Bipolaritas Global, Krisis, dan Musim Perubahan: Antara Romawi-Persia dan Amerika-Tiongkok
Dunia ini sejak dulu sering berjalan secara bipolar. Peradaban Greko-Romawi,
berikut segenap turunannya, terutama jalur Norman-Anglo Saxon, bisa dibilang
salah satu yang senantiasa menjadi pemain penting dalam bipolaritas global tersebut.
Dulu, Romawi (terutama Timur, Byzantium) berhadapan dengan Persia, lalu turunan
Romawi berhadapan dengan Arab-Berber-Persia-Andalusia-Turki. Lalu Inggris-Perancis
berhadapan dengan Jerman-Austria-Hongaria dalam The Great War. Sekutu dan Poros
Jerman berhadapan dalam Perang Dunia II, lalu Amerika berhadapan dengan Soviet
dalam Perang Dingin. Di era kini, perebutan hegemoni dunia terjadi antara
Amerika dengan Tiongkok. Karena itulah, terminologi Romawi menjadi penting
sebagai objek pembelajaran, mengingat kekhasannya sebagai sistem peradaban yang
pula melahirkan sistem pemikiran tertentu, sampai ia diabadikan dalam kalimat
berikut.
“Telah dikalahkanlah bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat. Dan
mereka, setelah kekalahan mereka itu, akan menang kembali. Dalam beberapa tahun
lagi.”[1]
Sumber gambar: https://www.flickr.com/photos/joiseyshowaa/2775011897
Beranjak sejenak dari hal ini, dalam masa krisis yang dipicu oleh pandemi
seperti sekarang ini, pentinglah bagi kita untuk mengingat kembali karya para
pemikir yang menulis tema-tema tentang siklus perubahan, karena faktor-faktor
pergeseran besar dalam sosio-geopolitik dunia demikian mencakup wabah, perang,
dan persoalan ekonomi. Demikian pula musim perubahan akan terjadi terkait
dengan bipolaritas dunia yang tengah kita alami, sebagaimana ditunjukkan dengan
eskalasi ketegangan antara kedua kutub itu, dalam konteks era kita
Amerika-Tiongkok, terutama dalam upaya-upaya terkait penanganan wabah dan
krisis ini. Sehingga, dapatlah kita mengatakan bahwa bipolaritas dunia itu
bertalian erat dengan siklus perubahan atau gelombang panjang dalam sejarah
peradaban manusia.
Mengapa Romawi?
Ayat dalam surat Ar Rum yang berisi cerita tentang pertempuran
antara Persia dan Romawi, yang memiliki kandungan suatu peristiwa geopolitik ini,
justru diturunkan pada saat umat Muslim masih berada di periode Mekkah dan
masih sangat sedikit jumlahnya. Peristiwa perebutan hegemoni antara Persia dan Romawi
itu terjadi pada wilayah-wilayah sekitar Syam, yaitu yang dikenal sebagai kawasan
Bulan Sabit Subur. Namun, justru dengan menurunkan ayat ini lebih awal, Allah
seakan sedang memberikan pesan pada kaum Muslimin ketika itu, bahwa lini masa
sejarah mereka ke depan akan bertemu dengan lini masa sejarah kedua peradaban
itu, sehingga mereka perlu mengetahui sedari awal pergulatan-pergulatan yang
terjadi di antara keduanya.
Di sinilah makna dalam kisah surat ini, masuk ke dalam kesadaran
kaum Muslim guna membentuk suatu yang disebut sebagai kesadaran dan pemahaman
geopolitik. Itu lantaran lini masa sejarah kaum muslimin di masa yang akan
datang, pasti akan berinteraksi dengan lini masa sejarah peradaban Romawi dan
Persia yang menjadi dua kutub global ketika itu, sehingga mereka perlu menyadari
hal ini sejak awal. Karena itu, sedari dini sekali usia umat ini, Allah SWT sudah mulai bercerita kepada mereka
tentang Persia dan Romawi, supaya kosa kata ini sudah ada di benak mereka
sedari awal sehingga mereka dapat mempersiapkan diri untuk persinggungan dengan
kedua konsep peradaban, imperium, dan kekuatan global itu.
