Peradaban Sebagai Satuan Sejarah Bagian II: Alasan Ditinggalkannya Konsep Peradaban dalam Studi Sejarah dan Mengapa Ia penting untuk Digali
Historiografi sejak abad ke-19 memiliki karakteristik yang nasionalistis, yaitu berkutat pada penulisan sejarah negara-bangsa. (Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 2013, Yogyakarta: Tiara Wacana, hal 40)
Alexandre Deulofeu, seorang filsuf sejarah asal Catalonia dalam bukunya “La Matemática de la Historia” (Matematika Sejarah), menyatakan bahwa skala terbesar dari sejarah adalah suatu peradaban.
“Laporan para pelancong dan penjelajah seperti Bougainville, Cook, dan Alexander von Humboldt, menggambarkan dengan keakuratan ilmiah dan detail yang jelas tentang masyarakat yang tampaknya berkembang berdasarkan prinsip yang sangat berbeda dari yang ada di Eropa. Peradaban Eropa belum tentu merupakan puncak atau titik akhir evolusi umat manusia; itu hanyalah salah satu dari sekian banyak peradaban.” [Krishan Kumar, 2014, hal 822]
Alasan Ditinggalkannya Konsep
Peradaban dalam Studi Sejarah
Terdapat banyak alasan mengapa konsep peradaban ditinggalkan dalam
studi sejarah. Tulisan ini akan membahas beberapa di antaranya. Pertama,
sejarah dunia pada era modern cenderung berkutat pada skala negara-bangsa (nation-state).
Hal ini tidaklah aneh, mengingat negara-bangsa adalah realitas sosial dan
politik yang mendominasi era modern ini, terutama semenjak Revolusi Perancis
dan era hegemoni bangsa-bangsa Eropa, yaitu menjelang akhir abad ke-15, di mana
abad-abad selanjutnya, dunia berada dalam hegemoni Belanda, Portugal, Britania
(dua kali), dan Amerika Serikat pada setiap abadnya secara berturut-turut.
Pada masa-masa itulah, negara-bangsa sebagai entitas sejarah, yang
sebelumnya merupakan konsep yang sangat Eropa, mulai menyebar ke bagian-bagian
dunia lain yang baru saja lepas dari jajahan negara-negara bangsa Eropa itu.
Konsep negara-bangsa itulah yang lalu diadopsi oleh mereka yang baru merdeka
itu sebagai entitas politik dan sosialnya. Hal ini sebagaimana pula tercermin
dalam pengertian Toynbee.
“Saya menolak kebiasaan masa kini tentang studi sejarah dalam
istilah negara-bangsa; itu semua hanyalah fragmen dari sesuatu yang lebih
besar: suatu peradaban.” Diinterpretasikan dari (Arnold Joseph Toynbee, A
Study of History: The One Volume Edition, 1972, London: Thames and Hudson, hal
15)
Menurut Kuntowijoyo, historiografi dalam abad ke-19 ditandai dengan
ciri-ciri yang berpusat pada penghargaan kembali pada Zaman Pertengahan, munculnya
filsafat sejarah, munculnya teori “Orang Besar”, timbulnya nasionalisme (sejarah
yang berkutat pada negara-bangsa), dan munculnya liberalisme sebagai akibat
Revolusi Inggris pada abad ke-17, Revolusi Amerika, Revolusi Perancis, Perang
Kemerdekaan Prusia, dan revolusi pada 1830 serta 1848. Dengan begitu,
historiografi nasionalistis merupakan salah satu ciri utama penulisan sejarah
sejak abad ke-19. (Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 2013, Yogyakarta:
Tiara Wacana, hal 40)
Sebab lainnya, berhubungan dengan alasan pertama, bahwa hegemoni
dan kolonialisme bangsa Eropa itu turut menginfiltrasi pokok-pokok pendidikan
pada peradaban-peradaban di luar Barat, termasuk dalam sudut pandang terhadap
sejarah dan peradaban. Istilah “civilization”, yang secara sederhana
bermakna peradaban itu, mengalami distorsi pengertian menjadi sangat
etnosentris, sehingga banyak antropolog lebih memilih istilah “negara” daripada
“peradaban”, walaupun istilah negara itu sendiri juga fenomena yang berpusat
pada kultur Eropa.
Dari sekitar 1500-an hingga abad ke-19, misalnya, istilah “civilization”
atau “civilized” tersebut digunakan oleh para antropolog Eropa untuk
memisahkan masyarakat mereka sendiri, yang dianggap mewakili tingkat
perkembangan tertinggi yang mungkin, atau puncak “kemajuan” (yaitu, “beradab”),
dari masyarakat lain, yang dicirikan sebagai primitif, kasar, penuh kekerasan, tidak
berbudaya, eksotis, kurang moral, tidak berhukum, miskin sastra, dan kekurangan
berbagai “kehalusan” lainnya dari masyarakat “beradab”. Sebagai alternatif,
beberapa antropolog menggunakan istilah masyarakat skala besar dan skala kecil.
