Bipolaritas Global, Krisis, dan Musim Perubahan: Antara Romawi-Persia dan Amerika-Tiongkok


Dunia ini sejak dulu sering berjalan secara bipolar. Peradaban Greko-Romawi, berikut segenap turunannya, terutama jalur Norman-Anglo Saxon, bisa dibilang salah satu yang senantiasa menjadi pemain penting dalam bipolaritas global tersebut. Dulu, Romawi (terutama Timur, Byzantium) berhadapan dengan Persia, lalu turunan Romawi berhadapan dengan Arab-Berber-Persia-Andalusia-Turki. Lalu Inggris-Perancis berhadapan dengan Jerman-Austria-Hongaria dalam The Great War. Sekutu dan Poros Jerman berhadapan dalam Perang Dunia II, lalu Amerika berhadapan dengan Soviet dalam Perang Dingin. Di era kini, perebutan hegemoni dunia terjadi antara Amerika dengan Tiongkok. Karena itulah, terminologi Romawi menjadi penting sebagai objek pembelajaran, mengingat kekhasannya sebagai sistem peradaban yang pula melahirkan sistem pemikiran tertentu, sampai ia diabadikan dalam kalimat berikut.
“Telah dikalahkanlah bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat. Dan mereka, setelah kekalahan mereka itu, akan menang kembali. Dalam beberapa tahun lagi.”[1]
Beranjak sejenak dari hal ini, dalam masa krisis yang dipicu oleh pandemi seperti sekarang ini, pentinglah bagi kita untuk mengingat kembali karya para pemikir yang menulis tema-tema tentang siklus perubahan, karena faktor-faktor pergeseran besar dalam sosio-geopolitik dunia demikian mencakup wabah, perang, dan persoalan ekonomi. Demikian pula musim perubahan akan terjadi terkait dengan bipolaritas dunia yang tengah kita alami, sebagaimana ditunjukkan dengan eskalasi ketegangan antara kedua kutub itu, dalam konteks era kita Amerika-Tiongkok, terutama dalam upaya-upaya terkait penanganan wabah dan krisis ini. Sehingga, dapatlah kita mengatakan bahwa bipolaritas dunia itu bertalian erat dengan siklus perubahan atau gelombang panjang dalam sejarah peradaban manusia.
Mengapa Romawi?
Ayat dalam surat Ar Rum yang berisi cerita tentang pertempuran antara Persia dan Romawi, yang memiliki kandungan suatu peristiwa geopolitik ini, justru diturunkan pada saat umat Muslim masih berada di periode Mekkah dan masih sangat sedikit jumlahnya. Peristiwa perebutan hegemoni antara Persia dan Romawi itu terjadi pada wilayah-wilayah sekitar Syam, yaitu yang dikenal sebagai kawasan Bulan Sabit Subur. Namun, justru dengan menurunkan ayat ini lebih awal, Allah seakan sedang memberikan pesan pada kaum Muslimin ketika itu, bahwa lini masa sejarah mereka ke depan akan bertemu dengan lini masa sejarah kedua peradaban itu, sehingga mereka perlu mengetahui sedari awal pergulatan-pergulatan yang terjadi di antara keduanya.
Di sinilah makna dalam kisah surat ini, masuk ke dalam kesadaran kaum Muslim guna membentuk suatu yang disebut sebagai kesadaran dan pemahaman geopolitik. Itu lantaran lini masa sejarah kaum muslimin di masa yang akan datang, pasti akan berinteraksi dengan lini masa sejarah peradaban Romawi dan Persia yang menjadi dua kutub global ketika itu, sehingga mereka perlu menyadari hal ini sejak awal. Karena itu, sedari dini sekali usia umat ini,  Allah SWT sudah mulai bercerita kepada mereka tentang Persia dan Romawi, supaya kosa kata ini sudah ada di benak mereka sedari awal sehingga mereka dapat mempersiapkan diri untuk persinggungan dengan kedua konsep peradaban, imperium, dan kekuatan global itu.
Lebih jauh lagi, jika kita meninjau sejarah kawasan Mediterania pada masa itu, kita akan mendapati bahwa peristiwa yang terjadi dekat dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW, yaitu serangan pasukan Abrahah ke Kakbah, tiada lain ialah suatu kepanjangan atau proksi dari perebutan hegemoni kedua imperium itu melalui kerajaan-kerajaan satelit mereka yang ada di sekitar Jazirah Arab, Mesir, dan Tanduk Afrika. Dengan demikian, sudah sejak kelahiran beliau, kehidupan Rasul-Allah bertalian akrab dengan suatu peristiwa geopolitik kawasan itu.
