck Hurgronje, yaitu mendukung kegiatan Islam hanya sebatas ritual keagamaan, membatasinya secara politik, hukum, dan ekonomi. [Bachtiar, 2017: hal 26-27]

Dengan begitu, praktis Soeharto tampil menjadi penguasa tunggal rezim Orde Baru. Aktivis-aktivis anti-Soeharto sama sekali tidak diberi ruang sehingga kebanyakan mereka bergerak di bawah tanah. Mantan aktivis Masyumi pun mengalihkan seluruh sumber daya mereka ke dalam bidang dakwah saja, tidak lagi mengurusi masalah hukum dan politik praktis; bahkan ekonomi pun tidak terlalu, hanya di level menengah-bawah, mengingat kebijakan konglomerasi ekonomi yang kencang bergulir di era ini, di mana banyak konglomerat juga merupakan lingkaran yang mendukung kekuasaan. Untuk semakin melumpuhkan lawan-lawannya, melalui Undang-undang No. 3 Tahun 1985, pemerintah mengharuskan seluruh partai dan ormas mengganti asas organisasinya HANYA dengan Pancasila, tidak boleh dibarengi dengan asas lain. Kebijakan ini dikenal dengan sebutan Asas Tunggal.

Kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam menelan banyak korban; tidak hanya korban pemasungan hak-hak politik, tetapi juga korban jiwa. Peristiwa paling melukai hubungan Orde Baru dengan umat Islam dan paling banyak memakan korban ialah Peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa Tanjung Priok terjadi dua tanggal 12 September 1984. Peristiwa ini dipicu oleh protes umat Islam yang mengecam tindakan aparat (ABRI) yang sewenang-wenang masuk ke Masjid as-SaÊ¿adah tanpa melepas sepatu dan dengan sengaja menghapus pengumuman pengajian dengan lumpur. Karena peristiwa itu, massa umat Islam berdemonstrasi mengumandangkan slogan anti-pemerintah dan anti-cukong, menolak Asas Tunggal, menuduh ABRI telah mengotori masjid, dan memekikkan takbir. ABRI, yang saat itu dipimpin oleh Leonardus Beny Moerdani, menurunkan pasukan bersenjata menembaki umat Islam  yang tidak bersenjata. Dalam peristiwa itu, diperkirakan ratusan orang meninggal. Karena itu, sentimen anti-Orba semakin menguat di kalangan umat Islam. Strategi lain Orde Baru untuk melemahkan peran politik masyarakat adalah dengan melakukan strategi korporatisme. Soeharto mendirikan berbagai lembaga untuk mengikat kelompok-kelompok yang berpotensi mengancam kekuasaannya. Misalnya, pemerintah membentuk KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) tahun 1974 untuk melakukan korporasi terhadap organisasi-organisasi kemahasiswaan dan pemuda. Dalam tubuh umat Islam, Soeharto mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1975. Tujuannya adalah mewadahi para ulama agar mudah dikontrol oleh pemerintah. Untuk itu, para pengurus yang dipilih adalah mereka yang kooperatif dengan Orde Baru. [Bachtiar, 2017 hal: 28-29]

Selain melakukan depolitisasi terhadap “ekstrem kanan” dan “ekstrem kiri”, Orde Baru memilih satu pijakan baru untuk menentukan arah pembangunan Indonesia baru, yaitu “modernisasi”. Modernisasi di segala bidang dianggap oleh semua kelompok politik saat itu sebagai obat mujarab untuk menyelesaikan permasalahan Indonesia. Modernisasi pada gilirannya akan mengantarkan Indonesia menuju kesejahteraan seperti bangsa-bangsa Indonesia lain yang telah lebih dahulu melakukannya. Namun, ternyata permasalahan-permasalahan masa lalu seperti korupsi, ketimpangan, penyalahgunaan kekuasaan, pembelokan hukum, kerusakan alam, dan “pembunuhan” terhadap lawan-lawan politik masih belum sembuh, malah berjalan semakin sistemis dengan memanfaatkan celah-celah pada perundang-undangan, bahkan secara terang-terangan dilakukan melalui pembentukan undang-undang yang tidak sesuai kepentingan rakyat dan makna konsekuen Pancasila. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta pembangunan politik dinasti, oligarki kekuasaan, dan feodalisme politik terutama sekali menjadi satu genre penyakit sistemis negara yang paling kentara dalam berbagai tingkat, nasional maupun daerah, bahkan berlanjut hingga Orde Baru tidak lagi berkuasa; yang keseluruhan genre itu dapat disebut sebagai korupsi politik.

“Pembangunan” dan “modernisasi” seolah-olah menjadi pijakan ideologis pemerintah Orde Baru untuk memperkuat kebijakan depolitisasi masyarakat dan melanggengkan kekuasaannya. Atas nama modernisasi politik, Soeharto melakukan penyederhanaan partai sambil mengebiri suara-suara lawan politiknya. Atas nama modernisasi ekonomi, ia memilih menginduk pada negara-negara Barat yang pro-kapitalisme, membuka keran investasi dan eksploitasi sumber daya oleh asing secara luas, serta melakukan privatisasi sejumlah sektor. Kebijakan perekonomian itu sebenarnya cukup baik dalam penciptaan lapangan kerja, tapi pelaksanaannya sering berkelindan dengan korupsi serta main mata antara penguasa dan pembuat legislasi dengan para pebisnis, sehingga keuntungan yang terbesar banyak yang tidak kembali kepada rakyat, tetapi masuk ke kantong pejabat, anggota dewan, dan korporat besar. Meski terjadi reformasi dan dilakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi, termasuk di zaman Orba sendiri, nyatanya pelaksanaan ekonomi malah sangat jauh menyimpang dari amanat Pasal 33 UUD 1945, seperti pada kasus RUU Minerba dan upaya privatisasi anak-anak perusahaan Pertamina baru-baru ini. Kelahiran Orde Baru berperan dalam meningkatkan persekongkolan jahat pengusaha dengan penguasa ini dan melanggengkannya secara sistemis hingga hari ini.

Dari sinilah, ditambah dengan masa Demokrasi Terpimpin sebelumnya, mentalitas untuk menjilat kekuasaan semakin akut menjangkit. Agar segala kepentingan bisnis dapat berjalan, semua dilakukan “asal Bapak senang”. Usulan, protes, dan sikap kritis terhadap Orde Baru seolah-olah menjadi barang haram. Setiap kelompok kritis akan disingkirkan dan dianggap sebagai pembangkang pemerintah. Mereka menjadi target bulan-bulanan penguasa. Namun, ketika Soeharto dihadapkan pada kenyataan harus pula mengurusi umat Islam melalui Departemen Agama, maka pilihannya tidak lain harus mencari umat Islam yang tidak membahayakan kekuasaannya dan secara pemikiran setuju dengan berbagai proyek “modernisasi” rezim. Pilihannya akhirnya jatuh pada Mukti Ali yang ditunjuk menggantikan Mohammad Dachlan dari NU, yang dipilih di awal pemerintahannya pada 1967, sebagai Menteri Agama selepas Pemilu 1971. Hal ini menunjukkan keseriusan untuk melakukan “modernisasi” dalam bidang agama. Soeharto tahu bahwa Mukti Ali merupakan lulusan McGill University, Kanada, yang pemikirannya tidak sama dengan NU, Muhammadihay, Masyumi, Sarekat Islam, Persatuan Islam, tarekat, dan berbagai kelompok lain yang “lebih organik”. Beberapa staf yang diangkat menjadi pejabat teras di Kementerian Agama pun sebagian juga alumni McGill. [Bachtiar, 2017 hal 30-31]