Peradaban itu, dalam pengertian umum di Eropa, dipandang sebagai
kata bahasa Perancis, setidaknya diklaim demikian. Pada pertengahan abad ke-18,
kata “civilization” atau “civilisation” dimunculkan dari perkembangan
terhadap kata kerja “civiliser” dan partisip “civilisé”. Kata
yang berikutnya itu, pada gilirannya, menggantikan kata sebelumnya “policie
/ police” dan “policé”. Kata itu lalu diserap ke dalam berbagai
bahasa Eropa. Kata itu dinaturalisasi ke dalam bahasa Inggris terutama oleh
James Boswell pada 1770-an, dalam korespondensinya dengan Samuel Johnson.[1]
Boswell menulis:
“He [Johnson]
would not admit civilization, but only civility. With great deference to him I
thought civilization, from to civilize, better in the sense opposed to
barbarity, than civility; as it is better to have a distinct word for each
sense, than one word with two senses, which civility is, in his way of using
it”[2]
Penggunaan istilah baru Boswell sepenuhnya konsisten dengan arti
dominannya pada saat asalnya. Itu karena sebagian besar setuju bahwa dalam
penggunaan awal, "peradaban" hampir seluruhnya moral dan preskriptif.
Itu terkait dengan gagasan "kemajuan" dan perbaikan, dan rujukannya
adalah kemanusiaan secara keseluruhan, dilihat sebagai entitas tunggal yang
berkembang. Antonim standarnya adalah "kebiadaban" (barbarity)
atau "barbarisme" (barbarism). Kemajuan adalah perpindahan
dari barbarisme, keadaan umat manusia yang kasar, tidak berbudaya, tidak
beradab, ke kondisi kehalusan yang lebih tinggi dalam pemikiran dan perilaku —
dengan kata lain, ke peradaban. Di sini peradaban menunjukkan dengan jelas
turunannya dari kata kerja "to civilize" dan partisip "civilized",
yang sendirinya serumpun dengan istilah-istilah seperti “police”, “politesse”,
dan masyarakat yang dipoles atau "sopan" (polite).[3]
Sementara peradaban segera memperoleh makna utama dari suatu
keadaan atau kondisi yang berkembang, dalam penggunaan paling awal — mengikuti
asal verbal — ia sering membawa pengertian bukan tentang kondisi atau keadaan
akhir tetapi dari proses menjadi, "proses peradaban". Sementara makna
proses peradaban berangsur-angsur memberi jalan pada maknanya sebagai kondisi
atau keadaan tertentu, makna sebelumnya tidak pernah hilang sama sekali.
Tradisi penggunaan dan pola pencapaian inilah yang dieksplorasi panjang lebar
dalam karya Norbert Elias, The Civilizing Process.[4]
Penting untuk dicatat bahwa pemahaman tentang peradaban sebagai
karakteristik umat manusia secara keseluruhan — meskipun beberapa bagian
dipandang lebih maju daripada yang lain — sangat cocok dengan ketidaksukaan,
ketidakpercayaan, atau bahkan penolakan langsung terhadapnya. Bagi beberapa
orang, seperti Rousseau, pengembangan tata krama dan peningkatan kesejahteraan
materi yang terkait dengan peradaban dibeli dengan harga moral yang tinggi.
Peradaban merusak kesederhanaan dan merusak spontanitas kehidupan sederhana
dari mereka yang dicerca sebagai "primitif" dan "biadab".
Meskipun ada, setidaknya bagi Rousseau, tidak ada jalan kembali ke hutan, ada
banyak alasan untuk terus-menerus mengkritik kondisi moral di mana yang disebut
peradaban telah membawa masyarakat modern.[5]
Tradisi kritis ini, yang berasal dari Rousseau, akan berumur
panjang, dan memang belum berakhir hari ini. Itu dilanjutkan oleh tradisi Romantis
dari awal abad kesembilan belas, yang terinspirasi oleh karya-karya seperti Emile
tulisan Rousseau. Bagi penyair Prancis Baudelaire, peradaban adalah “kebiadaban
besar yang diterangi oleh gas”. Penyair dan seniman Romantis juga bukan
satu-satunya yang merujuk pada Rousseau. Terdapat pendapat tokoh sosialis awal,
Charles Fourier, tentang kejahatan yang ditimbulkan oleh “peradaban”. “Semua
orang terpelajar, lihatlah kota-kota Anda dihuni oleh pengemis, warga negara
Anda berjuang melawan kelaparan, medan perang Anda, dan semua keburukan sosial
Anda. Apakah menurut Anda, setelah Anda melihatnya, bahwa peradaban adalah
takdir umat manusia, atau bahwa J.J. Rousseau benar ketika dia berkata tentang
orang-orang yang beradab, bahwa 'Mereka bukan manusia'? ”. Bagi sebagian orang,
peradaban mungkin merupakan pencapaian kemanusiaan yang heroik; bagi yang lain,
ini setidaknya merupakan proses bermata dua, di mana keuntungan dapat dengan
mudah sebanding dengan kerugiannya. (Setidaknya peradaban Barat membawa
kolonialisme, imperialisme, genosida, dan monopoli kapitalistis yang dipandang
buruk oleh lawan-lawannya, bahkan di Barat sendiri)[6]
Gagasan tentang peradaban sebagai kondisi moral yang sedang menuju
kemajuan umat manusia mendasari sebagian besar filsafat sosial dan ilmu sosial
abad kesembilan belas. Apa pun perbedaan mereka, pandangan itu juga dimiliki
oleh para pemikir seperti Hegel, Comte, J. S. Mill, H. T. Buckle, dan Herbert
Spencer. Tetapi relatif di awal perkembangannya, konsep tersebut memperoleh
makna kedua yang menyertainya selama sisa sejarahnya, bahkan sampai batas
tertentu mengancam untuk menggantikan makna sebelumnya. Ini adalah peradaban
dalam etnografinya atau samaran sejarahnya, sebagai bentuk yang bisa dan memang
mengambil banyak bentuk dan gaya. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat
berbicara hanya tentang peradaban dalam bentuk tunggal, tetapi tentang
peradaban dalam bentuk jamak. Pergeseran ke konsep peradaban yang lebih netral,
bebas nilai, dan "ilmiah" tampaknya telah terjadi di suatu tempat
antara tahun 1780 dan 1830, sekali lagi pertama kali di Prancis. Dorongan
khusus diberikan oleh laporan para pelancong dan penjelajah seperti
Bougainville, Cook, dan Alexander von Humboldt, yang menggambarkan dengan
keakuratan ilmiah dan detail yang jelas tentang masyarakat yang tampaknya
berkembang berdasarkan prinsip yang sangat berbeda dari yang ada di Eropa.
