Pergiliran Peradaban dan Jebakan Thucydides: Satu Refleksi Ringan
Beberapa lama pasca meriwayatkan saga Perang Peloponnesia,
Thucydides merenungkan suatu ketentuan dalam perputaran sejarah. Bahwa naiknya
suatu peradaban akan berarti turunnya peradaban yang lain, sehingga suatu
periode transisi hegemoni peradaban biasanya ditandai dengan konflik, termasuk
perang, yang kemudian dikenal sebagai “jebakan Thucydides”.[1] Perputaran
peradaban ... “Itulah hari-hari (kemenangan dan kekalahan, kemajuan dan kemunduran,
kejayaan dan kehancuran, kebangkitan dan keruntuhan) Kami pergilirkan di antara
manusia ... Jika kalian terluka, telah terluka pula kaum-kaum sebelum kalian
... Telah berlalu sebelum kalian sunan-sunan (jalan, sunah, kaidah, metode bergulirnya
sejarah) ... Maka, berjalanlah kamu di muka bumi (ambillah pandangan dalam
perspektif ruang), lalu lihatlah akibat dari orang-orang terdahulu (lakukanlah
rasionalisasi-observasi-empiris dalam perspektif waktu).”
Perang Peloponnesia (431-404 SM) ialah konflik militer pada zaman
Yunani kuno, antara Liga Delia yang dipimpin oleh Athena melawan Liga
Peloponnesia yang dipimpin oleh Sparta. Sejarawan umumnya membagi perang ini
dalam tiga fase. Fase pertama ialah Perang Archidamia, yaitu saat Sparta
meluncurkan invasi berulang ke Attica, sementara Athena memanfaatkan supremasi
lautnya untuk membajak tepian Peloponnesa dan bermaksud menekan tanda-tanda
kerusuhan di negerinya. Periode ini berakhir pada 421 SM, ditandai dengan
Perjanjian Damai Nicias, tetapi segera batal akibat meletusnya pertempuran lagi
di Peloponnesa. Pada 415 SM, Athena meluncurkan kekuatan ekspedisi besar untuk
menyerang Syracusa, Sisilia. Serangan itu gagal total dengan tumbangnya seluruh
kekuatan pada 413 SM. Ini mengantarkan pada tahap terakhir perang, yang umum
disebut sebagai Perang Decelean atau Perang Ionia. Pada takat ini, Sparta
menerima bantuan dari Kekaisaran Archaemenida yang menyokong berbagai
pemberontakan di sejumlah wilayah subyek Athena di Laut Aegea dan Ionia, yang
meruntuhkan supremasi laut Athena. Hancurnya armada Athena di Pertempuran
Aegospotamia mengakhiri perang hingga Athena menyerah tahun berikutnya.
Meskipun istilah “Perang Peloponnesia” tidak pernah digunakan oleh
Thucydides, salah satu sejarawan paling penting peristiwa itu, fakta bahwa istilah
itu umum digunakan mencerminkan simpati para sejarawan modern yang
Athena-sentris. Sejumlah sejarawan bahkan menyebut perang Peloponnesia sebagai
Perang Attic. Perang itu sendiri merombak dunia Yunani kuno. Pada level
internasional, Athena, yang sebelum perang itu tengah menanjak menjadi
negara-kota terkuat di Yunani, tereduksi menjadi wilayah-wilayah subyek.
Sementara itu, Sparta diperkukuh sebagai kekuatan utama Yunani. Dampak ekonomi begitu
berimbas seantero Yunani, kemiskinan merajalela di Peloponnesa, sedangkan
Athena babak-belur, dan tidak pernah mencapai lagi kemakmurannya sebelum
perang. Perang Peloponnesia menandai akhir dramatis abad kelima sebelum Masehi
dan masa keemasan Yunani. Konflik antara Athena yang demokratis dan Sparta yang
oligarkis itu juga menghasilkan faksi-faksi politik di dalam pelbagai negara-kota
lain, yang membuat perang jadi lebih sering terjadi di dunia Yunani kemudian. Konflik
itu diikuti oleh Perang Corinthia (394-386 SM).