Lebih jauh lagi, jika kita meninjau sejarah kawasan Mediterania
pada masa itu, kita akan mendapati bahwa peristiwa yang terjadi dekat dengan
kelahiran Nabi Muhammad SAW, yaitu serangan pasukan Abrahah ke Kakbah, tiada
lain ialah suatu kepanjangan atau proksi dari perebutan hegemoni kedua imperium
itu melalui kerajaan-kerajaan satelit mereka yang ada di sekitar Jazirah Arab,
Mesir, dan Tanduk Afrika. Dengan demikian, sudah sejak kelahiran beliau,
kehidupan Rasul-Allah bertalian akrab dengan suatu peristiwa geopolitik kawasan
itu.
Yang menarik di sini adalah, mengapa surat ini dinamai dengan Surat
Ar Rum yang berarti Romawi, mengapa ia tidak dinamai dengan Al Farsi
atau Al Furs yang berarti Persia? Mengapa pula struktur penulisan bagian-bagian
awal surat itu, yang menjadi inti penjelasan tentang pertempuran kedua imperium
tersebut, terlihat banyak berpusat dan bertumpu pada repetisi konsep Romawi?
Sudut pandang yang diambilnya seakan berada di pihak Romawi, bukan mengambil
pandangan Persia atau melakukan cover both sides. “Ghulibat-i-r-Ruum
fī adnā-l-arḍ wa hum min-baʿdi ghalabihim sayaghlibūn”. Telah dikalahkanlah
bangsa Romawi, di negeri yang terdekat; dan mereka, setelah kekalahan mereka
itu, akan menang kembali.
Jika kita melihat sejarah yang terbentang di depannya, kita akan
menyadari bahwa, Allah SWT begitu Maha Tahu bahwa setelah peradaban Islam itu
tumbuh dan mulai berkembang, ia akan terutama sekali berhadapan dengan
peradaban Romawi dan bukan peradaban Persia. Hal itu karena, jika kita tinjau
sejarah, nyaris seluruh wilayah yang menjadi domisili peradaban Persia dengan
begitu cepat berhasil dilakukan futuḥat dan akhirnya masuk menjadi
bagian dari Peradaban Islam, walaupun di kemudian hari, banyak muncul
penyimpangan dan huru-hara dari sana, terutama dari wilayah yang dulunya
bernama Khurasan. Sementara Romawi, berabad-abad dan bahkan beberapa milenium
setelah ayat ini diturunkan, masihlah bersinggungan dengan peradaban Islam,
bahkan terjadi di berbagai tempat di dunia yang ada di luar kawasan Bulan Sabit
Subur itu, membentang dari Timur ke Barat, dari Utara ke Selatan; dari Ujung
Harapan di Afrika hingga tempat tinggal Malcolm X dan Muhammad Ali di Amerika;
dari kawasan Balkan di Eropa hingga kawasan Melayu-Nesia di Asia Tenggara. Itu
semua lantaran peradaban-peradaban turunan Romawi menjadi peradaban dominan di
dunia setelah peradaban Islam itu mengalami kemunduran menjelang abad ke-16, 17,
18, dan 19, dan mengalami puncak kejatuhan terutama setelah Perang Dunia I,
Perjanjian Sykes-Picot, hingga 1924.