Efeknya adalah merelatifkan peradaban Eropa atau Barat, dalam tempat dan waktu.
Peradaban Eropa belum tentu merupakan puncak atau titik akhir evolusi umat
manusia; itu hanyalah salah satu dari banyak peradaban.[7]
Namun demikian, peradaban sebenarnya adalah kata sejarah. Ia
memiliki makna esensial serta konotasi yang perlu dilucuti agar kata tersebut
memiliki makna yang nyata. Tidak ada kesepakatan akademis dan umum yang tepat
tentang konsep tersebut, meskipun mungkin berharga. Secara etimologis, kata
tersebut harus diterapkan pada masyarakat manusia dengan kota sebagai pusatnya.
Dikotomi peradaban dengan barbarisme adalah pelekatan nilai yang merusak makna
sebenarnya dari kata tersebut. Ini sejalan dengan konsep “kemajuan” yang
didiskreditkan. Ini melokalkan kata tersebut ke bahasa Yunani Klasik /
Helenistik dan Eropa abad ke-18 hingga 19. Kata itu pertama kali muncul sebagai
kata tunggal dikarenakan penilaian vis-a-vis barbarisme di antara filsuf
Prancis abad ke-18.
Sebagai kata benda jamak, kata tersebut terbentuk di Inggris abad
ke-19, sebagai kata paralel untuk budaya — seperti dalam Peradaban Klasik. Braudel
mendefinisikan konsep ini sebagai “karakteristik yang umum dalam kehidupan
kolektif suatu periode atau kelompok”. Spengler menggunakan “peradaban” dalam
pengertian — Jerman — yang berbeda. Apa yang sejarawan Inggris dan Amerika sebut
sebagai “peradaban”, Spengler menyebutnya “Hoch Kulturen” —Budaya Tinggi.
Peradaban adalah fase selanjutnya, fase yang rasionalis dan berteknologi dari “Budaya
Tinggi”. Ia menganggap Peradaban sebagai matinya Kebudayaan.
Carroll Quigley memisahkan kelompok sosial manusia menjadi tiga
kategori, dengan cara yang membuat konsep “peradaban” sejalan dengan pikirannya.
1. Kelompok Sosial: Agregat dengan hubungan adat tertentu, yang
menganggap dirinya sebagai satu kesatuan, mampu menentukan siapa yang ada dalam
kelompok dan siapa yang tidak. Ini bisa berkisar dari persaudaraan, ormas,
hingga negara. Suatu kelompok umumnya merupakan bagian dari masyarakat (atau
budaya) yang lebih besar.
2. Masyarakat: Sebuah kelompok yang anggotanya memiliki lebih
banyak hubungan dengan satu sama lain daripada dengan orang luar — sebuah unit
yang terintegrasi dan dapat dipahami. Inilah yang biasanya kita sebut sebagai “budaya”,
dengan segala konsekuensinya, termasuk hubungan yang luas — religius, historis,
intelektual, ekonomi. Sejumlah klan atau suku atau negara adalah bagian dari
masyarakat yang lebih besar yang dengannya mereka dapat berbagi elemen yang
sama: agama, nilai, mitos, bahasa,
ekonomi, dll. Suatu masyarakat dapat memiliki sejumlah kelompok komponen. Dalam
masyarakat sederhana, kelompok-kelompok ini sering disebut sebagai “masyarakat”.
Dalam masyarakat yang kompleks, kelompok-kelompok ini dapat disebut “bangsa”
(orang yang berbagi sejarah luas) atau “negara” (entitas politik) (dua gagasan
yang sangat berbeda).
3. Peradaban: Bagian dari masyarakat, masyarakat produsen yang
kompleks yang memiliki tulisan dan kehidupan kota. “Memproduksi” berarti
pertanian atau industri sebagai lawan oportunis (pemburu / pengumpul). “Kompleks”
membutuhkan lebih banyak ruang untuk definisi, tetapi kebanyakan orang tahu apa
artinya, mungkin ditambah dengan atribut ketahanan sepanjang waktu. Ini membawa
definisi tersebut sejalan dengan apa yang biasanya kita maknai sebagai “peradaban”.
Peradaban Sumeria / Semit bertahan sekitar 2.000-3.000 tahun, dan meninggalkan
warisan dan pengaruh yang dibawa bahkan lebih lama. Sebuah peradaban juga
memiliki elemen pertumbuhan dan evolusi; begitu ia menjadi statis murni, pada
dasarnya ia mati. Begitulah Mesir setelah sekitar 1000 SM, Eropa Klasik /
Bizantium setelah 1000 Masehi.