Perang itu dilatarbelakangi oleh, dalam bahasa Tuchydides, perkembangan
kekuatan Athena sebagai hegemoni peradaban baru di wilayah itu, yang menjadi
alarm bagi kekuatan hegemoni lama, Lacadaemon, yaitu Sparta. Sungguh hampir
lima puluh tahun sebelum perang itu ditandai dengan tumbuh pesatnya Athena
sebagai kekuatan mayor di dunia Mediterania. Imperiumnya bermula sebagai
kelompok kecil sejumlah negara kota yang disebut Liga Delian – dinamai menurut
pulau Delos, tempat mereka menyimpan harta – yang bersatu untuk memastikan
bahwa perang Greko-Persia benar-benar berakhir. Setelah mengalahkan invasi
Persia kedua ke Yunani pada 480 SM, Athena memimpin koalisi negara-kota Yunani
yang melanjutkan Perang Greko-Persia dengan menyerang teritori Persia di Aegea
dan Ionia. Apa yang datang kemudian adalah periode Pentecontaetia (dinamai oleh
Thucydides), di mana Athena benar-benar menjadi suatu imperium, menjalankan
perang agresif melawan Persia dan mendominasi negara-kota yang lain. Athena
berhasil mengendalikan seluruh Yunani kecuali Sparta dan sekutunya, dalam
periode yang dikenal sebagai Imperium Athenia.
Pada bagian tengah abad itu, Persia terdesak mundur dari Aegea dan
terpaksa melepas kendali wilayah yang luas ke Athena. Secara bersamaan, Athena
meningkatkan kekuatannya dengan masif. Sejumlah sekutu yang semula independen direduksi
menjadi negara bawahan yang membayar ke Liga Delia. Bayaran itu digunakan untuk
menyokong armada militer dan pekerjaan umum yang masif di Athena, yang lalu
menimbulkan kebencian. Friksi antara Athena dengan negara-negara Peloponnesia bermula
pada periode Pentecontaetia. Saat Persia beranjak dari Yunani, Sparta bermaksud
untuk mencegah rekonstruksi dinding-dinding Athena (tanpa dinding itu, Athena akan
rentan terhadap serangan darat), tapi digagalkan. Konflik antarnegara itu
kembali menyala pada 465 SM, saat sebuah pemberontakan pecah di Sparta. Sparta
memanggil pasukan seluruh sekutunya, termasuk Athena, untuk membantu mengatasi
pemberontakan itu. Athena mengirim kontingen 4.000 hoplites (pasukan bersenjata
tombak dan perisai yang dapat membentuk formasi phalanx), tapi saat tiba, mereka
ditolak oleh Sparta, sementara pasukan sekutu lain dibiarkan tinggal. Menurut Thucydides,
Sparta bertindak demikian karena takut Athena akan beralih mendukung
pemberontak. Athena yang merasa dipermalukan lalu membatalkan aliansinya dengan
Sparta. Saat para pemberontak akhirnya menyerah dan diusir, Athena menerima
mereka di kota strategis Naupaktos di Teluk Corinth.
Demikianlah konflik itu diteruskan dengan perebutan hegemoni
wilayah Yunani oleh Athena dan Sparta. Perebutan pengaruh itu diikuti dengan persaingan
meluaskan aliansi dan intrik-intrik untuk memecah aliansi lawan. Meski sempat
mengalami 30 tahun perjanjian damai sejak musim dingin 446/5 SM, Perang
Peloponnesia itu akhirnya terjadi juga. Hal ini menandakan bahwa naiknya
pengaruh suatu negara atau peradaban dalam kancah regional atau global,
cenderung akan menghasilkan konflik dengan kekuatan lain yang telah ada
sebelumnya. Hasilnya adalah suatu bipolaritas sosio-geopolitik yang tidak hanya
melibatkan kekuatan penantang baru dan kekuatan lama itu, tapi juga menyeret
negara-negara atau peradaban-peradaban lain yang ada di sekitarnya, biarpun
negara atau peradaban yang terlihat kecil dan tak berarti sekalipun. Dengan begitu,
konflik naik-turun gelombang peradaban itu akan menghasilkan krisis akibat bipolaritas
dalam skala yang meluas. Sulit untuk menjadi netral dalam situasi demikian,
karena jika tidak bersama akan dianggap sebagai musuh. Demikian mirip dengan
adagium yang masyhur di Amerika saat Perang Dingin saat Dulles bersaudara aktif
menjabat dulu, “You either with us or against us”.
Di sini, kita mendapati fenomena Jebakan Thucydides, yaitu bahwa
kenaikan atau kebangkitan suatu peradaban akan diikuti oleh penurunan atau
keruntuhan peradaban yang lain. Namun, jika kekuatan lama tadi tidak terima
dengan kemunduran mereka dan berkembangnya pesaing baru itu, mereka dapat melakukan
intervensi-intervensi yang dapat mengubah arah sejarah. Intervensi itu tentu
saja memiliki aspek-aspek yang demikian kompleks yang mesti direkayasa
sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan perubahan yang menguntungkan diri sekaligus
meruntuhkan lawan. Namun, kadang kala kita mendapati dalam sejarah itu, bahwa
kedua kekuatan bipolar yang tengah bertarung itu justru sama-sama runtuh atau
mengalami kemunduran. Pada kasus yang demikian, umumnya akan menjadi peluang
bagi pihak ketiga, pihak lain yang mungkin kecil, tidak dianggap, untuk menjadi
kuda hitam yang tiba-tiba menyeruak dan membesarkan peradabannya sendiri, merebut
pengaruh dua peradaban hegemoni itu. Kita mendapati hal ini pada pertarungan
Persia dengan Romawi Timur di sekitar Syam, yang kemudian justru membuat
keduanya melemah. Yang menang tentulah suatu peradaban lain, bahkan yang
dianggap baru sama sekali, yaitu yang muncul dari wilayah tandus di sebelah
selatan mereka.