Dengan demikian, pemakaian sudut pandang dan sentra-narasi Romawi
dalam kisah surat tersebut, ialah dikarenakan bahwa persinggungan kaum Muslim
dengan peradaban Romawi berlangsung jauh lebih lama daripada persinggungan
mereka dengan Peradaban Persia. Yakni, riwayat Persia sudah selesailah sampai
di situ, sementara riwayat Romawi tidak selesai sampai di situ. Begitu pula
kita mendapati hadis tentang hari kiamat bahwa “Takūm-u-s-Sāʿatu wa-r-Rūmu
aktsaru-n-Nās”, hari kiamat akan terjadi dan (pada saat itu) bangsa Rum
(Romawi) merupakan bangsa terbanyak di antara manusia. Dengan begitu, dapat
pula kita turunkan, bahwa surat ini mengambil sentra Romawi, ialah karena Allah
ingin membuat konteks ayat-ayatnya terus relevan hingga generasi-generasi kaum
Muslim berikutnya, yaitu bahwa generasi kita dan anak-cucu kita juga akan mengalami
suatu pergulatan sejarah yang serupa dengan peradaban Romawi. Dan benarlah kita
memang mengalaminya, bahkan hingga pengalaman pahit sekalipun dengan kolonialisme
yang dulu pernah dilancarkan oleh berbagai anak peradaban Romawi kepada dunia
Islam, terutama yang paling lama dan besar adalah Inggris, Perancis, dan
Spanyol. Sebelum ia berpindah tangan kepada hegemoni Amerika Serikat di dunia
pos-modern ini, yang tiada lain ialah kelanjutan dari sub-peradaban Norman-Anglo-Saxon,
terutama pasca Perang Dunia II.
Selain itu, kisah tersebut seakan juga menggarisbawahi suatu poin
penting yang membedakan antara Imperium Romawi dengan Persia. Bahwa, Romawi
bukanlah sekadar imperium belaka, melainkan suatu kompleks sistem peradaban yang
berjalinan dengan struktur pemikiran, filosofi, dan karakteristik worldview
tertentu, sehingga kita dapat mengatakan bahwa cara berpikir Eropa, yang
demikian naturalis-empiris itu, merupakan warisan dari cara berpikir
Greko-Romawi, yang dalam bahasa Hamid Fahmy Zarkasyi disebutkan, Ionia is
the credle of western civilization. [Lihat
juga tulisan sebelumnya tentang naturalisme].
Selain itu, perbedaan mendasar antara keduanya adalah rumpun teologi
yang dianut oleh kedua imperium itu. Romawi, bagaimanapun juga, tetaplah
menjadi suatu bagian dari “ahli kitab” karena imperium itu mengadopsi agama
Nasrani sebagai agama resmi negara; dan menurut sebagian peneliti, disebut pula
sebagai bagian “rumpun agama samawi”, walaupun saya kurang setuju dengan
epistemologi dan ontologi istilah itu. Sedangkan di sisi lain, Persia yang
beragama Majusi jelaslah tidak dianggap sebagai bagian dari “ahli kitab”, sehingga
otomatis bukan pula rumpun “samawi”. Sehingga demikian, pertarungan kedua
imperium itu juga berarti pertarungan dua rumpun turunan din; dan memanglah din
itu (agama dalam konsep Islam) bertalian erat dan tiada dapat dipisahkan dari
tamadun atau peradaban. [Lihat dua tulisan sebelumnya tentang hubungan din dan
tamadun, dalam bahasa Spanyol
dan Indonesia].
Dengan demikian, dalam surat itu, disebutkan bahwa saat Persia menang, kaum
kafir Quraisy yang menjadi lawan umat Islam kala itu bersuka-ria. Sementara
saat hari yang dijanjikan oleh surat ini, yaitu saat Romawi menang kembali, orang
Mukminlah yang akan bergembira. “Wa yawma-idzin yafraḥ-u-l-Mu’minūn”. Hal
ini menyiratkan suatu konsep yang dapat dijadikan panduan dalam percaturan
geopolitik global atau internasional; yaitu suatu hubungan keberpihakan yang
dilandasi oleh kedekatan din, worldview, ideologis, atau falsafah hidup;
yang digambarkan dengan berpihaknya kaum Muslim era itu pada Romawi yang Nasrani
dan ahli kitab; dan berpihaknya kaum kafir Quraisy pada Persia yang Majusi
(non-ahli kitab), walaupun keduanya tidaklah menjadi sekutu langsung bagi
masing-masingnya.