Semua pandangan itu menunjukkan bahwa para pemikir Eropa berlainan
pandangan soal peradaban (juga kebudayaan). Namun, jika kita tarik benang merah
antara satu sama lainnya, akan tampak bahwa peradaban menurut mereka itu bertalian
erat dengan taraf kehidupan yang maju, tinggi, atau luhur yang diidentikkan
dengan hidup masyarakat yang berpusat pada perkotaan. Lalu, bagaimana konsep peradaban
menurut Islam? Dalam Islam, peradaban itu berakar pada kata bahasa Arab adab
yang bertalian erat dengan istilah dīn (diserap dalam bahasa Indonesia sebagai
din). Peradaban itu sendiri dalam bahasa Arab disebut dengan berbagai istilah,
salah satunya adalah tamaddun (diserap dalam bahasa Melayu dan Indonesia
sebagai tamadun). Perlu tulisan tersendiri untuk membahas persoalan itu, yang
akan membawa kita, insya-Allah, pada rangkaian tulisan berikutnya.
Namun begitu, marilah kita bahas sedikit tentang makna adab dan din
sebagai akar kata peradaban dan tamadun itu sebagai bekal menuju tulisan
berikutnya dan supaya kita dapat memahami mengapa konsep peradaban itu perlu
dihidupkan kembali dalam kajian sejarah. Bagian daripada pengertian ini
sebenarnya telahlah disampaikan dalam tulisan sebelumnya: Konsep
Adab dalam Tafsir Pancasila.
Kata adab dalam bahasa Indonesia berarti “kehalusan dan kebaikan
budi pekerti; kesopanan; akhlak”. Seseorang yang beradab dimaknai sebagai
seseorang yang “(1) mempunyai adab; mempunyai budi bahasa yang baik; berlaku
sopan; (2) telah maju tingkat kehidupan lahir batinnya”.[8]
Sementara menurut asal kata serapannya, adab berkaitan dengan kata kerja bahasa
Arab “adaba” yang berarti mengundang seseorang ke dalam perjamuan (adaba
ila ṭaʿāmih). Dalam perjamuan itulah, sesuatu yang baik dihidangkan untuk
menghormati tamu (adabahu ya’dibahu bi-l-kasr idzā daʿāhu ila ṭaʿāmih). Dengan
demikian, adab itu berkaitan dengan “ta’dīb”, yaitu suatu disiplin
pikiran dan perilaku, kehalusan bahasa, kemuliaan akhlak, serta akuisisi
kualitas dan atribut-baik dalam akal dan jiwa, seperti saat menghormati tamu
dalam suatu perjamuan, yang memperlihatkan karakteristik terdidik, terpelajar, terlatih,
tertata, teratur, patuh, mengerti, sopan, dan penuh dengan kecermatan serta
kehati-hatian langkah (ta’addab). Jika disandingkan dengan kata negeri
(dan konsep komunitas, wilayah, organisasional, atau otoritas lain), seperti
pada frasa “ādaba l-bilād”, kata kerja “adaba” menjadi bermakna
memenuhi suatu negeri dengan keadilan dan kebenaran.[9]
Karena kata kerja “adaba” dan bentuk proses “ta’dīb”
itu dikaitkan dengan suatu disiplin pikiran, maka adab berhubungan dengan aspek
keilmuan (ʿilm), ibarat (ʿibrah), atau pengetahuan (maʿrifah),
yang mana semua itu ialah yang menghindarkan diri seseorang dari segala bentuk
kesalahan. Hal itu untuk memenuhi unsur keteraturan, kepatuhan, dan sejenisnya,
yang ada dalam “ta’dīb” itu. Dengan demikian, adab dapat dikatakan
sebagai sifat-diri yang melindungi pemiliknya dari keburukan, di mana sifat-diri
itu terbentuk oleh suatu proses akuisisi keilmuan, baik melalui pengajaran,
pelatihan, pendidikan, pengaturan, dan lain-lain. Dengan begitu, adab berkaitan
dengan suatu kultur pembelajaran atau literasi yang berbudaya/berbudi luhur. Pembelajaran,
ilmu, dan pengetahuan yang sejati hanyalah yang dapat membuat seseorang menjadi
beradab. Semua bentuk keilmuan yang membuat manusia menyimpang dari kebenaran
adab bukanlah ilmu sejati. Dengan kata lain, adab dapat dianggap juga sebagai
tujuan pedagogi.
Selain itu, bentuk kata kerja “adaba” bila dikaitkan dengan
entitas wilayah, otoritas, organisasional, dan sejenisnya, diartikan sebagai
perbuatan memenuhi sesuatu dengan keadilan dan kebenaran. Dengan begitu, adab juga
berkaitan dengan suatu sikap dan etika profesional dalam mengemban suatu pekerjaan
atau tanggung jawab, dalam rangka menjaga pelaksanaan tanggung jawabnya itu
secara lurus, benar, dan berkeadilan. Sikap dan etika profesional itu tentunya
timbul dari unsur-unsur yang ada sebelumnya, yaitu disiplin pikiran dan
perilaku, kemuliaan akhlak, ilmu pengetahuan, pengalaman pembelajaran dan
pelatihan, dan berbagai hal terkait yang telah disebutkan, yang semuanya bermuara
pada pembiasaan diri untuk menetapi segala hal yang menjadi karakteristik
keluhuran taraf hidup manusia. Dengan demikian, adab bukanlah sekadar
sopan-santun sebagaimana yang jamak dipahami, melainkan sesuatu yang lebih
kompleks.