Yang menarik di sini adalah, mengapa surat ini dinamai dengan Surat Ar Rum yang berarti Romawi, mengapa ia tidak dinamai dengan Al Farsi atau Al Furs yang berarti Persia? Mengapa pula struktur penulisan bagian-bagian awal surat itu, yang menjadi inti penjelasan tentang pertempuran kedua imperium tersebut, terlihat banyak berpusat dan bertumpu pada repetisi konsep Romawi? Sudut pandang yang diambilnya seakan berada di pihak Romawi, bukan mengambil pandangan Persia atau melakukan cover both sides. “Ghulibat-i-r-Ruum fī adnā-l-arḍ wa hum min-baʿdi ghalabihim sayaghlibūn”. Telah dikalahkanlah bangsa Romawi, di negeri yang terdekat; dan mereka, setelah kekalahan mereka itu, akan menang kembali.
Jika kita melihat sejarah yang terbentang di depannya, kita akan menyadari bahwa, Allah SWT begitu Maha Tahu bahwa setelah peradaban Islam itu tumbuh dan mulai berkembang, ia akan terutama sekali berhadapan dengan peradaban Romawi dan bukan peradaban Persia. Hal itu karena, jika kita tinjau sejarah, nyaris seluruh wilayah yang menjadi domisili peradaban Persia dengan begitu cepat berhasil dilakukan futuḥat dan akhirnya masuk menjadi bagian dari Peradaban Islam, walaupun di kemudian hari, banyak muncul penyimpangan dan huru-hara dari sana, terutama dari wilayah yang dulunya bernama Khurasan. Sementara Romawi, berabad-abad dan bahkan beberapa milenium setelah ayat ini diturunkan, masihlah bersinggungan dengan peradaban Islam, bahkan terjadi di berbagai tempat di dunia yang ada di luar kawasan Bulan Sabit Subur itu, membentang dari Timur ke Barat, dari Utara ke Selatan; dari Ujung Harapan di Afrika hingga tempat tinggal Malcolm X dan Muhammad Ali di Amerika; dari kawasan Balkan di Eropa hingga kawasan Melayu-Nesia di Asia Tenggara. Itu semua lantaran peradaban-peradaban turunan Romawi menjadi peradaban dominan di dunia setelah peradaban Islam itu mengalami kemunduran menjelang abad ke-16, 17, 18, dan 19, dan mengalami puncak kejatuhan terutama setelah Perang Dunia I, Perjanjian Sykes-Picot, hingga 1924.
Dengan demikian, pemakaian sudut pandang dan sentra-narasi Romawi dalam kisah surat tersebut, ialah dikarenakan bahwa persinggungan kaum Muslim dengan peradaban Romawi berlangsung jauh lebih lama daripada persinggungan mereka dengan Peradaban Persia. Yakni, riwayat Persia sudah selesailah sampai di situ, sementara riwayat Romawi tidak selesai sampai di situ. Begitu pula kita mendapati hadis tentang hari kiamat bahwa “Takūm-u-s-Sāʿatu wa-r-Rūmu aktsaru-n-Nās”, hari kiamat akan terjadi dan (pada saat itu) bangsa Rum (Romawi) merupakan bangsa terbanyak di antara manusia. Dengan begitu, dapat pula kita turunkan, bahwa surat ini mengambil sentra Romawi, ialah karena Allah ingin membuat konteks ayat-ayatnya terus relevan hingga generasi-generasi kaum Muslim berikutnya, yaitu bahwa generasi kita dan anak-cucu kita juga akan mengalami suatu pergulatan sejarah yang serupa dengan peradaban Romawi. Dan benarlah kita memang mengalaminya, bahkan hingga pengalaman pahit sekalipun dengan kolonialisme yang dulu pernah dilancarkan oleh berbagai anak peradaban Romawi kepada dunia Islam, terutama yang paling lama dan besar adalah Inggris, Perancis, dan Spanyol. Sebelum ia berpindah tangan kepada hegemoni Amerika Serikat di dunia pos-modern ini, yang tiada lain ialah kelanjutan dari sub-peradaban Norman-Anglo-Saxon, terutama pasca Perang Dunia II.