Pergeseran Kutub Sejarah
Kisah ini juga mengajarkan suatu fakta sejarah pada kita bahwa,
hierarki kekuatan global umumnya berlangsung secara bipolar seperti ini. Setelah
peradaban Islam tumbuh dan berkembang, peradaban Persia berhasil di-futuh-kan
seutuhnya dan sebagian besar peradaban Romawi masih tersisa, sehingga
bipolaritas global berpindah dari Romawi-Persia menjadi Islam-Romawi. Kemudian,
setelah peradaban Islam melemah dan mengalami kemunduran serta kolonialisme,
peradaban Romawi menjadi peradaban dominan, meskipun telah berupa negara-negara
bangsa, yang kemudian hari menjadi era bipolaritas baru, antara Dunia Bebas atau
Blok Barat yang dimotori oleh orang-orang Norman-Anglo Saxon (termasuk Amerika)
dengan Dunia Komunis atau Blok Timur yang dimotori oleh orang-orang Rusia-Slavic
di Soviet. Kemudian, Soviet mengalami kejatuhan dan beberapa lama kemudian, bipolaritas
global berpindah lagi kepada kutub Dunia Bebas dengan kutub Tiongkok (dengan
sistem politik yang komunis dan sistem ekonomi kapitalisme negara atau state-capitalism).
Setiap salah satu turun atau runtuh, peradaban lain akan menggantikannya;
karena sejarah itu memang berjalan seperti gelombang, ada naik dan turun. [Lihat
tulisan sebelumnya].
Demikianlah kecenderungan percaturan geopolitik global berlangsung secara
bipolar, dengan peradaban atau negara-bangsa lain hanyalah menjadi bagian yang
mendekat atau sekutu salah satu kutub.
Masih Satu Rumpun
Selain itu, menarik untuk dikaji bahwa, sebenarnya peradaban-peradaban
atau negara-bangsa yang menjadi poros masing-masing kutub itu, dari dulu sejak
sekarang, cenderung berada dalam jalur atau akar rumpun kelompok manusia yang
sama. Romawi-Persia sama-sama berasal dari rumpun Indo-Eropa, yaitu kelompok
bangsa Centum (Roman, Germanic, Slavic, Vandal, dll.) dan Shatam (Indo-Iranian
plateau, yaitu yang tidak bercampur dengan bangsa Dravida). Amerika dan
Tiongkok itu juga dekat secara rumpun ras. Barat dan Amerika termasuk rumpun
Indo-Eropa. Sementara itu, Tiongkok serta sejumlah turunan peradaban di Asia
Timur (Sinic, Koreanic, Japonic, Manchu-Tungusic, Tar-tar, Mongol, Ainu) dan
sepupunya di stepa-stepa Asia Tengah dan bagian utara Eurasia (Turkic dan
Uralic) termasuk dalam rumpun Ural-Altaic (diambil dari nama Pegunungan Ural
dan Altai di dekat perbatasan Cina-Rusia-Khazakstan). Semua itu, bersama dengan
rumpun Afro-Asiatic (Semit di Timur Tengah dan Hamit di bagian utara dan tanduk
Afrika), merupakan cabang-cabang yang dalam kadar bervariasi memiliki turunan
dari orang-orang Kaukasoid.
Wabah, Krisis, Pergeseran Teknologi,
Perang, dan Munculnya Pemain Ketiga Sebagai Faktor Perubahan
Menariknya pula, setiap faktor yang mempengaruhi pergeseran arah
sejarah dalam setiap gelombang peradaban dalam tatanan bipolaritas dunia ini,
mencakup sejumlah hal, seperti wabah, krisis, pergeseran teknologi, dan perang,
membawa dampak bagi peradaban atau negara-bangsa lain yang bahkan jauh dari episentrum
perseteruan itu, termasuk pula dapat membuka peluang bagi kemunculan pemain
ketiga, yang akan menggantikan salah satu atau dua kutub lama itu.