Soeharto juga menyetujui dan mendukung keinginan Mukti Ali dan Harun Nasution untuk melakukan “modernisasi” IAIN/UIN. Hal itu dicanangkan oleh mereka karena menganggap orientasi kurikulum IAIN yang condong ke al-Azhar terlalu kolot dan lebih menyukai model kajian McGill University. Soeharto tidak menanggapi suara-suara yang tidak setuju dengan pengubahan kurikulum itu, termasuk dari mantan menteri agama pertama, Prof. H. M. Rasjidi. Di sinilah semakin tampak intensi untuk melakukan sekularisasi, liberalisasi, deislamisasi, dan depolitisasi umat Islam. Perkembangannya menjadi semakin masif setelah munculnya pidato Nurcholish Madjid antara 1970-72 itu. Namun, pembahasan itu semua berada di luar cakupan tulisan ini. Yang jelas, pemerintah Orde Baru memang menginginkan suatu “modernisasi” di segala bidang, termasuk dalam ranah pemikiran keagamaan, dengan memanfaatkan para lulusan McGill University yang berpaham sekuler atau liberal untuk mengisi jabatan-jabatan strategis dan merumuskan kurikulum baru bagi pendidikan Islam agar dapat mengalami sekularisasi, liberalisasi, dan seterusnya. [Bachtiar, 2017 hal: 31 dan 42-57]

Deislamisasi dalam politik Orde Baru rupanya tidak menjadi pilihan politik yang dipertahankan hingga akhir masa kekuasaannya. Setelah Peristiwa Tanjung Priok dan UU Asas Tunggal tahun 1985 sebagai puncak tindakan represif Soeharto terhadap umat Islam, situasi justru berubah. Soeharto mulai mencari dukungan dari kalangan Islam yang sebelumnya ia musuhi. Pembalikan situasi ini terjadi seiring dengan perubahan peta politik dunia pada akhir tahun 1980-an. Sejak tahun 1988, keruntuhan Uni Sosialis Soviet Republik (USSR) yang menjadi saingan terberat Amerika Serikat (AS) mulai terlihat. Kerusuhan terjadi di Azerbaijan dan Armenia. Negara-negara di Baltik menuntut kemerdekaan. Tahun 1989, Polandia dan Hungaria mengalami demokratisasi dan pemerintahan Jerman Timur mulai pecah hingga berujung peruntuhan tembok Berlin pada November. Pada Desember, Nicolae Ceaucescu yang tujuh tahun sebelumnya menjadi tamu negara Soeharto digulingkan di Rumania dan dibunuh. Tahun berikutnya, Lithuania memproklamasikan kemerdekaan dari USSR dan terjadi kerusuhan di Republik Soviet Kirghiz yang mayoritas Muslim. Tahun 1991, Yugoslavia mulai berantakan, hingga akhirnya USSR bubar. Runtuhnya Uni Soviet ini akhirnya mengantarkan dunia pada periode akhir Perang Dingin antara Blok Barat (AS) dan Blok Timur (USSR). Praktis, perubahan peta politik dunia ini semakin menekan posisi Indonesia untuk semakin mewujudkan demokratisasi dalam segala bidang, terutama ekonomi dan politik. [Bachtiar, 2017 hal: 31-32]

Di dalam negeri, situasi pun mulai berubah. Demokratisasi politik, walaupun masih sebatas slogan yang dilontarkan pemerintah, telah mengubah peta politik di dalam lingkaran kekuasaan Soeharto sendiri. Salah satu contoh yang mencolok adalah kebijakannya dalam menangani Islam. Bila sebelumnya ia memperlakukan gerakan-gerakan Islam secara represif, terutama yang berkaitan dengan hukum dan politik, kini justru Soeharto mendukung suatu gerakan yang sangat dekat dengan politik, yaitu Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), walaupun secara faktual bukan gerakan politik. Dukungan terhadap ICMI tampaknya menjadi semacam pilihan taktis bagi Soeharto dalam rangka menjalin aliansi dengan kalangan umat Islam. [Bachtiar, 2017 hal: 32]

Apa penyebab dukungan Soeharto terhadap kalangan Islam, terutama ICMI pada masa ini? Hampir tidak ada penelitian yang setuju bahwa itu semata akibat tekanan keharusan demokratisasi. Demokratisasi tampak hanya dijadikan wacana menuju perubahan strategi politik Soeharto ini. Kemungkinan terbesar jawaban atas pertanyaan tersebut ialah dalam rangka menghadapi kekuatan kontrolnya yang semakin melemah terhadap militer. Sejak 1980-an, LB Moerdani semakin kuat mengontrol militer dan diduga akan digunakan untuk menggulingkan Soeharto. Ia khawatir Moerdani benar-benar akan mengakhiri kekuasaannya. Karena itu, ia memerlukan kekuatan lain untuk menghadapi Jenderal Moerdani. Sudah maklum, kelompok Islam, atas berbagai kasus yang telah menimpa umat Islam, sangat tidak menyukai LB Moerdani, terutama pasca peristiwa Tanjung Priok; sehingga Soeharto memilih kelompok Islam, khususnya dari kalangan intelektual, untuk mendukungnya. Indikasi ke arah sana mulai terlihat. Moerdani, yang merupakan anak didik Ali Moertopo (yang saat menjabat pernah melarang penggunaan kerudung di sekolah dan kampus negeri, termasuk institusi pemerintah), mulai disingkirkan dari jabatan Panglima ABRI, digantikan oleh Try Sutrisno yang lebih diterima oleh kalangan Islam. Soeharto terlihat pelan-pelan ingin mereduksi kekuasaan Moerdani dengan memindahkannya ke jabatan Menteri Pertahanan yang lebih administratif dan tidak memegang kendali tentara secara langsung. Skema ekonomi pun mulai diubah dari model pemikiran Widjojo Nitisastro (Widjojonomic) yang begitu kapitalis dengan orientasi pembangunan ekonomi, menjadi pemikiran Habibienomic, yang menekankan pada industri strategis dan pengembangan teknologi tinggi. [Bachtiar, 2017 hal: 32-33]

Hal yang menarik adalah peran B.J. Habibie menjadi sangat sentral dalam masa peralihan dukungan Soeharto ini. Ia berhasil menjembatani komunikasi Soeharto dengan kelompok-kelompok Islam, baik itu dengan kelompok Islam Liberal yang cukup lama dekat dengan Soeharto, kalangan tradisionalis yang masih diakomodasinya, hingga, yang paling penting, ialah para mantan aktivis Masyumi yang kini banyak menggeluti organisasi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Simbol keberhasilan komunikasi ini adalah ketika Soeharto menyetujui berdirinya ICMI, tapi harus diketuai oleh Habibie, yang dianggap dapat merekatkan hubungan Soeharto dengan umat Islam. Kepengurusan pun dibentuk terdiri atas para intelektual kedua kubu, ditambah menteri-menteri dan pejabat loyalis Soeharto yang dianggap berasal dari kalangan Islam. [Bachtiar, 2017 hal 33]