Selain itu, kisah tersebut seakan juga menggarisbawahi suatu poin penting yang membedakan antara Imperium Romawi dengan Persia. Bahwa, Romawi bukanlah sekadar imperium belaka, melainkan suatu kompleks sistem peradaban yang berjalinan dengan struktur pemikiran, filosofi, dan karakteristik worldview tertentu, sehingga kita dapat mengatakan bahwa cara berpikir Eropa, yang demikian naturalis-empiris itu, merupakan warisan dari cara berpikir Greko-Romawi, yang dalam bahasa Hamid Fahmy Zarkasyi disebutkan, Ionia is the credle of western civilization. [Lihat juga tulisan sebelumnya tentang naturalisme].
Selain itu, perbedaan mendasar antara keduanya adalah rumpun teologi yang dianut oleh kedua imperium itu. Romawi, bagaimanapun juga, tetaplah menjadi suatu bagian dari “ahli kitab” karena imperium itu mengadopsi agama Nasrani sebagai agama resmi negara; dan menurut sebagian peneliti, disebut pula sebagai bagian “rumpun agama samawi”, walaupun saya kurang setuju dengan epistemologi dan ontologi istilah itu. Sedangkan di sisi lain, Persia yang beragama Majusi jelaslah tidak dianggap sebagai bagian dari “ahli kitab”, sehingga otomatis bukan pula rumpun “samawi”. Sehingga demikian, pertarungan kedua imperium itu juga berarti pertarungan dua rumpun turunan din; dan memanglah din itu (agama dalam konsep Islam) bertalian erat dan tiada dapat dipisahkan dari tamadun atau peradaban. [Lihat dua tulisan sebelumnya tentang hubungan din dan tamadun, dalam bahasa Spanyol dan Indonesia]. Dengan demikian, dalam surat itu, disebutkan bahwa saat Persia menang, kaum kafir Quraisy yang menjadi lawan umat Islam kala itu bersuka-ria. Sementara saat hari yang dijanjikan oleh surat ini, yaitu saat Romawi menang kembali, orang Mukminlah yang akan bergembira. “Wa yawma-idzin yafraḥ-u-l-Mu’minūn”. Hal ini menyiratkan suatu konsep yang dapat dijadikan panduan dalam percaturan geopolitik global atau internasional; yaitu suatu hubungan keberpihakan yang dilandasi oleh kedekatan din, worldview, ideologis, atau falsafah hidup; yang digambarkan dengan berpihaknya kaum Muslim era itu pada Romawi yang Nasrani dan ahli kitab; dan berpihaknya kaum kafir Quraisy pada Persia yang Majusi (non-ahli kitab), walaupun keduanya tidaklah menjadi sekutu langsung bagi masing-masingnya.
Pergeseran Kutub Sejarah
Kisah ini juga mengajarkan suatu fakta sejarah pada kita bahwa, hierarki kekuatan global umumnya berlangsung secara bipolar seperti ini. Setelah peradaban Islam tumbuh dan berkembang, peradaban Persia berhasil di-futuh-kan seutuhnya dan sebagian besar peradaban Romawi masih tersisa, sehingga bipolaritas global berpindah dari Romawi-Persia menjadi Islam-Romawi. Kemudian, setelah peradaban Islam melemah dan mengalami kemunduran serta kolonialisme, peradaban Romawi menjadi peradaban dominan, meskipun telah berupa negara-negara bangsa, yang kemudian hari menjadi era bipolaritas baru, antara Dunia Bebas atau Blok Barat yang dimotori oleh orang-orang Norman-Anglo Saxon (termasuk Amerika) dengan Dunia Komunis atau Blok Timur yang dimotori oleh orang-orang Rusia-Slavic di Soviet. Kemudian, Soviet mengalami kejatuhan dan beberapa lama kemudian, bipolaritas global berpindah lagi kepada kutub Dunia Bebas dengan kutub Tiongkok (dengan sistem politik yang komunis dan sistem ekonomi kapitalisme negara atau state-capitalism). Setiap salah satu turun atau runtuh, peradaban lain akan menggantikannya; karena sejarah itu memang berjalan seperti gelombang, ada naik dan turun. [Lihat tulisan sebelumnya]. Demikianlah kecenderungan percaturan geopolitik global berlangsung secara bipolar, dengan peradaban atau negara-bangsa lain hanyalah menjadi bagian yang mendekat atau sekutu salah satu kutub.