Perang
Perang, tidak syak lagi, merupakan faktor yang mempengaruhi
pergeseran gelombang dan kutub sejarah. Perang Dunia I misalnya, menggeser
poros kekuatan dunia dari Eropa ke Amerika. Itu karena perang yang terjadi di
Eropa membuat imperium-imperium yang sebelum perang itu menjadi poros kekuatan
dunia, Britania Raya, Perancis, Jerman Raya, Austria-Hongaria, Tsar-Rusia dan Osman
mengalami pukulan dalam berbagai bidang, terutama ekonomi, dan sebagiannya
runtuh (Osman, Austria-Hongaria, dan Jerman Raya); bahkan termasuk pihak
pemenang perang (Tsar-Rusia yang terguling lalu menjadi Soviet). Hal ini
diperdalam dengan Perang Dunia II yang semakin melemahkan kekuatan lama di
Eropa dan memunculkan Amerika yang sebelumnya cukup isolasionis sebagai
kekuatan global baru. Demikian pula perang Romawi-Persia yang dikisahkan itu
melemahkan kedudukan keduanya di kawasan Bulan Sabit Subur sehingga memberi
peluang bagi tumbuh-kembangnya pemain ketiga, yaitu Peradaban Islam yang bangkit
di wilayah Hijas (ke arah selatan dari Bulan Sabit Subur). Perang Dunia I dan
II itu juga membawa dampak kerusakan bagi wilayah-wilayah di luar episentrumnya,
yaitu Eropa. Hal itu seperti perjanjian Sykes-Picot dan Deklarasi Balfour yang
merupakan satu tonggak tertentu dalam perang itu, yang membuat kawasan Timur
Tengah terpecah-pecah akibat pembagian wilayah antara Inggris, Perancis, dan Tsar-Rusia;
yang mana, garis-garis pembagian Sykes-Picot itu masihlah berlangsung sampai
sekarang, turut mendorong wilayah itu menjadi penuh huru-hara dan instabilitas.
Kiris, Pergeseran Teknologi, dan Perang
Demikian pula dalam konteks Indonesia. Banyak patahan sejarah yang
penting dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa geopolitik yang terjadi nun jauh di
sana. Nusantara mulai dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa itu akibat dimulainya era
penjelajahan dunia baru oleh bangsa-bangsa Eropa. Era penjelajahan itu
merupakan ekses dari peristiwa geopolitik sebelumnya, yakni rangkaian Perang Salib
yang berulang terjadi di sekitar Palestina itu, hingga berakhirnya dengan
diambil-alihnya Konstantinopel oleh Osman. Hal itu mengakibatkan krisis di
Eropa, mengingat sebelumnya produk-produk perdagangan dari Timur masuk ke Eropa
melalui Konstantinopel, terutama rempah-rempah. Ditambah dengan faktor pergeseran
teknologi, yang mulai mengangkat Eropa lepas dari era Dark Ages dan di
saat yang sama, mulai mandek di dunia Islam terutama setelah serangan Mongol ke
Baghdad yang di masanya menjadi pusat studi, mendorong terjadinya penjelajahan
untuk menemukan dunia baru oleh bangsa-bangsa Eropa guna menemukan
sumber-sumber komoditas baru yang lebih jauh dari pusat penguasaan Osman,
hingga membuat mereka sampai di Amerika, India, dan Nusantara. Sementara itu,
kemerdekaan Indonesia juga tak lepas dari peristiwa geopolitik dunia, yaitu
Perang Dunia I dan II, yang kemudian membuka celah-celah tertentu bagi melemahnya
penguasaan Belanda dan Jepang di Indonesia, sehingga menjadi salah satu faktor
pendorong kemerdekaan.