Tempat yang dulunya begitu terbelakang, tandus, dan bahkan buta
huruf itu sekonyong-konyong melahirkan peradaban yang bertumbuh-kembang
demikian pesatnya dan menyebarkan pengaruh ke berbagai penjuru dan suku-bangsa
di dunia. Peradaban baru yang menelan bulat-bulat Persia dan melucuti sisa-sisa
Romawi di Timur itu. Namun, peradaban itu, setelah berabad-abad mengalami
kemajuan, akhirnya mundur dan jatuh juga; dan pada saat yang bersamaan, hegemoni
dunia berpindah lagi ke Eropa, terutama pasca era penjelajahan samudra. Di
sinilah sekali lagi kita melihat, bahwa sejarah itu bergulir seperti gelombang,
seperti siklus yang berjalan. Maka, tepatlah arah kita untuk melanjutkan studi
yang telah kita mulai sebelumnya, dalam tulisan-tulisan kita seperti “Perspektif
Siklus dan Teori Gelombang Nikolai Kondratiev” dan “Siklus
Tipologi Peradaban Menurut Pitirim Sorokin”, untuk kita kembangkan lagi
dengan meninjau berbagai model siklus dan gelombang sejarah peradaban yang
belum kita ulas, seperti Model Gelombang Panjang George Modelski, Teori
Generatif Strauss-Howe, Matematika Gelombang Sejarah Alexandre Deulofeu, dan
seterusnya.
Tak lupa, penting juga bagi kita untuk meninjau bipolaritas
sosio-geopolitik global yang senantiasa terjadi sepanjang sejarah, yang pada banyak
babaknya melibatkan peradaban Greko-Romawi, yang dulu juga pernah berhadapan
dengan peradaban kita, beserta segenap turunannya itu, terutama sekali dari
cabang Norman-Anglo-Saxon, berikut pula pemain lawannya dalam konteks
kontemporer, yaitu Tiongkok era sekarang yang berpadu padan dengan Persia dan tempat
asalnya Pavel Vlasov itu. Juga perebutan pengaruh antara OBOR, jalur sutra
model baru, dengan kubu Trans-Atalntik-Pasifik yang lewat laut itu. Lalu,
barulah kita hendak meraba di mana posisi kita dalam gelombang sejarah ini, dan
mencoba menemukan langkah-langkah intervensi sejarah dalam berbagai rentang dan
skala, yang bisa kita lakukan untuk kebangkitan kembali peradaban kita. Di manakah
kaki kita berdiri dalam musim perubahan ini, itulah yang penting kita gali pada
tulisan selanjutnya.
Dan sekali lagi kita mesti mengingat suatu pelajaran yang kita
terima saat kekalahan dalam Perang Uhud dulu, yang begitu bertalian erat dengan
siklus dan gelombang perputaran serta pergiliran peradaban dan sejarah ini.
Pelajaran itu mestilah menjadi sumber inspirasi bagi kita untuk senantiasa
mengikhtiarkan segenap daya-upaya insani terbaik berdasarkan suatu
langkah-langkah yang terukur dan empiris, yang berlandaskan sunan atau kaidah
jalannya sejarah, yang kita pelajari dalam gelombang ini. Marilah sekali lagi
kita mengingatnya!
“Itulah hari-hari (kemenangan dan kekalahan, kemajuan dan kemunduran,
kejayaan dan kehancuran, kebangkitan dan keruntuhan) Kami pergilirkan di antara
manusia ... Jika kalian terluka, telah terluka pula kaum-kaum sebelum kalian
... Telah berlalu sebelum kalian sunan-sunan (jalan, sunah, kaidah, metode bergulirnya
sejarah) ... Maka, berjalanlah kamu di muka bumi (ambillah pandangan dalam
perspektif ruang), lalu lihatlah akibat dari orang-orang terdahulu (lakukanlah
rasionalisasi-observasi-empiris dalam perspektif waktu).”[2]
Perjuangan kita masih panjang; belum saatnya kita memetik buah.
[1] Editor History.com. “Thucydides” (History.com, 9 November 2009, https://www.history.com/topics/ancient-history/thucydides
diakses pada 2 Juni 2020)
[2] QS 3: 137-140
Comments
Post a Comment