Masih Satu Rumpun
Selain itu, menarik untuk dikaji bahwa, sebenarnya peradaban-peradaban atau negara-bangsa yang menjadi poros masing-masing kutub itu, dari dulu sejak sekarang, cenderung berada dalam jalur atau akar rumpun kelompok manusia yang sama. Romawi-Persia sama-sama berasal dari rumpun Indo-Eropa, yaitu kelompok bangsa Centum (Roman, Germanic, Slavic, Vandal, dll.) dan Shatam (Indo-Iranian plateau, yaitu yang tidak bercampur dengan bangsa Dravida). Amerika dan Tiongkok itu juga dekat secara rumpun ras. Barat dan Amerika termasuk rumpun Indo-Eropa. Sementara itu, Tiongkok serta sejumlah turunan peradaban di Asia Timur (Sinic, Koreanic, Japonic, Manchu-Tungusic, Tar-tar, Mongol, Ainu) dan sepupunya di stepa-stepa Asia Tengah dan bagian utara Eurasia (Turkic dan Uralic) termasuk dalam rumpun Ural-Altaic (diambil dari nama Pegunungan Ural dan Altai di dekat perbatasan Cina-Rusia-Khazakstan). Semua itu, bersama dengan rumpun Afro-Asiatic (Semit di Timur Tengah dan Hamit di bagian utara dan tanduk Afrika), merupakan cabang-cabang yang dalam kadar bervariasi memiliki turunan dari orang-orang Kaukasoid.
Wabah, Krisis, Pergeseran Teknologi, Perang, dan Munculnya Pemain Ketiga Sebagai Faktor Perubahan
Menariknya pula, setiap faktor yang mempengaruhi pergeseran arah sejarah dalam setiap gelombang peradaban dalam tatanan bipolaritas dunia ini, mencakup sejumlah hal, seperti wabah, krisis, pergeseran teknologi, dan perang, membawa dampak bagi peradaban atau negara-bangsa lain yang bahkan jauh dari episentrum perseteruan itu, termasuk pula dapat membuka peluang bagi kemunculan pemain ketiga, yang akan menggantikan salah satu atau dua kutub lama itu.
Perang
Perang, tidak syak lagi, merupakan faktor yang mempengaruhi pergeseran gelombang dan kutub sejarah. Perang Dunia I misalnya, menggeser poros kekuatan dunia dari Eropa ke Amerika. Itu karena perang yang terjadi di Eropa membuat imperium-imperium yang sebelum perang itu menjadi poros kekuatan dunia, Britania Raya, Perancis, Jerman Raya, Austria-Hongaria, Tsar-Rusia dan Osman mengalami pukulan dalam berbagai bidang, terutama ekonomi, dan sebagiannya runtuh (Osman, Austria-Hongaria, dan Jerman Raya); bahkan termasuk pihak pemenang perang (Tsar-Rusia yang terguling lalu menjadi Soviet). Hal ini diperdalam dengan Perang Dunia II yang semakin melemahkan kekuatan lama di Eropa dan memunculkan Amerika yang sebelumnya cukup isolasionis sebagai kekuatan global baru. Demikian pula perang Romawi-Persia yang dikisahkan itu melemahkan kedudukan keduanya di kawasan Bulan Sabit Subur sehingga memberi peluang bagi tumbuh-kembangnya pemain ketiga, yaitu Peradaban Islam yang bangkit di wilayah Hijas (ke arah selatan dari Bulan Sabit Subur). Perang Dunia I dan II itu juga membawa dampak kerusakan bagi wilayah-wilayah di luar episentrumnya, yaitu Eropa. Hal itu seperti perjanjian Sykes-Picot dan Deklarasi Balfour yang merupakan satu tonggak tertentu dalam perang itu, yang membuat kawasan Timur Tengah terpecah-pecah akibat pembagian wilayah antara Inggris, Perancis, dan Tsar-Rusia; yang mana, garis-garis pembagian Sykes-Picot itu masihlah berlangsung sampai sekarang, turut mendorong wilayah itu menjadi penuh huru-hara dan instabilitas.