Wabah dan Krisis
Pandemi, seperti yang kita alami, juga menjadi suatu faktor penting
yang mampu mendorong pergeseran arah sejarah. Hal itu karena aspek-aspek
penanganan pandemi tidak hanya berkaitan dengan urusan kesehatan saja, tapi
juga bersinggungan dengan faktor-faktor dominasi, seperti ekonomi dan politik. Kita
dapat melihat dari berbagai berita internasional bahwa, urusan pandemi Corona ini
justru mempertajam eskalasi antara Amerika dengan Tiongkok, terutama mencakup
urusan Hongkong (masalah 1 country 2 systems), Taiwan, perang dagang,
dan Laut Cina Selatan. Hal ini tidaklah hendak dibahas berkepanjangan, karena
dapatlah kita akses di berbagai media internasional saat ini. Lebih dari itu
semua, wabah cenderung membawa krisis dalam pelbagai bidang, terutama ekonomi.
Bahkan sebelum pandemi ini datang, pertumbuhan ekonomi global sudah cenderung
tertekan dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia yang pasca-krisis 2008 dulu
sempat menembus angka 6%, dalam beberapa tahun terakhir ini tampak kesulitan
untuk sekadar mempertahankan angka 5%. Begitu pun Tiongkok yang dulu konsisten
tumbuh lebih dari 10%, dalam beberapa tahun terakhir terpangkas jadi sekitar
6-7% saja. Demikian pula dengan dunia Barat. Semua itu sebelumnya diperdalam
dengan perang dagang yang terjadi. Tentu ditambah dengan sentimen negatif
akibat pandemi ini, akan menjadi faktor pengubah arah sejarah ke depan.
Persoalannya sekarang bukanlah pandemi lagi, melainkan bagaimana
kekuatan-kekuatan global itu menggunakan pandemi ini sebagai salah satu
instrumen dalam perang hibrid mereka itu. Itulah yang akan menentukan seberapa
dalam krisis yang akan kita hadapi. Jika krisis ekonomi itu direkayasa untuk
berjalan lebih lama, ia dapat pula berkembang menjadi krisis-krisis yang lain,
seperti krisis sosial dan politik, yang dapat digunakan untuk melemahkan lawan-lawannya.
Jika diramu dengan konsep Jebakan Thucydides [lihat
tulisan sebelumnya], semua ini bertalian dengan satu pokok, yaitu perebutan
hegemoni antara dua kutub kekuatan dalam tatanan bipolaritas global, yakni
antara kekuatan lama (Sparta) menghadapi kekuatan baru yang muncul (Athena),
yang dalam konteks ini adalah perebutan supremasi Amerika-Tiongkok. Hal ini
kemudian memunculkan satu masalah, yaitu bangunan-bangunan dari koalisi global
dalam krisis perebutan supremasi ini. Hal ini tentu membuat masalah menjadi
semakin rumit. Karena itu, jika kita tidak menemukan kompas yang akan membawa
langkah kita ke depan dengan tepat, kita akan mengalami kesulitan yang luar
biasa dalam krisis berlapis ini.
Kebutuhan Alat Baca Gelombang
Sejarah dan Pentingnya Kesadaran Geopolitik
Kita demikian sangat membutuhkan inspirasi dan alat baca dalam
memandang kondisi ini dan menentukan apa yang harus kita lakukan ke depan.
Sebagian dari teori-teori itu telah kita jabarkan pada tulisan sebelumnya, Perspektif
Siklus dan Teori Gelombang Nikolai Kondratiev, yang membahas tentang Teori
Gelombang Nikolai Kondratiev, Siklus Ibnu Khaldun, Siklus Arnold Joseph Toynbee,
siklus Pitirim Sorokin, hingga Siklus Oswald Spengler. Demikian pula tulisan tentang
Matematika
Sejarah dan Gelombang Peradaban Menurut Alexandre Deulofeu. Kita hendak
menambahkan dua alat baca lagi pada tulisan lain, yakni Siklus Panjang George
Modelski dan Teori Generasi Strauss-Howe.