Sebenarnya, ICMI mulanya didirikan atas inisiatif anak-anak muda dari gerakan dakwah kampus yang dimotori Erik Salman, Ali Mudakir, Mohammad Zaenuri, Awang Surya, dan Mohammad Iqbal yang ingin menyelenggarakan semacam kegiatan yang bisa mempersatukan para cendekiawan Muslim dari berbagai kalangan. Mereka adalah mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (Unibraw) angkatan 1987. Setelah berkonsultasi dengan Rektor Unibraw, Drs. Z.A. Ahmadi, MPA dan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Drs. Malik Fadjar, M.Sc., akhirnya mereka disarankan menyelenggarakan simposium yang melibatkan para cendekiawan Muslim berbagai kelompok. Setelah berkonsultasi dengan berbagai cendekiawan di Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta, juga atas saran Imaduddin Abdurrahim dan Dawam Rahardjo, kegiatan tersebut sebaiknya diarahkan untuk membentuk suatu ikatan cendekiawan Muslim dan menyarankan mereka menemui B.J. Habibie yang saat itu menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi / Kepala BPPT. Setelah bertemu Habibie, secara pribadi ia mendukung, tapi dia merasa perlu meminta izin pada Presiden Soeharto. Soeharto, karena memang tengah membutuhkan kekuatan umat Islam, malah sangat mendukung gagasan itu. Acara tersebut mendapatkan sambutan yang antusias dari cendekiawan berbagai wilayah. Terlebih Soeharto telah merestui Habibie dibantu beberapa orang menterinya untuk menjadi pemimpin ikatan itu, yang oleh Habibie diusulkan bernama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. [Bachtiar, 2017 hal: 33-34]

Akhirnya, tanggal 6-8 Desember 1990 diselenggarakanlah kegiatan yang bertajuk “Simposium Nasional Cendekiawan Muslim: Membangun Masyarakat Abad XXI” yang menjadi titik awal berdirinya ICMI. Acara itu sendiri dibuka secara langsung oleh Presiden Soeharto dan dihadiri oleh pejabat-pejabat pusat dari Jakarta. Segera setelah ICMI dideklarasikan, di berbagai kota didirikanlah cabang-cabang Organisasi Satuan (Orsat) untuk tingkat lokal dan Organisasi Wilayah (Orwil) untuk tingkat provinsi. Organisasi Pusat (Orpus) diketuai oleh Habibie. Kaum intelektual yang bergabung sangat banyak dengan latar belakang yang beragam, baik dari kalangan tradisionis maupun modernis, dari kelompok dakwah maupun “kelompok pembaruan” (insya-Allah akan dibahas di tulisan berikutnya). Ini menunjukkan ICMI relatif berhasil menyatukan kaum intelektual yang terbelah karena berbeda pandangan dan ideologi gerakan. Kemauan untuk bersatu ini salah satunya didorong oleh program-program ICMI yang lebih berorientasi pada persoalan-persoalan praktis umat, bukan masalah ideologi dan pemikiran. Pada sejarahnya, ICMI turut melahirkan CIDES (Center for Information and Development Studies), koran Republika, program beasiswa ORBIT, bank-bank syariah (yang pertama Bank Muamalat) dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT), pengembangan usaha mikro, Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (YINBUK) bersama MUI, Majelis Kajian Pembangunan Daerah, Majelis Sinergi Kalam (MASIKA), Gerakan Wakaf Buku, IIFTIHAR (Internasional Islamic Forum For Science, Technology And Human Resource Development) bekerja sama dengan Rabithah Alam Islami (Liga Dunia Islam) yang berpusat di Riyadh dan Internasional Institute of Islamic Thought (IIT) yang berpusat di Virginia, AS. [Bachtiar, 2017 hal: 34-35]

Namun begitu, nuansa politik yang kental dalam ICMI berupa pengangkatan para birokrat dan pembantu presiden sebagai pimpinannya tetap menuai kontroversi. PBNU, militer, dan kalangan Kristen turut menyatakan ketidaksetujuan mereka atas pembentukan ICMI. Karena kontroversi yang demikian, segera setelah kekuasaan Soeharto jatuh pada 1998, ICMI kehilangan taring. Naiknya Habibie sebagai presiden tak banyak mendongkrak pamor ICMI, hingga akhirnya tidak dapat lagi menjadi wadah ideal untuk menyatukan kaum intelektual dengan pamornya yang semakin merosot. Pun demikian, ICMI mesti tetap dicatat pernah mampu menyatukan kaum intelektual Muslim Indonesia dari berbagai latar belakang dalam satu wadah. Selain itu, sejak berkuasa hingga lengsernya Soeharto, ICMI inilah yang memainkan peran penting dalam politik Indonesia yang menandai bergesernya keberpihakan Soeharto ke arah Islam, yang tidak hanya simbolis atau “pencitraan” ritual seperti saat kunjungan ke Bosnia dan berhaji tahun 1991. Selain karena keniscayaan semakin banyaknya lahir intelektual-intelektual Muslim baru, juga disebabkan perkembangan internasional seperti telah dijelaskan dan ancaman kelompok “ABRI merah” yang dimotori oleh L.B. Moerdani, yang secara tidak sabar telah menunjukkan tanda-tanda pembangkangan terhadap Soeharto. Kabinet yang disusun Soeharto antara 1992-1997 pun semakin mengakomodasi berbagai kalangan Islam, tidak seperti sebelumnya yang mengadopsi gaya Snouk Hurgronje. Ia bahkan menyempatkan hadir dalam Muktamar Muhammadiyah di Aceh yang memilih Amien Rais sebagai ketua menggantikan Ahad Azhar Basyir. Setelah itu, nama “The Smiling General” sering disebut atau ditulis dengan Haji Muhammad (H.M.) Soeharto.

Pada Pemilu 1997, pemilu terakhir dalam masa Orde Baru, tanda-tanda merosotnya kekuasaan Soeharto semakin terlihat. Pemilu kala itu memang masih dimenangkan oleh Golkar yang juga tetap mengantarkan Soeharto sebagai presiden. Habibie, seorang intelektual yang kurang mahir berpolitik, dipilih Soeharto sebagai wakilnya. Namun, tak lama setelah pelantikan, ia harus menghadapi tuntutan dari masyarakat yang direpresentasikan oleh demonstrasi mahasiswa yang menuntutnya turun dari kursi kepresidenan. Tuntutan ini sesungguhnya adalah akumulasi dari kekecewaan masyarakat terhadap kepemimpinan Soeharto sepanjang Orde Baru yang represif, koruptif, dan hanya menyejahterakan rakyat secara parsial, di mana fundamen ekonomi negara tak sanggup menghadapi terpaan krisis ekonomi yang menerjang Asia. Stigma “ekstrem kiri” dan “ekstrem kanan” sebagai musuh negara telah menyebabkan Soeharto menciptakan banyak musuh yang pada saatnya akan bergerak untuk menurunkannya. Kekecewaan dan keinginan untuk menurunkan Soeharto menemukan momentum ketika memasuki fase terakhir kepemimpinannya, walaupun Soeharto telah berusaha menciptakan keseimbangan politik baru agar dia tidak dimakzulkan secara tidak terhormat. Bahkan, Ketua MPR Harmoko yang harusnya merupakan orang lingkaran dalam kekuasaan pun ikut menyuarakan agar ia mundur.

Momentum mulai tercipta saat secara terbuka keluarga dan kroni-kroni di sekeliling Soeharto memperlihatkan kehidupan yang sangat mewah sementara rakyat masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pada awal 90-an, korupsi rezim ini sudah banyak menggurita dan menjadi rahasia umum. Anak-anak Soeharto menumpuk kekayaan dengan memegang berbagai perusahaan berskala besar dan menikmati transaksi istimewa dalam berbagai macam proyek. Para cukong yang bekerja sama dengan pemerintahan, baik di level nasional maupun daerah, mendapatkan konsesi-konsesi eksploitasi sumber daya. Diperkirakan sekitar 70% kegiatan ekonomi swasta berada di tangan orang Cina pada tahun 1990-an, terutama mereka yang dekat dengan keluarga Soeharto. Walaupun secara kasat mata melakukan KKN, tapi lembaga peradilan tak sanggup menangkap mereka. Dengan terpaan krisis, kemiskinan yang masih banyak, serta banyaknya kasus ketegangan sosial, politik, agama, dan budaya, kemarahan rakyat mulai naik. Kemarahan ini mulai berani muncul saat secara mencolok terjadi skandal “Mobil Nasional” (Mobnas) yang melibatkan orang-orang dekat Soeharto. Proyek ini merupakan proyek perakitan mobil nasional sendiri dengan adanya pembebasan pajak. Kontrak jatuh pada Tommy Soeharto dan manufaktur mobil asal Korea, KIA. Namun, segera ketahuan bahwa usaha ini sama sekali tidak merakit mobil nasional di Indonesia, tetapi membeli mobil yang sepenuhnya buatan KIA yang diberi label mobil nasional hingga terhindar dari pajak dan bea masuk. Kebijakan ini menjadi bahan kecaman di dalam negeri sekaligus menuai protes dari Amerika dan Jepang. Ini menjadi salah satu sebab iklim internasional menjadi semakin anti-Soeharto, selain juga dipicu oleh berbagai kasus pelanggaran HAM yang dialamatkan pada rezim. [Bachtiar, 2017 hal: 38]

Kecaman terhadap rezim di dalam negeri semakin kencang menyusul terjadinya krisis moneter tahun 1997. Nilai tukar rupiah merosot tajam dari 2500 per dolar menjadi 4.000 dan lalu 17.000 hanya dalam hitungan bulan saja. Bursa saham Jakarta hancur. Banyak perusahaan bangkrut. Nilai tabungan di bank menyusut sangat tajam, bahkan banyak yang lenyap. Jutaan pekerja diberhentikan. Respons pertama pemerintah terhadap krisis inilah yang sebenarnya membuat kejengkelan rakyat tak terbendung. Saat krisis belum terjadi, sejumlah ekonom lokal maupun asing telah memberikan peringatan, tapi muncul sikap denial dari pemerintah yang mengklaim bahwa fundamen ekonomi negara kuat. Saat krisis mulai datang, kesombongan rezim kembali muncul dengan mengumumkan Reformasi, tapi proyek-proyek kroni dan keluarga dilindungi. Upaya penanggulangan krisis yang dipercayakan pada IMF (International Monetary Fund) juga dikritik banyak orang, termasuk tarik-menarik antara IMF dengan Soeharto yang menjadi konsumsi publik.

Sejak saat itu, protes-protes di media massa dan demonstrasi di jalanan terus menggema seantero negeri. Tokoh-tokoh yang vokal seperti Amien Rais disingkirkan dari ICMI. Sri Bintang Pamungkas disingkirkan dari lingkaran kekuasaan. Padahal, melalui ICMI yang dipimpin Habibie, Soeharto berharap menemukan kekuatan politik baru pendukungnya. Namun, banyak intelektual yang ada di dalamnya justru malah berbalik menjadi ancaman baginya. Maka, tindakan represif dan otoriter yang ia gunakan dalam pemerintahannya sejak awal, ia gunakan kembali. Media massa yang tadinya tidak berani membongkar kebobrokan pemerintah pun semakin terbuka. Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah seolah tak pernah berhenti. Puncak dari drama protes rakyat terjadi ketika Soeharto pergi ke Kairo untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri banyak kepala negara dunia pada tanggal 7 Mei 1998. Ia terpaksa harus kembali lagi tanggal 15 Mei karena situasi Jakarta semakin tidak terkendali. MPR yang 17 bulan sebelumnya melantiknya sebagai presiden untuk ketujuh kalinya, kini malah berbalik siap untuk mengadakan Sidang Istimewa (SI) untuk menurunkannya dari jabatan presiden. ABRI yang tadinya loyal pun turut mendukung pelaksanaan SI. Akhirnya, setelah sejumlah pertemuan dengan berbagai pemimpin masyarakat dan ditolaknya usulan Soeharto tentang pembentukan Dewan Reformasi serta mundurnya sekitar 14 orang menteri yang diangkatnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto memutuskan berhenti sebagai presiden dan menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, B.J. Habibie.

1998-2024(?), Gelombang III Indonesia: Upaya Mencapai Keseimbangan antara Kebebasan Politik, Penyehatan Demokrasi, dan Ekonomi

Gelombang ini mayoritas terjadi pada era Reformasi. Kepemimpinan baru Indonesia kemudian jatuh ke tangan Habibie, seorang teknokrat yang sebelumnya didaulat memimpin ICMI. Habibie menghadapi beban yang sangat berat di antaranya stabilitas ekonomi, penyelesaian pelanggaran HAM, stabilitas pertahanan yang disebabkan kasus GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan Timor-Timur yang  menuntut merdeka, dan tuntutan kebebasan mengemukakan pendapat. [Bachtiar, 2017 hal: 40]

Pada akhirnya, Habibie memang tidak dapat menuntaskan semuanya secara sempurna. Akan tetapi, masa kepemimpinannya yang singkat sekitar 17-18 bulan berhasil membuka hal-hal baru yang berpengaruh pada masa-masa selanjutnya. Pertama, Habibie berhasil membuka keran kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat yang sebelumnya sangat dibatasi, baik masa Demokrasi Terpimpin, maupun rezim Orba. Undang-undang yang membatasi pers dicabut. Setiap orang berhak menyampaikan apa yang menjadi pemikirannya di mana pun melalui media apa pun. Kedua, seiring dengan kebebasan berbicara, kebebasan pers menjadi keniscayaan. Berbagai partai politik berdiri pada masa kekuasaannya. Ada 48 partai politik yang berhak ikut dalam Pemilu 1999 yang berhasil diselenggarakan oleh Habibie. Pemilu 1999 ini merupakan keberhasilan ketiga Habibie dalam mengawal transisi politik negeri ini. Melalaui pemilu itu, kisruh kepemimpinan politik di negeri ini dapat teratasi. PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) menang pemilu ini dengan perolehan suara 34%. Menariknya, Golkar yang dihujat selama awal Reformasi, bahkan dituntut untuk dibubarkan oleh mahasiswa, ternyata menjadi pemenang kedua dengan perolehan 22%. Inilah suatu kontradiksi: Golkar sebagai tulang punggung Orde Baru dicap “bersalah” dan menjadi “terdakwa” di era Reformasi tapi berhasil meraih suara signifikan dalam pemilu yang berlangsung demokratis. [Matta, 2014 hal: 7] Namun, pribadi Habibie yang tidak haus kekuasaan dapat mengawalnya dengan baik hingga terpilih Presiden ke-4 melalui Sidang Umum MPR tahun 2000 hasil Pemilu 1999, yaitu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. [Bachtiar, 2017 hal:40-41] Habibie dan Golkar harus menerima kenyataan pahit ditolaknya laporan pertanggungjawaban presiden. Habibie dianggap melakukan kesalahan terkait keputusannya memberikan kesempatan referendum bagi Timor-Timur sehingga menimbulkan ketegangan hubungan dengan militer. Menyikapi perkembangan itu, Habibie menunjukkan sikap kesatria dengan menyatakan bahwa dia sudah tidak lagi memiliki legitimasi untuk mencalonkan diri sebagai presiden. [Matta, 2014 hal: 7]

Selain berkenaan dengan perubahan sosial dan politik yang cukup penting digulirkan Habibie, ia juga berhasil mengendalikan ekonomi Indonesia yang hampir hancur pada akhir kepemimpinan Soeharto. Berangsur-angsur ekonomi Indonesia membaik sedikit demi sedikit sehingga Indonesia tidak sampai bangkrut. Akan tetapi, perubahan sosial dan politik di ataslah yang paling penting dan berpengaruh terhadap sejarah Indonesia setelah Soeharto yang disebut sebagai era Reformasi. Keterbukaan itu telah menyebabkan banyak sekali pikiran yang berkontestasi di ruang publik tanpa takut dikebiri, karena keran kebebasan pers dibuka seiring dengan bergulirnya reformasi politik. Dalam hal ini media massa, baik cetak maupun elektronik, memainkan peranan penting. Media masa sejak saat itu benar-benar menjelma menjadi pilar demokrasi di Indonesia. [Bachtiar, 2017 hal: 41]

Apa yang telah dimulai Habibie saat memegang kekuasaan transisi terus dipertahankan hingga kekuasaan beralih ke presiden-presiden berikutnya, dari Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada awal kekuasaan Wahid memang sempat terjadi ketegangan politik. Wahid yang dipilih melalui SU MPR tahun 2000, yang saat itu dipimpin oleh Amien Rais, harus menelan pil pahit diturunkan kembali dari kursi kepresidenan pada tahun 2002 akibat sejumlah kontroversi yang ditimbulkannya dan skandal Bulog yang terkait dengan kisruh pemanfaatan dana sumbangan Sultan Brunei. Wahid digantikan oleh Mega, yang sebelumnya menjadi wakilnya, pada 2002 hingga menyelesaikan masa kepemimpinan tahun 2004. Mega didampingi oleh politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Hamzah Haz.

Reformasi dan kebebasan dalam bidang politik terus bergulir dalam bentuk tuntutan sistem politik yang lebih demokratis. Salah satunya adalah desakan pemilihan presiden langsung oleh rakyat, bukan oleh MPR. Usulan ini diterima sampai ke DPR dengan disahkannya UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan presiden langsung diselenggarakan pertama kali pada 2004, yang mengantar SBY dan Jusuf Kalla (JK) berkuasa. Melalui pemilihan langsung ini, kondisi politik semakin stabil sehingga pemakzulan presiden di tengah jalan belum terjadi lagi setidaknya sampai tahun 2020 ini. Selama beberapa periode kekuasaan sejak tahun 1998 ini, salah satu keberhasilan reformasi yang digulirkan yang masih tetap berjalan baik ialah kebebasan berpendapat, meskipun akhir-akhir ini terlihat adanya suatu model baru dalam melakukan represi atau serangan terhadap lawan-lawan politik, yaitu dengan memanfaatkan kinerja buzzer pada era media sosial. [Bachtiar, 2017 hal: 41-42]

Tahun-tahun awal Reformasi berlangsung begitu bising dan tegang. Tak jarang ketegangan itu menimbulkan jatuh korban, seperti pada Peristiwa Semanggi. Indonesia sedang mencari keseimbangan baru, layaknya orang kaya baru yang tiba-tiba punya uang banyak tapi tidak tahu bagaimana membelanjakannya. LSM, ormas, dan surat kabar lahir hampir setiap hari dengan agenda dan kepentingannya masing-masing. Pakar-pakar dari kampus yang sebelumnya berdiam di menara gading terlibat dalam berbagai usaha demokratisasi, seperti menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lembaga-lembaga lainnya. Sejumlah perubahan dilakukan guna mengatasi permasalahan-permasalahan masa lalu yang sudah terlanjur sistemis. Misalnya, karena ketidakpuasan terhadap kinerja polisi dan kejaksaan dalam memberantas korupsi, berbagai pihak mencanangkan pembentukan suatu badan baru melalui suatu undang-undang tentang komisi yang diberi nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Undang-undang tentang otonomi daerah mulai dijalankan secara luas. Kepala daerah turut dipilih langsung oleh masyarakat. Berbagai institusi berusaha memperbaiki citranya di mata publik, dengan banyaknya bermunculan lembaga survei yang mengeluarkan angka-angka kepuasan publik terhadap kinerja lembaga-lembaga pemerintahan. Permasalahan-permasalahan terkait HAM, keadilan ekonomi, dan lingkungan mulai menjadi pusat perhatian publik. Depolitisasi semakin berkurang. Walau masih banyak permasalahan yang harus diselesaikan, Indonesia bukan lagi negara yang teramat miskin dan porak-poranda.

Kealpaan Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru dalam tatanan kelembagaan sebelumnya coba diperbaiki pada era Reformasi. Tatanan kelembagaan inilah – yang mencakup kelembagaan ekonomi dan politik – yang akan menentukan kesejahteraan sebuah bangsa. Kelembagaan ekonomi menentukan insentif ekonomi, sementara kelembagaan politik berperan dalam menentukan bagaimana proses tersebut bekerja. Kelembagaan politik mencakup konstitusi, tingkat pencapaian demokrasi dan kekuatan serta kapasitas negara dalam mengatur masyarakat. Kealpaan dalam membangun kelembagaan itu berujung pada pemusatan kekuasaan atau oligarki politik dengan segala dampaknya, termasuk korupsi. Dari kaca mata politik, gerakan Reformasi merupakan suatu koreksi dan perlawanan terhadap kekuasaan oligarki dan korupsi Orde Baru. Namun, jika dilihat dari spektrum yang lebih luas, perjalanan sejarah, kita bisa menyimpulkan bahwa Reformasi adalah sintesis dari tesis Orde Lama dan antitesis Orde Baru. Pada fase ini, dengan segala kegaduhannya, kita mulai mematangkan budaya demokrasi, sebagai bagian dari usaha mewujudkan negara-bangsa yang modern. Gerakan Reformasi ini terutama membentur cara berpikir masyarakat tentang kekuasaan. Jika kita lihat enam tuntutan reformasi (penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya, amandemen UUD 1945, pencabutan dwifungsi ABRI, dan otonomi daerah) yang mengkristal dalam gerakan mahasiswa awal Reformasi ini, kita dapat melihat bahwa tuntutan itu adalah pengaturan kekuasaan. [Matta, 2013 hal: 50-51]

Korupsi politik dan ekonomi yang ada terus berjalan secara sistemis hingga ini, malah cenderung bertransformasi ke dalam bentuk yang lebih canggih, memanfaatkan perundang-undangan yang ada, sehingga dikenal sebagai istilah “korupsi konstitusional”. Korupsi memang merupakan indikator yang jelas mengenai kelembagaan politik yang mempengaruhi kelembagaan ekonomi. Kelembagaan politiklah (termasuk di dalamnya penegakan hukum) yang menentukan kelembagaan ekonomi, dan akhirnya kinerja ekonomi. Politik adalah proses di mana masyarakat memilih aturan yang akan mereka jalani sendiri. Kelembagaan politik adalah kunci penentu pertandingan distribusi kekuasaan di dalam masyarakat. Kelembagaan politik menentukan siapa pemenang kekuasaan di dalam masyarakat dan sampai tingkat mana kekuasaan itu dapat digunakan. Sampai sekarang, kita masih punya banyak PR dalam membangun kelembagaan politik dan ekonomi Banyak aspek prosedural dalam demokrasi yang sudah dipenuhi, seperti pemilihan umum, pembatasan masa jabatan pejabat publik, dan DPR yang mampu mengimbangi kekuatan eksekutif. Namun, semua itu harus digerakkan untuk menjawab pertanyaan substansial, yaitu bagaimana demokrasi mampu memberikan hasil yang kongkret berupa kesejahteraan rakyat. Kebebasan yang kita nikmati sekarang adalah modal untuk berusaha tanpa rasa takut dalam mewujudkan kemakmuran. Kita mesti menemukan suatu keseimbangan antara stabilitas negara, kesehatan demokrasi dan kebebasan masyarakat sipil, dengan kesejahteraan dan sehatnya pasar. [Matta, 2013 hal: 52]

Persoalan-persoalan besar dan mendasar tersebut sebenarnya telah diatasi dengan arah yang cukup menjanjikan; hanya saja akhir-akhir ini, terjadi perkembangan-perkembangan yang mesti membuat kita mengernyitkan dahi, terutama semenjak 2016. Perkembangan sejak era Wahid, Mega, hingga SBY sebenarnya telah menunjukkan arah positif. Meski masih muncul banyak permasalahan, umumnya terjadi akibat sisa kesalahan masa lalu dan terjadinya pun secara parsial, tidak di semua lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita tahu bahwa pemerintahan Habibie dan Wahid mampu meredam krisis ekonomi dan menstabilkan nilai tukar serta membuka keran demokratisasi, walaupun masih terdapat skandal korupsi yang bahkan menyangkut presiden sendiri, seperti kasus Bulog, atau pernyataan-pernyataan Wahid yang memang cenderung kontroversial, seperti keinginan membubarkan DPR, dan lain-lain. Pada masa Mega, terjadi pembunuhan aktivis Munir, penjualan Indosat dengan harga murah yang menimbulkan tanda tanya besar, dan kelindan kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Namun, di masa Mega lahir KPK yang kemudian jadi kecintaan publik dalam pemberantasan korupsi.

Masa SBY adalah masa yang sangat demokratis dengan pertumbuhan ekonomi yang tercatat tinggi sampai melebihi 6 persen, meski soal pemerataan masih menjadi soal. PDB Indonesia naik secara signifikan dibandingkan dengan rasio kenaikan hutang relatif terhadap presiden-presiden lain selama era reformasi. SBY juga berhasil mengemudikan Indonesia dengan selamat melewati musibah tsunami Aceh dan krisis ekonomi 2008 serta wabah flu burung. Saking demokratisnya, demonstrasi terhadap pemerintahan SBY nyaris terjadi setiap hari, bahkan sering berada dalam ranah penghinaan personal, seperti dibawanya kerbau yang dikalungi nama SBY, dan lain-lain. Demonstrasi itu umumnya dimotori oleh PDIP sebagai oposisi, seperti saat adanya kenaikan harga BBM zaman SBY. Zaman itu, pemerintah memang dihadapkan pada masih tingginya harga minyak dunia sehingga alokasi dana untuk subsidi cukup besar. Namun, saat PDIP kemudian berkuasa, mereka juga menaikkan harga minyak bahkan saat harga minyak dunia telah turun, karena pemangkasan subsidi yang besar guna memenuhi ambisi pembangunan infrastruktur. Meski begitu, sebagian infrastruktur yang diresmikan atau dibangun pada masa Jokowi sebenarnya telah dianggarkan pada masa SBY, tapi peran SBY tampak ditenggelamkan dalam beberapa bagian itu.

SBY nyaris tak pernah menggunakan aparatur negara untuk melakukan penangkapan terhadap mereka yang mengkritik bahkan menghina dirinya. Ia bahkan mesti datang sendiri ke kantor kepolisian untuk sekadar melaporkan kasus pencemaran nama baik, walaupun kapasitasnya sebagai presiden. Ini berbeda dari masa Jokowi, di mana mereka yang kritis pada rezim begitu cepat diproses oleh kepolisian, dengan pelaporan dari lingkar kekuasaan. Selain itu, SBY juga tercatat mundur sementara saat mengajukan diri sebagai calon presiden ketika petahana, hal yang tidak dilakukan Jokowi, guna menghindari konflik kepentingan. Pada masanya, KPK bahkan begitu bertaji menangkap petinggi partai berkuasa (Demokrat dan PKS) semacam Anas Urbaningrum dan Luthfi Hasan Ishaq. SBY sebagai penguasa tidak menghalang-halangi penyelidikan itu. Berbeda drastis dengan kasus Harun Masiku di era Jokowi. Walaupun Masiku bukan petinggi PDIP, proses KPK justru mendapatkan hambatan baik dari elemen kepolisian maupun dari kantor PDIP. Pun begitu, masa SBY juga tak lepas dari kritik. Privatisasi Krakatau Steel, Bank Century, dan kasus wisma atlet, menurut saya, merupakan salah satu catatan paling hitam dalam pemerintahannya. Walaupun juga terjadi kasus cecak-buaya, kekuatan KPK masih dapat dijaga pada masanya. Penindakan korupsi bahkan mampu menembus level tinggi seperti penangkapan pada Akil Mochtar.

Dalam hal oligarki kekuasaan, feodalisme, dan politik dinasti memanglah masih ada pada masa-masa itu di berbagai tingkatan. Namun, lingkaran inti dari presiden sendiri tak pernah diorbitkan sebagai kelanjutan dinasti pada saat presiden masih aktif menjabat. Habibie dan Wahid tak sempat membangun dinasti politik. Mega dan SBY memiliki Puan Maharani dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai putri dan putra mahkota. Namun, keduanya tidak langsung diberi jabatan saat Mega dan SBY masih berkuasa. AHY misalnya, mencalonkan diri dalam Pilkada DKI dan lalu menjadi pimpinan Partai Demokrat setelah SBY turun takhta. Hal ini sedikit lebih baik dari masa Jokowi di mana lingkaran-lingkaran terdekat presiden maju dalam kontestasi politik saat Jokowi masih berkuasa. Bahkan, di Solo, Gibran diajukan sebagai calon melalui proses yang penuh intrik, di antaranya dengan melangkahi wakil wali kota sebelumnya yang telah cukup lama menjadi kader dari PDIP, dengan salah satu prosesnya melalui pemanggilan yang bersangkutan ke istana untuk bertemu dengan Jokowi. Dikabarkan bahwa sebagai kompensasi merelakan pencalonan di Solo, ia akan diberikan jabatan, tapi yang bersangkutan menolak. Ini merupakan suatu penyimpangan yang nyata terhadap kapasitas konstitusional presiden serta penyalahgunaan terhadap istana negara yang digunakan untuk mengurusi kepentingan elektoral, hal yang sebenarnya sudah terjadi juga menjelang Pemilu 2019 dulu.

Belum lagi jika meninjau sektor lain seperti penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan ekonomi. Pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan pemerintahan Jokowi nyatanya tak mampu memenuhi janji ekonomi meroket yang dilontarkannya, yang mengklaim dapat membawa Indonesia dapat tumbuh dua digit. Bahkan sebelum pandemi terjadi pun, perekonomian cenderung limbung dengan pertumbuhan yang berat untuk sekadar melebihi lima persen. Padahal, hutang dan investasi asing yang ditarik masuk demikian signifikan dibandingkan era-era pemerintahan sebelumnya, tapi peningkatan PDB yang dihasilkan relatif kecil. Agresifnya pemerintahan ini dalam menarik investasi juga tidak merata, yaitu seakan bergantung pada poros Tiongkok dan BRI (Belt and Road Initiative), dengan sangat menuruti kemauan donor dana itu, seperti banyak mengimpor tenaga kerja dan pemaksaan Omnibus Law di tengah penolakan masyarakat.

Pada mulanya, kemunculan pria yang akrab disapa dengan Jokowi ini telah menghadirkan harapan baru bagi sebagian besar publik tentang masa depan yang cerah bagi demokrasi dan perbaikan kualitas pengelolaan negara. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa Jokowi bukanlah bagian dari elite lama, oligarki, penguasa korup, ataupun militer, dan dia lahir dari rakyat kecil yang berhasil meraih keunggulan politik atas dukungan masyarakat sipil. Namun tampaknya, kekhawatiran terhadap menurunnya kualitas demokrasi mulai menguat dan harapan pada sosok presiden “rakyat” perlahan sirna setelah beberapa tahun Jokowi menjalankan pemerintahannya. Penulis berpendapat, setidaknya, ada satu fenomena umum yang terjadi belakangan ini dan mengarah pada kemunduran demokrasi, yakni: semakin menyempitnya civic space (ruang sipil/publik) bagi masyarakat sipil akibat penggunaan buzzer oleh pemerintah dan pemberlakuan aturan hukum tertentu yang membatasi mereka.

Buzzer dan fanboy seakan telah menjadi fenomena umum dalam praktik politik Indonesia belakangan ini. Peran mereka semakin meningkat dan dipandang sebagai kewajaran sejak era Joko Widodo, baik itu karena menjadi bagian dari pekerjaan atau murni simpatisan presiden belaka. Di sisi lain, aturan hukum yang diinisiasi/dibentuk pemerintah juga semakin bermasalah, baik dari segi transparansi, formal, ataupun praktis, sehingga menimbulkan banyak gelombang protes. Merujuk pada Freedom House (2020) dan the Economist’s Democracy Index (2019), terlihat bahwa demokrasi Indonesia hanya dikategorikan sebagai “setengah bebas” dan “demokrasi yang cacat”. Salah satu yang paling bermasalah dan sedang berlangsung hingga hari ini ialah soal kebebasan sipil. Masyarakat sipil di Indonesia dianggap telah memainkan peran strategis dalam kehidupan berdemokrasi sejak dimulainya masa reformasi dua dekade lalu. Namun belakangan, masyarakat sipil cenderung tidak memiliki gairah, kalaupun ada, suara mereka tidak lagi terlalu dipertimbangkan oleh pemerintah. Semua ini berhubungan dengan civic space, atau ruang sipil yang semakin menyempit. Dan tampaknya, fenomena penyempitan ruang sipil ini menjadi sesuatu yang marak terjadi di banyak negara dalam beberapa dekade terakhir, termasuk di Indonesia.

Memang harus diakui, bahwa masyarakat sipil di Indonesia sangat terfragmentasi dan mereka sering kali dihadapkan pada permasalahan internal, khususnya soal sumber pendanaan yang tidak lancar, struktur kelembagaan yang tidak kuat, serta gerakan dan narasi mereka yang tidak terhubung dengan grassroot. Namun, penulis melihat ada beberapa faktor eksternal, khususnya merebak di pemerintahan Jokowi, yang membuat ruang masyarakat sipil untuk berbicara semakin menghilang, yakni: pertama, penggunaan buzzer politik yang didukung negara. Penulis menilai, aktivitas buzzer sangat mengancam bagi demokrasi karena mereka mengalihkan perbincangan yang substantif dan konstruktif menjadi sangat bias preferensi politik. Kritik-kritik masyarakat sipil cenderung tidak sampai kepada pemerintah karena mereka menciptakan “dunia” sendiri yang tidak ada kritik karena telah menggunakan buzzer. Sebagai pihak yang sedang memerintah, menggunakan jasa buzzer untuk menghadapi kritik tidak lain adalah bentuk dari anti-kritik.

Faktor pertama sangat berkaitan dengan yang kedua, yakni menjamurnya volunteering group yang ada sejak era Jokowi menciptakan shifting dari yang seharusnya mereka berfokus pada hal-hal programatik dan idealis menjadi bias partisan, loyalis, dan pemburu keuntungan semata. Volunteering group yang berinisiatif untuk mendukung, mengampanyekan, dan memenangkan Jokowi dalam dua edisi Pilpres terakhir, tidak seluruhnya berkorelasi positif untuk membangun demokrasi, melainkan sebagian hanya untuk mengejar jabatan dan keuntungan tertentu. Kondisi lebih parah dan terkesan melanggar etika bernegara ialah saat aktor-aktor yang terlibat dalam volunteering group ini tidak bubar setelah Jokowi menang di pemilu, melainkan tetap menjadi fanboy pemerintah dengan membabi-buta mendukung setiap kebijakan pemerintah. Mereka seakan melupakan peran mereka yang seharusnya paling bertanggung jawab untuk menagih janji-janji Jokowi yang telah dilontarkan saat kampanye.

Buzzer dan fanboy digunakan untuk memperlancar setiap kebijakan developmentalis (pembangunan ekonomi) dan narasi “pluralis” pemerintah. Beberapa aturan dan tindakan kontroversial yang dilakukan pemerintah, seperti RUU Cipta Kerja, revisi UU Minerba (sudah disahkan), revisi UU KPK (sudah disahkan), revisi KUHP, pelanggaran HAM atas masyarakat Papua, kenaikan tarif BPJS, sekaligus kecenderungan pemerintah pusat untuk lebih peduli pada ekonomi dibanding kesehatan masyarakat di saat pandemi Covid-19, didukung habis-habisan oleh buzzer dan fanboy mereka. Bahkan, belakangan ini, banyak lembaga negara yang menggunakan buzzer untuk menghadapi kritik masyarakat sipil atas kebijakan yang diambil, seperti yang terjadi pada kasus Perusahaan Listrik Negara (PLN). Padahal, kritik dari masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga internasional tidak kurang banyaknya. Lagi-lagi, ini tentu berbahaya bagi demokrasi.

Ketiga, penggunaan instrumen hukum yang ambigu untuk menekan kebebasan sipil. Penulis mencatat, bahwa UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) adalah salah satu peraturan yang paling membahayakan bagi kebebasan sipil, tetapi belum ada niatan dari pemerintah untuk melakukan revisi, yang padahal sudah dituntut oleh masyarakat sipil. Sudah banyak kasus kriminalisasi akibat pemberlakuan UU ini. Ada pula beberapa contoh lain, seperti pemberlakuan UU Ormas dan kebijakan negara yang mempersulit izin bagi ormas tertentu. Selain itu, pemerintah dan DPR berencana untuk segera menetapkan RKUHP yang juga bermasalah karena di antaranya memuat pasal penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara lain, yang jelas berpotensi melanggar kebebasan berpendapat. Fenomena terbaru yang sedang viral, pemerintah menggunakan pasal makar untuk menjerat kebebasan berpendapat orang-orang yang dianggap membahayakan dan “mengarah” ke separatisme, seperti kasus yang terjadi pada beberapa mahasiswa di Papua.

Jokowi berulang kali menyuarakan komitmennya dalam menjaga demokrasi. Tapi pada kenyataannya, banyak kebijakan serta tindakan pemerintah yang represif dan anti-demokrasi dihasilkan di bawah kepemimpinannya. Di antaranya adalah keputusan Jokowi untuk mendukung pengesahan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) walau ditentang banyak pihak. Sikap aparat keamanan dalam mengamankan aksi demonstrasi di berbagai kota yang menolak revisi UU KPK dan RKUHP juga diwarnai tindakan represif anti-demokrasi. Dua mahasiswa tewas setelah bentrok dengan polisi di Kendari, Sulawesi Tenggara; puluhan mahasiswa ditangkapi; aktivis ditahan; dan bahkan pemerintah akan memberi sanksi universitas yang mahasiswanya terlibat unjuk rasa. Sinyal-sinyal anti-demokrasi dari Jokowi sebenarnya sudah muncul jauh sebelum peristiwa di atas. Tanda-tanda ini seharusnya menjadi peringatan bagi semua pihak, terlebih masyarakat sipil untuk mawas diri terus menjaga demokrasi.

Beberapa kebijakan Jokowi yang menyumbang pelemahan demokrasi, bisa dilihat sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ormas) dan Peraturan Presiden (perpres) No. 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia (TNI). Perppu tentang ormas yang digunakan pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia, walau benar secara substansi tapi cacat secara prosedur karena mengeliminasi proses peradilan. Selain itu, perpres jabatan TNI juga dianggap berbenturan dengan undang-undang (UU) dan semangat reformasi.

Kekhawatiran masyarakat sipil bukan tanpa sebab. Di masa Orde Baru, Dwifungsi ABRI menjadi perangkat otoritarianisme yang memfasilitasi banyak pelanggaran HAM dan melanggengkan kekuasaan. Pada 2019, ditangkapnya beberapa pendukung Prabowo Subianto - lawan politik Jokowi pada masa pemilihan umum - advokat Eggi Sudjana dan pensiunan jenderal Kivlan Zen atas tuduhan makar juga menjadi isu anti-demokrasi. Tuduhan makar seperti ini belum pernah dilakukan di masa pemerintahan pasca reformasi, kecuali pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memenjarakan aktivis Filep Karma karena mendukung kemerdekaan Papua Barat. Pada era Jokowi, banyak tokoh-tokoh aktivis yang dikriminalisasi. Di antaranya seperti Veronika Koman karena tuduhan provokasi insiden asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur; lalu Dandhy Dwi Laksono atas konten tentang Papua yang dia unggah dalam akun Twitter miliknya. Aktivis Ananda Badudu juga sempat ditahan karena mendukung demonstrasi mahasiswa.

2019(?)-2024(?), Masa Transisi: Pandemi dan Pembusukan Demokrasi

Demokrasi di Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,58 poin dari tahun 2016 menjadi 6,39 pada tahun 2017 dan 2018 dalam Indeks demokrasi yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit. Dalam indeks tersebut Indonesia termasuk dalam kategori sebagai demokrasi tidak sempurna (flawed democracy). Status ini artinya Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang relatif bebas dan adil dan menghormati kebebasan sipil dasar, namun memiliki beberapa persoalan seperti pelanggaran kebebasan media serta persoalan tata kelola pemerintahan. Berdasarkan data Badan Pusat Stastik tahun 2018, Indonesia juga mengalami penurunan pada indeks aspek kebebasan sipil sebesar 0,29 poin, dan pada aspek hak-hak politik turun sebesar 0,84 poin dibandingkan tahun 2017. Bahkan, pemerintahan Jokowi seperti tidak mau belajar dari sejarah Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru yang menghegemoni tafsir tunggal Pancasila untuk menggebuk lawan-lawan politiknya. Meski sedang berada di tengah pandemi, pembahasan RUU HIP lalu BPIP itu tetap dipaksakan untuk berlanjut. Demikian pula soal UU tentang penanganan Covid-19, RUU Minerba, dan lain-lain.

Dengan semua faktor yang telah disebutkan, rezim ini seakan mengulang nyaris seluruh kesalahan sejarah yang dilakukan oleh para pendahulunya, terutama kediktatoran Orde Lama dan Orde Baru, hanya saja dalam cara yang sama sekali baru. Setiap peringatan kepada pemerintah selalu dihadapi dengan sikap denial. Dengan krisis akibat pandemi ini tengah membayang, demikian juga Perang Dingin 2.0 antara Amerika Serikat dengan Tiongkok tengah memanas, tidak seriusnya pemerintah menangani pandemi yang oleh sebagian ahli internasional diperkirakan baru akan hilang antara 2022-2025, menguatnya gejala oligarki dan politik dinasti, pelemahan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, penggunaan buzzer yang semakin menyimpang dari akal sehat, dan masih banyak lagi; segalanya menampakkan suatu gejala pembusukan di seluruh bidang.

Segala pembusukan yang terjadi hari-hari ini, sejatinya merupakan semacam pintu gerbang bagi momentum-momentum perubahan, yang amat dirindukan oleh sejarah. Malam akan semakin pekat sebelum fajar menjelang. Tanaman perintis akan bertunas setelah hutan terbakar. Segenap intervensi akal sehat tidak akan lagi berguna dalam mengurai benang kusut keadaan. Itu karena memang rumus sejarah sedang bekerja. Kita mesti bersiap untuk membawa diri kita memasuki suatu era baru dalam siklus sejarah, yang saya namakan “gelombang keempat Indonesia”. Tema besar perjuangan dalam gelombang keempat Indonesia ini ialah, mewujudkan suatu negara bangsa modern, berasaskan demokrasi non-liberal, dengan falsafah hidup Pancasila yang non-sekuler, melalui suatu pembaharuan yang berakar kokoh pada tradisi dan perbendaharaan lama.

Referensi

Bachtiar, T. 2016. Lajur-lajur Pemikiran Islam: Kilasan Pergulatan Intelektual Islam di Indonesia. Depok: Komunitas NuuN.

Bachtiar, T. 2017. Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia: Kritik-kritik Terhadap Islam Liberal dari H.M. Rasjidi Sampai INSISTS. Jakarta: Pustaka Al-Kaustar

Carey, P. 2001. Asal Usul Perang Jawa : Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh. Yogyakarta : LKiS.

Matta, A. 2014. Gelombang Ketiga Indonesia: Peta Jalan Menuju Masa Depan. Jakarta: The Future Institute.

Yacob, D dan Syam, F. 2016. “Gerakan Politik Tirto Adhi Soerjo”. Jurnal Politik dan Masalah Pembangunan, Vol. 12 No. 01.

Geotimes.co.id: Utama, Ari Putra. (2020, 15 Juni). Fenomena Kemunduran Demokrasi di Era Joko Widodo. Diakses pada 16 Agustus 2020 dari https://geotimes.co.id/opini/fenomena-kemunduran-demokrasi-di-era-joko-widodo/

Pikiran-rakyat.com: Arifianto, Bambang. (2020, 27 April). Di Era Jokowi, Kemunduran Demokrasi Semakin Parah. Diakses pada 16 Agustus 2020 dari https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01372312/di-era-jokowi-kemunduran-demokrasi-semakin-parah

Comments

  1. ada 9 permainan poker menarik di AJOQQ :D
    ayo segera bergabung dan dapatkan bonusnya :D
    WA : +855969190856

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Siklus Tantangan dan Respons Peradaban Menurut Arnold Joseph Toynbee