Kiris, Pergeseran Teknologi, dan Perang
Demikian pula dalam konteks Indonesia. Banyak patahan sejarah yang penting dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa geopolitik yang terjadi nun jauh di sana. Nusantara mulai dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa itu akibat dimulainya era penjelajahan dunia baru oleh bangsa-bangsa Eropa. Era penjelajahan itu merupakan ekses dari peristiwa geopolitik sebelumnya, yakni rangkaian Perang Salib yang berulang terjadi di sekitar Palestina itu, hingga berakhirnya dengan diambil-alihnya Konstantinopel oleh Osman. Hal itu mengakibatkan krisis di Eropa, mengingat sebelumnya produk-produk perdagangan dari Timur masuk ke Eropa melalui Konstantinopel, terutama rempah-rempah. Ditambah dengan faktor pergeseran teknologi, yang mulai mengangkat Eropa lepas dari era Dark Ages dan di saat yang sama, mulai mandek di dunia Islam terutama setelah serangan Mongol ke Baghdad yang di masanya menjadi pusat studi, mendorong terjadinya penjelajahan untuk menemukan dunia baru oleh bangsa-bangsa Eropa guna menemukan sumber-sumber komoditas baru yang lebih jauh dari pusat penguasaan Osman, hingga membuat mereka sampai di Amerika, India, dan Nusantara. Sementara itu, kemerdekaan Indonesia juga tak lepas dari peristiwa geopolitik dunia, yaitu Perang Dunia I dan II, yang kemudian membuka celah-celah tertentu bagi melemahnya penguasaan Belanda dan Jepang di Indonesia, sehingga menjadi salah satu faktor pendorong kemerdekaan.
Wabah dan Krisis
Pandemi, seperti yang kita alami, juga menjadi suatu faktor penting yang mampu mendorong pergeseran arah sejarah. Hal itu karena aspek-aspek penanganan pandemi tidak hanya berkaitan dengan urusan kesehatan saja, tapi juga bersinggungan dengan faktor-faktor dominasi, seperti ekonomi dan politik. Kita dapat melihat dari berbagai berita internasional bahwa, urusan pandemi Corona ini justru mempertajam eskalasi antara Amerika dengan Tiongkok, terutama mencakup urusan Hongkong (masalah 1 country 2 systems), Taiwan, perang dagang, dan Laut Cina Selatan. Hal ini tidaklah hendak dibahas berkepanjangan, karena dapatlah kita akses di berbagai media internasional saat ini. Lebih dari itu semua, wabah cenderung membawa krisis dalam pelbagai bidang, terutama ekonomi. Bahkan sebelum pandemi ini datang, pertumbuhan ekonomi global sudah cenderung tertekan dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia yang pasca-krisis 2008 dulu sempat menembus angka 6%, dalam beberapa tahun terakhir ini tampak kesulitan untuk sekadar mempertahankan angka 5%. Begitu pun Tiongkok yang dulu konsisten tumbuh lebih dari 10%, dalam beberapa tahun terakhir terpangkas jadi sekitar 6-7% saja. Demikian pula dengan dunia Barat. Semua itu sebelumnya diperdalam dengan perang dagang yang terjadi. Tentu ditambah dengan sentimen negatif akibat pandemi ini, akan menjadi faktor pengubah arah sejarah ke depan.
Persoalannya sekarang bukanlah pandemi lagi, melainkan bagaimana kekuatan-kekuatan global itu menggunakan pandemi ini sebagai salah satu instrumen dalam perang hibrid mereka itu. Itulah yang akan menentukan seberapa dalam krisis yang akan kita hadapi. Jika krisis ekonomi itu direkayasa untuk berjalan lebih lama, ia dapat pula berkembang menjadi krisis-krisis yang lain, seperti krisis sosial dan politik, yang dapat digunakan untuk melemahkan lawan-lawannya. Jika diramu dengan konsep Jebakan Thucydides [lihat tulisan sebelumnya], semua ini bertalian dengan satu pokok, yaitu perebutan hegemoni antara dua kutub kekuatan dalam tatanan bipolaritas global, yakni antara kekuatan lama (Sparta) menghadapi kekuatan baru yang muncul (Athena), yang dalam konteks ini adalah perebutan supremasi Amerika-Tiongkok. Hal ini kemudian memunculkan satu masalah, yaitu bangunan-bangunan dari koalisi global dalam krisis perebutan supremasi ini. Hal ini tentu membuat masalah menjadi semakin rumit. Karena itu, jika kita tidak menemukan kompas yang akan membawa langkah kita ke depan dengan tepat, kita akan mengalami kesulitan yang luar biasa dalam krisis berlapis ini.
Kebutuhan Alat Baca Gelombang Sejarah dan Pentingnya Kesadaran Geopolitik
Kita demikian sangat membutuhkan inspirasi dan alat baca dalam memandang kondisi ini dan menentukan apa yang harus kita lakukan ke depan. Sebagian dari teori-teori itu telah kita jabarkan pada tulisan sebelumnya, Perspektif Siklus dan Teori Gelombang Nikolai Kondratiev, yang membahas tentang Teori Gelombang Nikolai Kondratiev, Siklus Ibnu Khaldun, Siklus Arnold Joseph Toynbee, siklus Pitirim Sorokin, hingga Siklus Oswald Spengler. Demikian pula tulisan tentang Matematika Sejarah dan Gelombang Peradaban Menurut Alexandre Deulofeu. Kita hendak menambahkan dua alat baca lagi pada tulisan lain, yakni Siklus Panjang George Modelski dan Teori Generasi Strauss-Howe.