Dalam perspektif Quran, kita akan meninjau sejumlah ayat tambahan
setelah di tulisan-tulisan sebelumnya itu, kita meninjau ayat di Surat Ali
Imran tentang pergiliran atau perputaran hari-hari peradaban dan di tulisan ini,
kita membahas sekilas ayat-ayat Surat Ar Rum tentang bipolaritas global dan
konsep Romawi. Hal ini penting dibahas dalam kesadaran geopolitik. Selanjutnya,
berbagai studi yang lebih mendalam oleh berbagai pihak perlu dilakukan,
terutama sekali mengingat tulisan-tulisan ini ialah diambil dari perspektif
siklus sejarah, lantaran di situlah terletak ketertarikan dan sumber bacaan
penulis. Aspek-aspek ekonomi, geopolitik, dan lain-lain tentunya memerlukan tambahan
kerangka pengetahuan yang lain daripada yang dapat dikaji oleh perspektif
siklus sejarah.
“Itulah hari-hari (kemenangan dan kekalahan, kemajuan dan
kemunduran, kejayaan dan kehancuran, kebangkitan dan keruntuhan) Kami
pergilirkan di antara manusia ... Jika kalian terluka, telah terluka pula
kaum-kaum sebelum kalian ... Telah berlalu sebelum kalian sunan-sunan (jalan,
sunah, kaidah, metode bergulirnya sejarah) ... Maka, berjalanlah kamu di muka
bumi (ambillah pandangan dalam perspektif ruang), lalu lihatlah akibat dari
orang-orang terdahulu (lakukanlah rasionalisasi-observasi-empiris dalam perspektif
waktu).”[2]
Negeri yang Terdekat: Letak Kaki
Kita Berdiri?
Yang menarik lagi ialah, bahwa peristiwa-peristiwa puncak dari pertentangan
dua hegemoni itu dikisahkan cenderung terjadi dekat dengan suatu titik-mula
atau cikal-bakal bagi episentrum kebangkitan peradaban Islam. Kekalahan Romawi “di
negeri yang terdekat” itu ialah di sekitar kawasan Bulan Sabit Subur yang dekat
di sebelah utara wilayah Hijas. Di masa kini, episentrum perseteruan itu
terletak di sekitar Hongkong, Taiwan, dan Laut Cina Selatan yang juga cukup
dekat di sebelah utara kawasan peradaban Melayu-Nesia. Tentu ini dapat menjadi
suatu kabar baik akan kebangkitan peradaban. Namun, sebagaimana yang dibahas dalam
tulisan-tulisan sebelumnya, kebangkitan peradaban itu ada syarat-syaratnya.
Demikian pula, kemundurannya ada sebab-sebabnya. Karena itu, jika kita berkenan
hati untuk membangkitkan peradaban ini, kita mestilah melakukan studi yang
mendalam dan menyeluruh terhadap syarat-syarat kebangkitan peradaban itu. Termasuk
pula, jika kita ingin menjadi pemain global, kita mestilah mengetahui
karakteristik para pemain global yang ada di kedua polar itu, dan berusaha
mengambil sumber kekuatannya serta menghindari sumber kelemahannya.
Kita patutlah bersyukur, karena meskipun kita masihlah amat
bersusah-payah, setidaknya kita merasakan angin perubahan yang mulai positif
sejak masa Perjanjian Sykes-Picot, Deklarasi Balfour, dan petaka 1924 dulu. Terlebih
pula, tahun 2014-2024 ini merupakan kelanjutan dari suatu siklus seratus tahun,
jika kita bandingkan dengan periode 1914-1924 yang amat sulit itu. Dan memang,
malam akan semakin pekat ketika fajar dekat menjelang. Begitu pula musim dingin
akan memuncak dengan equinox di mana matahari (the sun) akan mati
di tengah palang rasi Crux sebelum ia naik kembali dan memasuki musim semi.
Pada takat ini, kian teranglah bahwa angin musim perubahan ini
tengah datang; dan apa yang dijanjikan itu pasti nyata. Roda masa peradaban ini
tengah berputar, sudah dekat waktunya ia bangkit kembali. Soalannya ialah, di
manakah kaki kita berdiri saat musim berganti?
Comments
Post a Comment