Untuk menangkap gambaran utuhnya secara sederhana, adab dapat
diinterpretasikan sebagai suatu disiplin jiwa, pikiran, dan badan yang memastikan
seorang manusia mengenali dan menyikapi sesuatu dengan benar (proporsional dan
pada tempatnya). Dengan begitu, adab secara sederhana dapat diuraikan ke dalam
berbagai bagian, seperti adab kepada Tuhan, adab kepada nabi, adab kepada guru,
adab kepada orang tua, adab kepada alam, dan lain-lain. Manusia yang beradab
adalah manusia yang mampu membedakan setiap entitas tersebut dan memberikan hak
yang sesuai pada masing-masingnya, yang menjadi kewajiban yang ditanggung oleh
orang tersebut. Seseorang yang ramah dan sopan pada tetangganya tidak dapat
disebut beradab jika melakukan eksploitasi yang merusak alam (biadab pada
alam). Seseorang yang menghormati orang tuanya tidak dapat disebut beradab jika
tidak menghargai gurunya. Demikian juga seseorang yang baik pada manusia tidak
dapat disebut beradab jika ia tidak menempatkan otoritas Tuhan, nabi, dan ulama
pada tempat yang semestinya.[10]
Dari sini, kita dapat melihat kaitan yang erat antara adab dengan
ilmu dan proses pembelajaran (termasuk pembiasaan dan pelatihan). Seseorang
yang mendapatkan pengetahuan yang parsial dan dualis, tidak akan dapat mencapai
kebenaran ilmu yang sejati. Itu karena proses berpikir dan membuat-penilaian
seseorang yang demikian akan menjadi paradoksal, penuh pertentangan dan
inkonsistensi. Hal itu seperti orang yang mengatakan, “Walaupun saya seorang
pelacur atau LGBT, saya orang yang baik secara sosial,” atau perkataan, “Walaupun
saya sering berbohong, saya pemimpin yang baik dan merakyat.” Pemikiran dualis
yang paradoksal itu pada akhirnya akan menghasilkan kerusakan-kerusakan, karena
standar kebenaran tidak lagi integral, sehingga manusia tidak lagi menjadi
beradab secara utuh. Hal itu membawa indikasi bahwa segala pemikiran, sikap,
perilaku, dan perbuatan yang benar adalah adab; dan ia berasal dari pengambilan
keputusan yang tepat, yang disebut sebagai hikmah; pengambilan keputusan yang
tepat itu berakar dari pengetahuan yang benar, yang disebut sebagai “al-ʿilm”,
yang umumnya diterjemahkan sebagai ilmu saja, yang lengkapnya ialah ilmu yang
benar dan sejati.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa segala kerusakan yang
terjadi berkaitan dengan ulah tangan manusia, seperti kemiskinan sistemis,
kerusakan alam, pemanasan global, penyakit seks menular, ketimpangan ekonomi
berlebihan, terputusnya pewarisan demografi, rusaknya peran institusi keluarga,
dan lain-lain, sejatinya berakar pada satu titik yang sama, yaitu hilangnya adab.
Hilangnya adab itu berasal dari kebingungan dalam pengambilan sikap atau keputusan,
yang berarti ketiadaan hikmah. Ketiadaan hikmah itu berawal dari ketiadaan
ilmu. Bukan berarti bahwa ketiadaan ilmu itu sama dengan tidak majunya sains
dan teknologi. Ilmu di sini ialah ilmu sejati, suatu pengetahuan yang membuat
manusia dapat mengatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah
salah. Tidak semua sains (sosial maupun natural) dan teknologi adalah ilmu yang
benar dan sejati. Sains dan teknologi itu secara inheren memiliki kandungan
kebaikan dan keburukan di dalamnya, yang harus bisa dipilah oleh manusia
menggunakan hikmah yang dia miliki. Namun, dunia pos-modern tempat manusia
hidup saat ini, boleh dibilang merupakan dunia dengan kemajuan sains, tapi
miskin hikmah ilmu.[11]
Dalam pengertian adab pada uraian sebelumnya, telah teranglah
dibahas bahwa adab tiada lain ialah berkaitan dengan suatu disiplin jiwa,
akal-pikiran, dan badan-lahir manusia untuk mengenali dan menyikapi segala
sesuatu secara tepat, benar, proporsional, dan pada tempatnya, sehingga timbullah
dari dirinya suatu keteraturan untuk senantiasa menetapi jalan yang lurus-benar,
dengan sikap-perilaku yang berkeadilan terhadap setiap realitas yang didapati
dan dirasainya dalam hidup; sehingga terwujudlah dengannya suatu taraf
peri-kehidupan yang luhur secara lahir dan batin.
Dengan demikian, pengertian adab yang seperti itu haruslah berakar
pada suatu kesadaran diri manusia untuk memahami segala realitas hidup hanya
sebagai suatu kesatuan kosmos yang berasal dari Tuhan, dikuasai oleh-Nya, dan
pada akhirnya akan kembali jua pada-Nya; suatu perasaan bahwa ia bukanlah
siapa-siapa dalam bentang luas jagat ini, tiada peduli pada segala kuasa,
harta, kepintaran, dan berupa-rupa kemampuan yang ia miliki, pada hakikatnya
semua ialah milik-Nya; suatu pengertian bahwa keberadaan, pemeliharaan, dan
keberlangsungan dirinya ialah anugerah-kebaikan dari Tuhan, sehingga
menimbulkan pemahaman dalam diri manusia itu bahwa ia berhutang-kebaikan
pada-Nya, dan dengan demikian, berimplikasi pada sikap hidup yang penuh
penyerahan-diri pada aturan-aturan dan ketetapan dari-Nya, termasuk dalam
menentukan standar kebenaran dan kebaikan serta arah hidup. Pemahaman yang
demikian itu ialah yang menjadi bangunan dasar konsep dalam istilah “ad-dīn”,
yang secara sederhana, sering hanya diterjemahkan sebagai agama. Pada langkah
selanjutnya, hendaklah kita terangkan bagaimana jalan adab itu bersumber dari
“din”.
Paham yang terkandung dalam istilah “din”, yang pada umumnya biasa
dipahami serta diartikan sebagai agama belaka, sesungguhnya tiadalah sama makna
serta maksudnya dengan paham “agama” atau “religion” seperti ditafsirkan
dan dipahami dalam sejarah keagamaan Barat, atau lain-lain agama yang bukan
Islam. Namun, mengapakah Islam itu digunakan sebagai kerangkan pandang saat
ini? Jawabannya akan diterangkan kemudian, di antaranya terkait dengan aspek
historis Pancasila serta kedudukan adab sebagai konsep yang inheren dalam
Islam; tapi pada langkah ini, kita terlebih dahulu mengkaji agama itu dalam
kerangka konsep din. Maka, apabila kita mengatakan perihal Islam dan merujuk
kepadanya serta menggelarinya sebagai suatu “agama”, justru sesungguhnya kita
memaksudkan serta memahami makna “agama” itu dengan makna dan maksud istilah “din”,
termasuk segala kandungan makna yang terdapat dalam istilah itu menurut rencana
serta keistimewaan bahasa Arab. Ini dikarenakan apa yang disebut dalam
perkataan kita sebagai “agama Islam” itu, sejatinya ialah penyempitan makna
dari keseluruhan konsep dasarnya, yang aslinya tersebut sebagai “dīn al-Islām”,
yang dalam serapan kamus bahasa Indonesia, dipadankan dengan “din Islam”.
Segala kandungan makna yang terdapat di dalam istilah din itu
merupakan bibit-bibit atau dasar-dasar makna yang semuanya meramukan dengan
seksama dan sempurnanya, segala arti yang terkandung di dalamnya masing-masing;
dan segala bibit-makna atau makna-dasar itu, secara keseluruhan merupakan suatu
kesatuan paham yang padat-mendalam serta jelas pengertiannya, sebagaimana
terbayang dalam Kitab Suci Quran dan bahasa Arab yang dimilikinya. Perkataan
din berasal dari akar-kata Arab “DYN” (dal – ya – nun), yang mengandung banyak
makna-dasar yang semuanya bersangkut-paut paham kandungannya masing-masing,
sehingga jelas menayangkan suatu gambaran pengertian yang meliputi semua
kemungkinan pengertian yang terkandung di dalamnya. Dan kandungan pengertian
yang memerikan maksud paham din, yang menyeluruhi semua makna-dasar yang
terdapat di dalamnya itu, mencerminkan “agama Islam” dengan sepenuh-lengkapnya;
ialah bahwa “agama Islam” itulah yang merencanakan dengan sempurnanya segala
kemungkinan pemahaman yang terkandung dalam makna dan maksud istilah din.
Kadang-kadang, antara pelbagai makna-dasar istilah din itu,
seolah-olah berlaku perselisihan makna; berlaku makna yang masing-masing saling
berlawanan arti dan maksudnya. Namun begitu, kenyataan yang berdasar hanya
kepada pandangan sepintas-lalu ini, tiada harus pula mendatangkan kekeliruan
dalam memahaminya. Justru karena arti dan maksud din itu adalah suatu paham
Islam yang ditafsirkan dan dihidupkan dalam pengalaman hidup insan, maka itulah
kenyataan terdapatnya makna-makna-dasar yang seolah-olah saling berlawanan arti
dan maksudnya satu sama lain itu, sesungguhnya hanyalah membayangkan hakikat
yang nyata terperi pada diri insan sebagai sifat insani jua. Demikian karena
insan itu rohani, tapi juga jasmani; insan itu berakal, tapi juga hewani (ḥayawāni);
insan itu baik, tapi juga jahat; insan itu berilmu, tapi juga jahil; dan seterusnya.
Dan kenyataan hakikat ini, semuanya mengikrarkan dengan tegasnya betapa sangat
istilah din itu, layak menayangkan suatu pemahaman asasi dengan jelas serta
benar memerikan hakikat serta pengalaman lahir dan batin diri insani secara
tepat, tiada bercampur yang samar. Dan daya istilah din itu demikian hingga
dapat menangkap serta membayangkan arti pengalaman insan yang merupakan dasar
dan puncak hidupnya inilah yang membuktikan kejernihannya bagi mencerminkan
kebenaran.
Pelbagai makna-dasar istilah din itu dapatlah dirumuskan kepada
lima makna yang mengandung maksud yang merujuk kepada: (1) keadaan berhutang;
(2) keadaan taat atau takluk menyerahkan diri; (3) kuasa dan daya untuk
mengatur; otoritas untuk menghukum, membalas, memberi penilaian, memberi
ganjaran, memberi perhitungan, dan memberi pertimbangan; (4) bawaan
kecenderungan yang ada pada diri insan atau kebiasaan yang menjadi adat-resam;
dan (5) akidah, jalan, atau syariat yang diikuti oleh seseorang. Dalam
kenyataan yang berikut, akan saya bentangkan suatu penjelasan yang ringkas
tetapi tepat dan padat, yang akan menayangkan maksud terakhir istilah din itu,
yaitu maksud yang membawa makna serta pengertian yang merangkumi keimanan,
kepercayaan, amalan, ajaran, dan anutan yang dihidupkan oleh kaum Muslim, baik
pun secara sendirian maupun berkumpul-gabung sebagai kaum dan umat, dan yang
menjelmakan hakikatnya sebagai agama yang digelari Islam.[12]
Kata kerja dāna, yang terbentuk dari akar kata din,
mengandung makna keadaan berhutang dan makna-makna lain yang terkait dengan
hutang-piutang. Seseorang yang berhutang, dā’in, haruslah bersedia
menaklukkan atau menyerahkan dirinya kepada kehendak dan perintah hukum serta
undang-undang mengenai hutang piutang. Orang itu juga harus menerima
syarat-syarat yang dikenakan kepadanya oleh pemberi hutang, dā’in. Akibatnya, orang yang berhutang
itu telah mengikat dirinya dalam suatu perjanjian dan tugas atau kewajiban
untuk membayar balik atau mengembalikan hutangnya. Keadaan terikat hutang
tersebut dinamakan dayn.[13]
Dalam keadaan berhutang serta terikat perjanjian tersebut
menimbulkan kaitan dengan perkara hukum, pertimbangan, atau penilaian terhadap
sesuatu demi mencapai keputusan yang wajar (daynūnah) dan dengan itu
semua, mengikut mana yang berkenaan padanya (idānah). Keadaan tersebut
akan berlaku dalam susunan tata tertib serta peraturan kehidupan insan yang bermasyarakat, yang hidup
berlandaskan kegiatan perniagaan dan perdagangan dalam kota-kota atau
bandar-bandar, yang dinamakan dengan kata majemuk: mudun atau madā’in.[14]
Bentuk tunggal dari kota atau bandar itu dinamakan madīnah.
Di dalamnya, terdapat kuasa atau otoritas yang menjalankan kerja menjatuhkan
hukuman, memberi pertimbangan dan penilaian, menetapkan kuasa pemerintahan, dan
seterusnya, yang semuanya terangkum dalam makna istilah dayyān. Semua
itu memiliki akar kata yang sama dengan kata din, yang secara sederhana sering
diterjemahkan hanya sebagai agama, padahal secara lebih lengkap dapat dianggap
sebagai suatu tatanan kehidupan adabi dengan tata susila yang luhur untuk
mewujudkan kehidupan masyarakat yang teratur dan tertib dalam kawalan hukum dan
undang-undang serta kuasa keadilan dan hikmat kewibawaan.[15]
Istilah madīnah atau kota itu sendiri berkaitan erat dengan
pembangunan karena kota diwujudkan melalui pembangunan. Kegiatan membina,
membangun, mendirikan bandar-bandar, menaikkan ke taraf yang beradab,
menghaluskan budi pekerti, menimbulkan sifat insani, dan menjadikan manusia
lebih berperikemanusiaan terangkum dalam istilah maddana, yang dengan
demikian tidak hanya mencakup pembangunan fisik. Kata kerja maddana
tersebutlah yang membentuk istilah tamadun.[16]
Kata tamadun dapat diartikan sebagai keadaan kehidupan insan yang
bermasyarakat yang telah mencapai taraf kehalusan tata susila dan kebudayaan
yang luhur bagi seluruh masyarakatnya. Dengan begitu, kata tamadun dapat
dimaknai sebagai peradaban, yang juga berarti negeri berlandaskan kebudayaan,
kebudayaan berlandaskan negeri, atau suatu tempat yang dibangun atas dasar din.[17]
Keseluruhan istilah tersebut memiliki akar yang sama dengan istilah din,
sehingga peradaban memang terkait dengan din, di mana din Islam menjadi dasar
tegaknya suatu tamadun atau peradaban masyarakat yang madani.
Apabila kita bayangkan saja dalam renungan-pandang-akal perihal
gambaran suatu keadaan yang menayangkan berlakunya hukum dan undang-undang
serta keadilan dan kewibawaan, dan suasana adab serta tata-susila luhur
masyarakat dan tamadun – yang semuanya ini terkandung sebagai rumusan yang
jernih dalam paham din seperti yang telah diringkaskan di atas – maka sudah
barang tentulah harus tampak pula suatu keadaan diri insani tertentu yang wajib
ada sebelumnya. Yakni, harus ada terlebih dahulu suatu gaya dan cara berkelakuan
pada diri insan, suatu perangai, yang selari, seia, sebati dengan apa yang
dibayangkan olehnya pada dirinya sehingga terbayang pula pada hukum dan
undang-undang, keadilan dan kewibawaan, suasana adab serta tata-susila-luhur
masyarakat, dan tamadun serta kehalusan budi-pekerti.
Harus ada terlebih dahulu perangai, cara-gaya berkelakuan, atau
keadaan hidup serta kejadian diri: suatu tabiat yang sesuai dengan apa yang
dijelmakan olehnya sebagai keadaan hidup lahiriahnya, sehingga keadaan hidup
lahir yang tampak itu mencerminkan sesuatu yang sudah teradat, sudah jadi pada
diri, sudah menjadi adat-resam diri insani, sudah membayangkan tabiatnya. Maka,
dari kenyataan hakikat inilah, kita dapat memahami keterkaitan yang benar-benar
munasabah yang menimbulkan dari kandungan paham din itu, makna-dasar yang
keempat tersebut: bawaan kecenderungan yang sedia ada pada diri insan, yang
sudah menjadi kebiasaan baginya, yang sudah menjadi adat-resamnya sehingga
dapat digelari sebagai perangainya yang sebenarnya, sebagai tabiatnya.
Perangai dan tabiat asas insani yang sudah menjadi adat-resam ini,
tiada lain adalah kecenderungan asasi diri insan untuk memenuhi suatu
disiplin-keteraturan dalam sikap jiwa, akal-pikiran, dan badan-lahir tertentu,
yang akan membawanya menuju kehidupan dengan taraf adabi yang luhur, suatu
tamadun yang madani. Perangai, tabiat, dan adat-resam yang mengasas dalam diri
insan itulah yang biasa kita namakan sebagai fitrah manusia, suatu
kecenderungan asasi-alami yang sesuai dengan jati-dirinya yang suci dan luhur.
Dengan begitu, segala tata-aturan dan keilmuan yang sejati ialah yang menuntun
manusia untuk menetapi fitrahnya itu, yakni dengan menetapi petunjuk dari
nilai-nilai din, yang padanya itu terdapat tuntunan dari Sang Dayyān,
yang menjadi asal keberadaan dan keberlangsungan manusia itu.
Segala penyimpangan dari din adalah penyelewengan manusia terhadap
tuntunan kesejatian yang memurnikan fitrahnya itu, sehingga kondisi yang
menjadi prasyarat terbentuknya diri yang beradab tiada lagi terbentuk. Degan
demikian, peradaban yang terbentuk dari diri yang berlepas dari tuntunan din
itu ialah peradaban yang tiada lagi madani, yang akan membawa manusia itu
kepada kerusakan akibat kebingungan dan kesalahan penentuan standar, penilaian,
dan pertimbangan. Peradaban yang tiada lagi madani itu ialah peradaban berdasar
nalar-akal dan hasrat-nafsu manusia belaka, tanpa tuntunan kebaikan dan
kebenaran abadi, dengan nilai-nilai fundamen yang mudah bergeser dalam bentang
dinamika zaman. Peradaban seperti itu pula, sungguh pun ia mampu menghadirkan
kesejahteraan dan kebahagiaan, hanyalah kesejahteraan dan kebahagiaan parsial
belaka: kaya tapi gampang bunuh diri, makmur tapi tingkat stres tinggi,
berkuasa tapi zalim, dan seterusnya.
Pada takat ini, telah diuraikanlah kelima makna kata din yang
disebutkan sebelumnya, dan bagaimana ia bertalian-erat dengan konsep adab. Hal
itu karena din itu sendiri ialah suatu kesadaran dalam diri manusia bahwa ia
berhutang kepada Allah, Sang Dayyān, yang telah memberikannya kehidupan
serta menjaga keberlangsungan hidupnya; yang dengan kesadaran itu, menumbuhkan
suatu tanggung jawab untuk membayar-balik hutangnya, dalam jalan
menyerahkan-diri atau tunduk pada segenap otoritas, penilaian, pertimbangan,
dan tuntunan Tuhan, yang jika diejawantahkan secara konsekuen, akan mewujudkan
suatu pribadi yang berkomitmen penuh terhadap keseluruhan tata-aturan itu,
sehingga ia akan hidup memenuhi kecenderungan fitrahnya yang luhur, baik secara
sendirian maupun sebagai umat; yang dengan demikian, pada akhirnya akan mewujudkan
tata masyarakat yang madani, suatu peradaban yang dibangun atas dasar din,
suatu tamadun, suatu tata kehidupan adabi dengan tata-susila yang luhur dengan
kehidupan masyarakat yang teratur dalam kawalan hukum dan undang-undang serta
kuasa keadilan dan hikmat kewibawaan.
Demikianlah konsep adab dan din berjalin-rekat. Tampak nyata pula
bahwa din itu mengilhami dan menjiwai konsep adab sebagai perwujudan ideal
manusia yang mengemban wasiat/tugas/amanah din itu. Dalam pada itu, teramat
kokohlah pengertian adab dalam pandangan hidup Islam, yaitu berakar pada akar
yang satu, berbeda dari pengertian Barat terhadap peradaban (Civilization)
yang telah dibahas di atas, sebagai pengertian yang berlainan belaka dan bahkan
dapat bertentangan antara satu sama lain, terutama bila dihubungkan dengan
konsep kebudayaan (Hoch Kulturen). Dengan demikian, pentinglah guna
memperbaiki dunia ini, terutama umat ini, dan membuatnya lebih beradab, mewujudkan
peradaban atau tamadun Islam yang luhur, kita menggali kembali konsep adab itu
(serta hubungannya dengan din) dalam studi-studi tentang sejarah dan
perencanaan masa depan. Makan adab, din, peradaban, dan tamadun itu hendaklah
kita hubungkan sebagai suatu kerangka pandang kita dalam melakukan penulisan
sejarah.
[1] Krishan Kumar. “The Return of Civilization – and of Arnold Toynbee”. Comparative
Studies in Society and History. Vol. 56, No. 4, 2014, hal. 820. [DOI: 10.1017/S0010417514000413].
[2] Ibid, hal. 821.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid, hal 822.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] KBBI daring, https://kbbi.web.id/adab,
diakses pada 12 Mei 2020
[9] Edward William Lane. An Arabic-English Lexicon. Book I – Part 1.
(London: William and Norgate, 1863), hal 34, berdasarkan Lisanul Arab Ibnu Manẓur.
[10] Naquib al-Attas. Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993),
hal.105
[11] Naquib al-Attas, Ibid., hal.106-110
[12] Hamid F. Zarkasyi. “Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam”. Tsaqafah
Jurnal Peradaban Islam. Vol. 11, No. I, Mei 2015, hal. 5-6. [DOI: http://dx.doi.org/10.21111/tsaqafah.v11i1.251 ]. Lihat juga Naquib
Al Attas. Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak (Kuala Lumpur: IBFIM,2013) hal.5
[13] Al Attas. Ibid., hal.5-6
[14] Al Attas. Ibid., hal.6
[15] Al Attas. Ibid., hal.6-7
[16] Al Attas. Ibid., hal.8
[17] Zarkasyi. Op cit., hal.7-8
Comments
Post a Comment