Dalam perspektif Quran, kita akan meninjau sejumlah ayat tambahan setelah di tulisan-tulisan sebelumnya itu, kita meninjau ayat di Surat Ali Imran tentang pergiliran atau perputaran hari-hari peradaban dan di tulisan ini, kita membahas sekilas ayat-ayat Surat Ar Rum tentang bipolaritas global dan konsep Romawi. Hal ini penting dibahas dalam kesadaran geopolitik. Selanjutnya, berbagai studi yang lebih mendalam oleh berbagai pihak perlu dilakukan, terutama sekali mengingat tulisan-tulisan ini ialah diambil dari perspektif siklus sejarah, lantaran di situlah terletak ketertarikan dan sumber bacaan penulis. Aspek-aspek ekonomi, geopolitik, dan lain-lain tentunya memerlukan tambahan kerangka pengetahuan yang lain daripada yang dapat dikaji oleh perspektif siklus sejarah.
“Itulah hari-hari (kemenangan dan kekalahan, kemajuan dan kemunduran, kejayaan dan kehancuran, kebangkitan dan keruntuhan) Kami pergilirkan di antara manusia ... Jika kalian terluka, telah terluka pula kaum-kaum sebelum kalian ... Telah berlalu sebelum kalian sunan-sunan (jalan, sunah, kaidah, metode bergulirnya sejarah) ... Maka, berjalanlah kamu di muka bumi (ambillah pandangan dalam perspektif ruang), lalu lihatlah akibat dari orang-orang terdahulu (lakukanlah rasionalisasi-observasi-empiris dalam perspektif waktu).”[2]
Negeri yang Terdekat: Letak Kaki Kita Berdiri?
Yang menarik lagi ialah, bahwa peristiwa-peristiwa puncak dari pertentangan dua hegemoni itu dikisahkan cenderung terjadi dekat dengan suatu titik-mula atau cikal-bakal bagi episentrum kebangkitan peradaban Islam. Kekalahan Romawi “di negeri yang terdekat” itu ialah di sekitar kawasan Bulan Sabit Subur yang dekat di sebelah utara wilayah Hijas. Di masa kini, episentrum perseteruan itu terletak di sekitar Hongkong, Taiwan, dan Laut Cina Selatan yang juga cukup dekat di sebelah utara kawasan peradaban Melayu-Nesia. Tentu ini dapat menjadi suatu kabar baik akan kebangkitan peradaban. Namun, sebagaimana yang dibahas dalam tulisan-tulisan sebelumnya, kebangkitan peradaban itu ada syarat-syaratnya. Demikian pula, kemundurannya ada sebab-sebabnya. Karena itu, jika kita berkenan hati untuk membangkitkan peradaban ini, kita mestilah melakukan studi yang mendalam dan menyeluruh terhadap syarat-syarat kebangkitan peradaban itu. Termasuk pula, jika kita ingin menjadi pemain global, kita mestilah mengetahui karakteristik para pemain global yang ada di kedua polar itu, dan berusaha mengambil sumber kekuatannya serta menghindari sumber kelemahannya.
Kita patutlah bersyukur, karena meskipun kita masihlah amat bersusah-payah, setidaknya kita merasakan angin perubahan yang mulai positif sejak masa Perjanjian Sykes-Picot, Deklarasi Balfour, dan petaka 1924 dulu. Terlebih pula, tahun 2014-2024 ini merupakan kelanjutan dari suatu siklus seratus tahun, jika kita bandingkan dengan periode 1914-1924 yang amat sulit itu. Dan memang, malam akan semakin pekat ketika fajar dekat menjelang. Begitu pula musim dingin akan memuncak dengan equinox di mana matahari (the sun) akan mati di tengah palang rasi Crux sebelum ia naik kembali dan memasuki musim semi.
Pada takat ini, kian teranglah bahwa angin musim perubahan ini tengah datang; dan apa yang dijanjikan itu pasti nyata. Roda masa peradaban ini tengah berputar, sudah dekat waktunya ia bangkit kembali. Soalannya ialah, di manakah kaki kita berdiri saat musim berganti?


[1] QS 30: 2-4
[2] QS 3: 137-140

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan